yang paling banyak dipergunakan, baik secara mandiri, maupun dipakai bersama-sama dengan bentuk lain. Dari 80 puisi sawer, ada 1009 bait (58,8%) syair.
Bentuk ini ada yang dipadukan dengan bentuk pupuh, sehingga terjadi bentuk baru yang mempunyai warna dan nada tersendiri. Jadi, kadang-kadang terdapat semacam bentuk pupuh bila dilihat dari jumlah larik dan bilangan suku katanya, tetapi bersajak akhir sama seperti sebuah syair. Gubahan semacam itu tidaklah dapat digolongkan kepada bentuk pupuh atau syair yang cedera, karena nyata terjadi kesengajaan pengarang dalam menyusun karyanya itu. Jadi bukanlah karena khilaf atau kekurangmampuan penggubahnya. Contoh yang dapat dikemukakan adalah sbb;
Nitih wanci nu mustari,
datang mangsa jatukrami,
kabingah mangketi-keti,
teu aya watesna deui,
mung Gusti anu ningali,
ka nu ngancik dina ati.
Karena itulah dalam penelitian ini puisi sawer semacam itu digolongkan tersendiri sebagai enam seuntai, bukan syair atau pupuh, juga bukan sajak, karena sajak mempunyai warna dan nada tersendiri pula dalam bentuk dan pengucapannya.
Contoh tersebut cocok dengan acuan pupuh Kinanti dalam bait dan lariknya, tetapi tidak memenuhi syarat guru wilangan pupuh itu. Mungkin penggubahnya menyusun sawer semacam itu supaya cocok dan mudah bila ditembangkan dengan lagu Kidung yang banyak digunakan dalam upacara sawer, atau dengan lagu lainnya yang disebut Nadom.
c) Bentuk Sisindiran
Dalam puisi sawer yang dikumpulkan terdapat bentuk wawangsalan dangding, dan paparikan, serta rarakita, yang ketiganya tergolong ke dalam sisindiran, semacam pantun.
Bentuk ini tidak dipergunakan mandiri untuk seluruh bait gubahan, tetapi sebagai penyela atau mengakhiri sawer. Penggunaan bentuk sisindiran dalam gubahan memberikan warna ceria ke dalam gubahan itu. Contoh di bawah ini terdapat dalam karya Ibu Acih dari Subang (S1 3).
Sok hayang mah, nya Encep, peuyeum Pagaden,
dikatukan dikacangan.