Lompat ke isi

Kaca:Puisi Sawer Bahasa Sunda.djvu/57

Ti Wikipabukon
Ieu kaca geus divalidasi

dari alat-alat kelengkapan itu tidak ada lagi.

Kedua, karena sikap ekonomis. Beberapa orang informan menyatakan bahwa banyak yang tidak menyelenggarakan upacara tersebut karena kurang ekonomis. Tetapi sikap para budayawan sangat berlainan. Tb. A. Afendi dari Serang, K.S. Kostaman dari Bandung, misalnya, mempunyai pendapat yang sama, bahwa upaeara-upaeara adat pernikahan dengan memakai ngeuyeuk seureuh, midodareni, nyawer, buka pintu, jangan hanya ditinjau dari segi agama dan ekonomisnya, akan tetapi hendaknya ditinjau dari segi pelestarian budaya, yakni budaya yang spesifik dan menjadi milik bangsa. Sedang informan Hidayat Suryalaga berpendapat bahwa upacara adat nyawer jangan ditinjau secara ekonomi sepihak, karena dengan diadakannya upaeara semacam itu akan membuka lapangan kerja baru bagi sebagian anggota masyarakat, misalnya bagi panggubah teks sawer dan penembang yang menjadi juru sawer. Para penggubah akan terdorong untuk menyusun puisi sawer yang baik, yang dapat diterima dan dimantaatkan oieh anggota masyarakat. Secara tidak langsung kegiatan itu turut mengembangkan seni sastra dan seni tembang.

Kenyataan menunjukkan bahwa di kota-kota besar seperti Bandung, Bogor, dan Cianjur terdapat usaha melatih para penembang yang dapat dijadikan juru sawer yang baik, Para pelatih itu di antaranya: Jbu Saodah (alm), Uking Sukri, R. Malkan Sutadiradja, Bakang Abubakar, Apung Wiratmaja, Aki F.ndu, Cicah Acicah. Ibu Sumengkar. Hasil latihan mereka banyak yang sudah menjadi juru sawer yang terkenal seperti Dadang Sulaeman, Ucu Wahyu, Nenden Asyani, Ida Widawati, Tati Mulyati, Nina K. Sopandi, Nunung Sobariah dan Diding Riswandi.

Dari hasil angket dan wawancara diperoleh data bahwa pada umumnya juru sawer dan informan khusus menghendaki agar upaeara nyawer dan puisi sawernya tetap dilestarikan. Dari 68 orang informan kliusus dan juru sawer ada 56 orang (82,4%) yang berpendapat bahwa puisi sawer perlu dikembangkan, sedang 12 orang (17,6%) lagi berpendapat bahwa perlu dilestarikan saja. (2) Dilihat dari perilaku dan ucapan-ucapan waktu menuturkan sawer yang bernilai magis, bisa diperkirakan bahwa para penutur sawer pada permulaannya dianggap sebagai ahli magi, yang dapat menjadi perantara dalam mengadakan hubungan dengan dewa, leluhur, dan roh halus. Kemudian juru sawer dipandang sebagai orang biasa, akan tetapi mempunyai keahlian khusus sebagai pendidik, yang menyampaikan nasihat-nasihat waktu upacara nyawer. Yang menjadi juru sawer dianggap orang yang eukup berwibawa, berpengetahuan cukup tentang agama dan moral. Dalam perkembangan selanjutnya, juru sawer itu selain menyampaikan nasihat juga menghibur pengantin dan hadirin. Juru sawer yang pandai menembang menyampaikan kreasi seni dan

44