Kaca:Randa Bengsrat-Roman Sunda.pdf/19

Ti Wikipabukon
Ieu kaca geus diuji baca

untuk memberi dasar mengapa Kohar akhirnya masuk Islam kalau tidak demikian cerita Kohar masuk Islam akan terasa kurang logis padahal hal ini perlu untuk menolong ”Randa Bengsrat” menjadi HE)

 Esih pulang dengan motto: “Tapi mau ke mana lagi kalau tidak pulang ke kampung halaman sendiri dan seterusnya”. Motto ini terdapat juga pada permulaan kisah paling depan (bab I) waktu Udi pulang kepada orang tuanya, karena dipista Esih.

 Dalam perjalanan pulang ke kampung Esih tersiksa lahir-batin. Lahir: letih lesu tak terperikan membawa perut mengandung sembilan bulan. Batin: pikiran kacau didahului oleh ucapan: ”Akan di kemanakan mukaku?”

 Esih menjerit, menangis dan meratap. Tentu saja membuat kaget dan ribut orang-orang yang sedang bekerja di sawah, termasuk Udi.

 Esih digotong diantarkan ke rumah orang tuanya. Udi mula-mula ikut kemudian tak tahan mengekang pikiran kusut ia membalik ke rumahnya, menutup diri di kamar.

 Bukan dunianya hidup di kota. Tapi pulang ke kampung dengan sendirian dengan tiba-tiba dan membawa perut mengandung, mengundang pergunjingan orang-orang yang tak ada habisnya. ”Begitulah perempuan yang tak menurut orang tua” - ”Dikawin oleh orang benar tak mau.” Sayang rupa cantik sampai rusak begitu. Siapa orang nya yang tak terpikat uang?” Demikian bisik orang-orang di sekeliling. Akhirnya terpusat di pikiran pendek, hati kosong, semua pintu tertutup. Esih menghilang dari rumahnya, seluruh kampung mencarinya.

 Di Jambatan Cibangka Esih bertelekan pada galarnya. Di bawahnya, gelap hitam. ”Lompatlah, buat apa hidup, tak ada tempat berpijak”. Tapi ia masih ingat perutnya, ingat isinya. Akan dibunuhnya anak yang tidak bersalah itu? Di bawah sana rombongan orang-orang yang membawa obor memanggil-manggil: Esih... Esih..... Tapi Esih sudah tak dapat melihat, tak dapat mendengar.

  Bersamaan dengan ribut di kampung. Kohar di kota (Ja-

17