4.2.2 Struktur Puisi Sawer
4.2.2.1 Bentuk
Dilihat dari bentuknya, puisi sawer Sunda yang dapat dikumpulkan dari penggubah, penutur dan data tertulis, digubah dalam bentuk puisi pupuh, syair, sisindiran, kawih, enam seuntai, papantunan, sajak, dan prosa lirik. Terdapat pula bentuk prosa yang digunakan berama-sama dalam satu gubahan dengan bentuk puisi. Sawer dalam bentuk prosalirik dan prosa jumlahnya tidak banyak.
a) Bentuk papantunan
Bait sawer yang mempergunakan papantunan ini jumlah lariknya tidak tetap. Suku katanya condong pada jumlah yang genap, yakni 8. Ada pula yang 6, 8, 10, dan 12 suku kata.
Bentuk ini ada yang dipergunakan mandiri dalam seluruh gubahan sawer, seperti contohnya sawer pengantin karya ON (Pusaka Sunda, 1926: 123, 124). Ada pula yang digunakan bersama-sama dengan bentuk lain seperti syair atau pupuh. Ada yang ditempatkan sebagai pembukaan pada bagian awal sawer, sebagai penyela di tengah-tengah, atau pada bagian akhir sawer.
Contoh ikatan papantunan yang dipergunakan sebagai pembukaan:
Pun, sapun,
ka luhur ka Sang Rumuhun,
ka Guruputra Yang Bayu,
ka handap ka Sang Batara
ka Batara ka Batari,
ka Batara Nagaraja,
amit ampun ka nu kagungan lembur,
tabe ka nu kagungan bale,
amit ka nu kagungan bumi,
bisina numbuk kukumbung,
bisina nojo kokosong,
bisina ngarumpak larangan.
Puisi sawer lain yang mempergunakan bentuk ini ialah sawer no. SB2 oleh Ibu Sangkit, Spl i oleh Idit Supadi Madiana, Sk4 Karya D. Duleh, SK5 karya Jasria, Sp. 18 dan SP 19 karya Wahyu Wibisana.
b) Bentuk Syair
Dari seluruh jumlah puisi sawer yang dapat dikumpulkan, bentuk ini