Kaca:Wawacan Jayalalana.djvu/199

Ti Wikipabukon
Ieu kaca geus divalidasi

191

226. Bersandar tidur menyepi, tujuh mantri hatinya senang, bahagia sekali, sekarang tentu dapat, mau kemana larinya, ayo kawan kita kepung, pelan-pelan takut minggat.

227. Yang tidur menyepi, tidak bangun bersender pulas, oleh semua diintip, dipegang mau dimiliki, Den Jayalalana kaget, bangun sambil meronta-ronta, tiba-tiba lepas tangannya.

228. Yang ada didepan ditempeleng, yang dibelakang disepak, yang dipinggir dipukul, mantri tujuh terjungkal, dengan cepat Raden Lalana, meninggalkan yang telanjang.

229. Den Lalana lari cepat, gunung tinggi di puncaknya, inginnya mau bersembunyi saja, tapi ketika datang, heran sekali, ada mesjid di puncak gunung, halamannya luas sekali, bengong dalam hati, tidak sangka sama sekali, heran diiringi dengan bahagia, ada yang datang, kakek-kakek berjenggot, memanggil sambil berkata, he raden ke sana ayo.

230. Den Lalana sedikit ketakutan, melihat yang berjenggot panjang, padahal bukan sembarangan, itu kakek-kakek, nyatanya seorang pendeta, yang tinggal tetap di atas gunung, titisan pemimpin negara.

231. Kebun sayur tadi, itu semua ciptaan, menyediakan yang muda, dikisahkan saat itu pendeta, menuntut raden Lalana, sudah duduk berhadapan resi pun berkata.

232. Raden jangan kaget, sebenarnya ini kakek, ayah ibu raden asli, Wulansari anak kakek, keturunan dari jin, kakek ke raden sudah maklum, walaupun tidak terus terang.

233. Sabar dan pasrah diri, menerima pada suratan, menerima apa-apa yang dipastikan Allah Yang Kuasa, biarlah begitu wajar, adatnya seorang ksatria, harus mengandung bingung dulu, mengarungi alam pengalaman.

234. Eyang sangat bersyukur sekali, raden sekarang ke sini, ditunggu air dulu, sebenarnya mau wasiat, mau mewasiati prajimat, sebuah pedang, baju, dan ikatan rukmin/emas.

235. Ayo tampan, sekarang terima, satu lagi ini ajimat, panah yang