(a) sajak terbuka; bila kata-katanya yang bersajak berakhir dengan vokal yang sama;
(b) sajak tertutup; bila kata-kata yang bersajak itu berakhir dengan konsonan;
(c) sajak sempurna; bila seluruh suku kata terakhir tidak sama;
(d) sajak tak sempurna; bila seluruh suku kata terakhir tidak sama;
(e) sajak asonansi; bila semua vokal yang mendukung kata itu sama;
(f) sajak disonansi; bila semua vokal yang memberi kesan bunyi yang bertentangan;
(g) sajak mutlak; bila seluruh kata bersajak sama, seperti dalam puisi pantun
2) Berdasarkan tempat
(a) sajak awal; bila kata-kata yang bersajak terletak di awal larik atau awal kata;
(b) sajak tengah; bila persamaan bunyi terletak ditengah larik;
(с) sajak akhir; bila persamaan bunyi terletak pada akhir larik.
Menurut M.A. Salmun (1958:28-38) purwakanti berdasarkan tempat itu kalau (a) bersajak awal disebut laras purwa, (b) bersajak tengah disebut laras madya, (c) bersajak akhir disebut laras wekas, (d) sajak yang berkait disebut margaluyu.
Menurut Yus Rusyana (1971 : 17-18) purwakanti dalam puisi sawer ada runtuy pungkas ’sajak akhir', purwakanti rantayan, yakni yang ada dalam satu larik, baik berupa perulangan bunyi vokal, maupun perulangan bunyi konsonan, atau perpaduan antara bunyi vokal dan konsonan.
Menurut A. Prawirasuganda (1964:80) sawer yang biasa dipergunakan itu ada yang berupa syair yang terdiri atas empat baris, dan ada juga yang menggunakan sekar macapat, jadi berbentuk pupuh.
Menurut Yus Rusyana (1971 : 19) ada yang berbentuk syair, yakni yang mempunyai empat larik, suku kata setiap larik beijumlah delapan, dengan sajak akhir a-a-a-a, a-a-a-b, atau a-b-b-b. Berbentuk pupuh„ yang mempunyai patokan tertentu dalam jumlah suku kata, jumlah larik dalam satu bait, dan bunyi akhir setiap lariknya. Bentuk yang biasa dipakai dalam sawer ialah Kinanti, Asmarandana, Sinom dan Dangdanggula; Ada pula bentuk yang disebutnya sajak wirahma merdika, yakni bentuk yang jumlah suku kata dalam satu larik dan sajak akhirnya tidak tentu. Umumnya bersuku kata delapan dan sajaknya rantayan. Untaian lima dan untaian enam; banyaknya suku kata umumnya delapan, dan bunyi akhirnya tidak tetap. Pada waktu nyawer bentuk seperti ini dilagukan dengan Kidung, Payo, Jemplangtiti dan Ligar.
Acuan pupuh menurut R.T. Adiwidjaja (1958) terdiri atas:
9