Kaca:Wawacan Jayalalana.djvu/217

Ti Wikipabukon
Ieu kaca geus divalidasi

209

  1. Ketika sewaktu-waktu, marah sekali, Aryakanta kemudian meramalkan putri yang macam-macam, isterinya menjerit dan menghindar, memberi tahu kepada ayah.
  2. Menangis sampai tersedu-sedu, bingung hati sang narpati, karena sayang kepada anak, mencari jalan yang baik, membuat bosan memberi nasihat, akhirnya memanggil Den Patih.
  3. Kata Den Patih sudah datang, ratu kemudian berkata, patih bagaimana caranya, putra-putri tidak akur, sudah setahun yang pesta, bagaimana akalnya yang akur.
  4. Cari jalan yang mulus, agar tidak ada yang celaka, dengan saudara jangan 'benghal' bentrok dengan saudara pernah, den patih menjawab dan menyembah, saya anak raja.
  5. Sebaiknya disuruh pulang, jangan ada di Tanjung Puri, biar apa karena membuat celaka, jadi pengantin tidak akur, kalau anan raja marah, biarkan Daya yang menjadi ganti.
  6. Waiau ditebus usia, harus 'lara uing pati; tidak ada halangan, karena membela raja kalau begitu, lebih baik Aryakanta diusir.
  7. Tidak panjang sang raja, memikirkan yang panjang pikiran, masih pada akhimya, akhimya berkata kepada patih, terserah Den Patya, saya tahu baik lagi.
  8. Kemudian patih pergi tergesa-gesa ke kabupaten sudah sampai, kata patih sekarang raden oleh ayah tidak boleh tinggal, katanya harus pulang, jangan ada di Tanjung Puri.
  9. Aryakanta diam tidak berkata, ketika mendengar perkataan patih, saat itu juga segar, bersiap-siap mau pulang, kepada patih tidak permisi, terima an penuh semangat pergi.
  10. Dijalannya tidak diceritakan, dikisahkan sudah sampai, masuk menghadap ayah, memberi tahu bahwa diusir, sudah tidak mendapat air mentah , oleh papatih Tanjung Puri.
  11. Dan semua diceritakan, tingkah laku putri, sampai sudah setahun mengadakan keramaian hati ayahnya heran, tidak disangka pada mulanya, disangka pengantin akur saja.