sok hayang mah peureum panganten,
dikasuran, dikasangan.
Aku ingin tape dari Pagaden,
memakai katuk, memakai kacang,
aku ingin tidur bagai pengantin,
memakai kasur dan kasang.
Penggunaan bentuk sisindiran dalam gubahan sawer tidak banyak jumlahnya. Dari sejumlah sampel 1717 bait, hanya terdapat 12 bait sisindiran (0,7%). Keadaan itu boleh ditafsirkan bahwa penggubah atau penutur sawer memandang perilaku nyawer itu masih sebagai laku yang bersungguh-sungguh.
d) Bentuk Pupuh
Bentuk pupuh juga agak banyak dipergunakan. Dari 80 buah puisi sawer sejumlah 1717 bait ada sebanyak 453 bait pupuh (26,4%). Pupuh yang dipergunakan dalam puisi sawer ialah Kinanti, Asmarandana, sinom dan Dangdanggula. Pupuh Kinanti ialah yang terbanyak dipakai dan umumnya dilagukan dengan Kidung, yakni lagu yang dianggap cocok dipergunakan dalam upacara magis dan sakral. Lagu lainnya yang dipakai dalam pupuh itu ialah: Ligar, Kinanti Buhun, Kunasari, Payo, dan juga dilagukan dengan Jemplangtiti yang termasuk golongan lagu Jejempalangan, Jemplang Serang, Jemplang Karang, Kawit, Kaleon, Candana, dan Sekar Gambir. Pupuh Sinom dilagukan dengan Sinom Degung, Gunung Sari. Dangdanggula dengan Bayubud dan Mangari.
Pada umumnya kaidah pupuh dalam segi guru wilangan dan guru lagu dipenuhi, sedangkan kaidah pedotan, yakni pemenggalan larik tidak selalu dipenuhi. Penyimpangan dalam kaidah pedotan umumnya karena kepentingan maksud dan makna kalimat, sedangkan penyimpangan dalam watak pupuh disebabkan dalam menembangkannya lebih mementingkan 'watak lagu', yang memang sangat beragam terdapat dalam pupuh-pupuh tersebut.
Dari teks puisi sawer yang terkumpulkan ada yang jelas disebutkan lagunya, ada pula yang tidak. Jadi dalam kenyataannya mungkin lebih banyak lagi macam lagu yang dipergunakan dalam nyawer.
Bentuk pupuh itu ada yang digunakan dalam seluruh bait teks/tuturan, ada pula yang digabungkan dengan bentuk lain, seperti papantunan, syair, kawih, atau sajak.
e) Bentuk Kawih
Dalam beberapa sawer dipergunakan bentuk kawih baik kawih buhun