an, pegawai KUA, penembang, Anggota DPRD, pegawai DPU Redaktur RRI, polisi, guru agama, dan pelatih tembang, serta beberapa yang lainnya.
Ternyata pula bahwa hampir semua penutur adalah orang-orang yang mempunyai minat terliadap tembang (seni tembang). Hal ini dapat dikatakan wajar; sebab penyampaian sawer dekat sekali hubungannya dengan kesenian tembang.
Penutur sebanyak 25 orang (35,2%) tekh mdaksanakan nyawer sejak sebelum perang, sedangkan 46 orang (64,8%) baru melakukannya mulai tahun 1966. Tetapi ini tidak berarti bahwa mereka masth berusia muda, karena bila ditinjau dari usianya, 54 orng (76,1%) telah berusia antara 41 ) 40 tahun. Yang termuda adalah Komalasari berasal dari Bandung, sedangkan yang tertua adalah R, Satjadibrata yang kini sudah almarhum.
Duapuluh orang (28,2%) dari sejumlah 71 orang penggubah dan penutur adalah wanita, sedang 51 orang (71,8%) laki-laki.
Duapuluh tiga orang (32,4%) bertempat tinggal di Bandung. Ini termasuk jumlah terbesar dari penggubah dan penutur itu, Tasikma]aya juga mempunyai cukup penutur sawer; ada 9 orang (12,7%), sedangkan yang lainnya hanya berkisar antara dua dan lima orang dari setiap kabupaten.
Tentang karyanya, 63,4% penulur itu adalah juga penggubahnya, Hanya sekitar 26 orang saja (36,6%) yang biasa membawakan sawer tanpa menyusun naskah sendiri Karangan yang digubah sendiri pun banyak yang dipengaruhi oleh puisi sawer yang sudah ada, dan biasa dituturkan secara turun-temurun. Karena itulah sebabnya sebagian besar dari teks pusi sawer itu mempunyai banyak persamaan,
Penutur yang tidak menggubah sendiri menyatakan bahwa mereka mendapatkan puisi sawer itu dan keluarganya, penggubah, dan penutur lain, atau mempergunakan teks yang sudah dibukukan, misalnya karya Uhi, Rukmini Uca, dari TasikmaJaya, Riadi dari Ciamis, atau dari Modana karya Candra hayat dan Ki Umbara,
Puisi sawer dibawakan oleh 83,1% penutur dengan cara membaca teks: 16,9% lagi masih dengan cara hafalan.
Upacara adat nyawer sebagian besar (78,8%) masih tetap dilengkapi dengan taburan beras kunyit, bunga rampai dan uang. Bahkan ada yang menambahnya dengan gula-gula dan sukro, contohnya di Cianjur. Upacara
nyawer itu pelaksanaannya 89% tanpa diiringi muslk. Jadi hanya sedikit sekali yang biasa menuturkan sawer dengan diiringi keeapi suling atau musik gamelan. Umumnya yang diiringi musik itu ialah sawer dalam upacara pelantikan, seperti dilakukan oleh Drs. Wahyu Wibisana, Drs, Enip Sukanda, dan ldit Supurdi Madiana dari Subang.