Kaca:Wawacan Jayalalana.djvu/332

Ti Wikipabukon
Ieu kaca geus divalidasi

325

Manusia Sunda yang berlatarbelakang agraris, sangat kental dengan kehidupan bergaya peladang. Hal ini menunjukkan pula dalam pola tingkah laku yang digambarkan tokoh-tokohnya.
 Wawacan Jayalalana sebagai hasil karya sastra tidak terlepas dari latar belakang budaya si penulis. Hal ini disebabkan bahwa hasil karya sastra merupakan mimesis dari alam sekeliling penulis, karya sastra ini merupakan ungkapan nilai-nilai tradisi yang telah mengkristal dan dijadikan pedoman hidup masyarakatnya. Pengungkapan kembali oleh si pengarang, sadar atau tidak sadar bertujuan sebagai jembatan atau penyampai dan pelestari nilai-nilai budaya serta norma-norma kehidupan suatu masyarakat dari generasi terdahulu kepada generasi penulis dan generasi yang akan datang. Dengan demikian, Wawacan Jayalalana ini merupakan hasil pemikiran yang berlatar belakang sosial budaya pada jaman si penulis. Di samping itu Wawacan ini merupakan hasil karya sastra yang berfungsi sebagai sebuah alat pelestari nilai-nilai dan norma-norma yang telah menguratakar pada suatu masyarakat (Sunda, khususnya), yang mampu memberikan khazanah kebudayaan nasional pada umumnya.
 Wawacan Jayalalana merupakan hasil kumulasi dari nilai-nilai tradisional pada jamannya yang dituangkan kembali dalam bentuk sebuah cerita, maka wawacan ini dapat dijadikan sebagai suatu sumber informasi kebudayaan daerah (Sunda). Seperti diungkapkan terdahulu, bahwa dalam wawacan (Karya sastra) ini tersimpan berbagai simbol-simbol budaya yang memerlukan suatu pemaknaan yang arif, sehingga pesan atau informasi yang diharapkan penulis mampu diterjemahkan dengan baik dan informasi ini dapat terwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya. Informasi berupa nilai-nilai dan norma-norma kehidupan ini adalah merupakan peletak dasar dari norma-norma kehidupan dewasa ini, maka dengan kristalisasi nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang tersimbulkan ini merupakan mata rantai awal kebudayaan yang terus bersambung hingga menjadi mata rantai yang tak terputuskan, sehingga dapat dikembangkan ke arah suatu kebijakan. Seperti dalam penjelasan pasal 32 UUD-45 yang berbunyi: