Kaca:Randa Bengsrat-Roman Sunda.pdf/13

Ti Wikipabukon
Ieu kaca geus diuji baca

Ringkasan Cerita:

 Penganten, mengisahkan sikap dan tindak calon wanita (Esih) selalu menghindar bila akan ditemui calon suaminya. Hal ini mengherankan kerabat dekat terutama para ibu, dan mulailah jadi percakapan ramai meskipun pada mulanya hanya kasak-kusuk. Ibunya mulai cemas, kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan peristiwa ini melanjut sampai keesokan harinya setelah penganten dirapalan. Malam pertama yang biasanya bagi umum merupakan puncak kebahagiaan, bagi kedua mempelai ini tidak mungkin, Esih tak mau masuk kamar penganten dan Udi (suaminya) hanya duduk termenung-menung di kursi, kebingungan. Yang mengherankan bagi semua, karena perkawinan ini dilaksanakan berdasarkan suka sama suka. Udi dan Esih teman sekampung dan sepermainan, Esih sendiri yang mempersiapkan kamar penganten dengan segala peralatannya.

 Mulai Elik (pista = tak mau tidur bersama suami) sejak mulai malam pertama, setelah dirapalan. Ibunya bukan cemas lagi, tapi marah. Kerabat lain, uanya, bibinya bahkan sesepuhnya, Nyi Kuwu (Ibu Lurah) bergantian memberi nasihat, dengan lemah lembut, dengan kasar, dengan berbagai cara tapi Esih tetap membangkang. Ia merongkol saja di kamar ibunya, tak mau sekadar bercakap saja pun dengan suaminya. Kalau sudah demikian sudah menjurus keputus hubungan suami istri.

 Pondok (pendek) jodoh, akhirnya keputusan mereka, Udi suami yang dipesta, masih punya harga diri. Tak mau ia menunggu sampai Esih sembuh dari ’penyakitnya’. Ia tampil di muka mertuanya (yang wanita) berkata sambil meletakkan Koper yang dipegangnya, ”Bibi saya permisi pulang,” tak lebih. Tapi semua hati tergerak oleh ucapan sederhana itu, semua maklum semua ikut sedih, melihat penganten pria, pulang ke orang tuanya. “Barangkali diguna-gunai orang”. "Sayang pemuda cakep ko dipista”, kata yang lain.

 Mereka tidak mengerti. Mereka menikah atas kehendak berdua, orang tua hanya melaksanakan.

11