yang, bila pelaksananya keluarga yang cukup kaya,. Lelakon yang dipentaskan disesuaikan dengan maksud ruatan itu. Dalang yang melaksanakan ruatan hanya yang sudah menguasai cara-caranya.
Pada waktu ruatan dengan permainan wayang, pelaksanannya diperlambangkan dengan menyelamati tokoh dalam lakon. Jadi, upacara nyawer ditujukan kepada tokohnya.
Yang biasa diruat ialah: (1) anak yang dibenihkan pada bulan Sapar, karena orang tuanya dianggap melanggar pantangan, telah berhubungan pada bulan Sapar yang dianggap saatnya kawin anjing, (2) anak yang gandana-gandini, ialah anak tunggal, (3) sumur dihapit pancuran pancuran dihapit sumur, ialah anak perempuan yang diapit oleh adik fan kakak perempuan; biasa juga disebut nungku, bertiga sebagai tungku, dan (4) nanggung bugang, yakni anak penengah yang adik dan kakaknya meninggal.
Lain dari pada yang telah, disebut ini, upacara ruatan dilakukan untuk orang yang mendapat sakit tidak juga sembuh, yang kena sumpah, yang ketideresa 'celaka' karena perbuatan orang lain; misalnya sampai masuk penjara.
Lakon yang dipentaskan untuk ruatan anak yang netes Sapar, atau lahir bulan Sapar, biasanya lakon Jabang Tutuka, ialah lahirrnya Gatutkaca, dan lakon Batara Kala. Untuk ruatan saat pernikahan lakon Arjuna nikah Asmara Dahana, yang cocok dengarn suasana itu.
Puisi sawer yang dipergunakan dalam ruatan kandungan, ruatan bayi/anak, dan juga pernikahan, sering gubahan yang sama, contohnya puisi sawer no Sk 9 yang disampaikan oleh penutur Jasria yang berasal dari Serang. Menurut penuturnya puisi sawer tersebut biasa digunakan dalam ruatan bayi netes Sapar; untuk keselamatan bayi yang disebut ngabobot dan nguyun. Pelaksanaannya bertepatan dengan waktu anak itu dikhitan/digusar, untuk anak laki-laki, dan waktu anak itu dinikahkan bila wanita.
(7) Sawer pada upacara ganti nama
Pada orang Sunda terdapat kebiasaan mengganti nama. Pada masa yang lampau penggantian namą itu sering dengan selamatan khusus.
Yang disebut "ganti nama" sebenarnya tidak selalu membuang nama asal lalu diganti dengan yang baru, tetapi hanya menambahnya saja.
Pada orang Sunda, anak itu biasa diberi nana cumbuan, misalnya : Agus, Ujang, Nyai, Enok, Asep, atau nama timangan seperti Emed dari Muhanmad, Emah dari Halimah dsb. Bila sudah dewasa dan mempunyai pekerjaan, nama itu baru diganti. Di Cirebon terdapat kebiasa an mcnggantu nama dengan kenduri besar-besaran walau pun anak itu belum bekerja, asal saja sudah dewasa (A. Prawirasuganda, 1964: 42).