Kaca:Hujan Munggaran - Genep Carita Pondok 1957.pdf/16

Ti Wikipabukon
Ieu kaca geus diuji baca

Hari-hari libur si anak pulang kampung. Heran memperhatikan sikap-laku sang ayah seperti kebingungan, sering merenung-renung dan murung.

Dipancing dengan menanyakan untuk apa bangunan besar yang masih terbengkalai itu.

Keluar jawaban, itulah yang menjadi pikiran karena kehabisan pembiayaan.

Ketika ditanyakan, mengapakah mulai dengan bangunan besar, bukankah untuk dapur dapat dibuat bangunan kecil dan sederhana saja.

Jawabnya: “Itulah keinginan ibumu!” (bagi si anak sebenarnya ibu tiri).

Si anak tak berani mendesak, takut sang ayah tersinggung.

Tapi ketika memberi pandangan bahwa sang ayah tak perlu kebingungan, karena masih mendapat nafkah (gaji) tiap bulan untuk menyelesaikan bangunan itu secara berangsur, sang ayah menjawab itulah yang jadi pikiran karena uang cadangan itu diperlukan untuk yang lain, yang lebih penting.

Si anak bertanya: ”Apa yang lain itu?”

Sang ayah menjawab hampir tak terdengar:

— Piknik ke Jakarta....(Memenuhi keinginan sang ibu yang tak mungkin ditolak, karena sedang mengandung.....)

Jadi bagi ibu yang tampaknya ’manja’ ini, piknik ke Jakarta lebih penting dari menyelesaikan bangunan yang terbengkalai.

Cerpen kelima: Cengcelengan (celengan). Dalam cerpen ini penulis lebih jauh menjangkau ke masa kanak-kanak dan dunianya.

Si ’aku - kecil ditinggal pergi kakak dan iparnya ke kampung menengok anaknya yang sakit. Ia sendirian di rumah, padahal tak punya uang.

Uang peninggalan yang sedianya untuk persediaan membeli lauk-pauk waktu makan, habis tak bersisa dipakai membayar uang sekolah (Rupanya kakaknya lupa untuk meninggali uang untuk bayaran).

Teringat ia akan celengan kakaknya, dengan pikiran tiap hari akan dapat mencungkil dari lubang celengan dengan pisau kecil

14