Ringkasan cerita:
M. Sumarja, jurutulis pegadaian Garut, memperisteri Nyi Mas Iting. Karena Mas Arga, ayah Iting, seorang jagal yang berada, perkawinan itu dirayakan dengan besar-besaran.
Sumarja, yang semasa kecilnya dipanggil Sukri, sebenarnya berasal dari keluarga yang miskin. Berkat kerajinan dan ketekunannya, ia tamat Sekolah Desa dan Sekolah Distrik (Sekolah klas II atau Sekolah Dasar sekarang). Karena bernasib baik, ia mendapat pekerjaan sebagai jurutulis pegadaian. Oleh sebab ayahnya sendiri cuma tukang menganyam gedeg (dinding) bambu, yang diakui sebagai ayahnya, ialah uanya, H. Karim, orang yang kaya dan terpandang di desa Sukamantri.
Karena sudah lama tak berjumpa dengan anaknya, Pak Sukri (Marhasan) pada suatu hari mencari Sumarja di Garut. Meskipun pakaiannya kumal dan amat sederhana sekali, ia diterima dengan ramah oleh Iting, yang berperangai baik. Tapi sambutan anak kandungnya sendiri justru sebaliknya. Sumarja bersikap acuh tak acuh terhadap ayahnya, bahkan memperingatkan, agar jangan sekali-kali lagi berkunjung kepadanya. Dengan hati yang luka, sang ayah pulang ke kampung halamannya.
Dalam pada itu H. Karim, kakak Pak Sukri, berangan-angan mempertemukan anak pungutnya, Nyi Sutirah, dengan Sumarja. Hal itu dirundingkannya dengan Pak Sukri, yang menyerahkan segala-galanya kepada saudara tuanya.
H. Karim kemudian menemui sendiri keponakannya, Sumarja, yang sudah dipindahkan ke Banjar. Nyi Mas Iting kebetulan tak ada di rumah, karena sedang berobat di Garut. H. Karim dengan leluasa mengemukakan niatnya kepada Sumarja. Ia merasa khawatir, kalau-kalau kelak harta kekayaannya akan jatuh kepada orang lain. Namun Sumarja, yang telah sadar akan dosanya kepada orang tua, menolak kehendak uanya. Ia tak sampai hati menceraikan Nyi Mas Iting, yang tak berdosa. lagi pula sedang sakit. Ia takut akan pembalasan Tuhan di kemudian hari. Sumarja kemudian menghibur uanya, bahwa harta kekayaannya kelak akan jatuh kepada saudara-saudaranya dan akhirnya kepada anak-anaknya juga. Selain itu Sumarja berjanji akan menganggap dan mengurus Nyi Sutirah sebagai adik kandungnya pribadi.
H. Karim sekarang merasa tenang, karena sudah terlepas dari beban kekhawatirannya, yang selama ini menghimpit dadanya. Ia tidak