Lompat ke isi

Wawacan Pareumeun Obor I

Ti Wikipabukon
Wawacan Pareumeun Obor I  (1980) 
by M.K. Hardjakoesoema

[ Sampul ]

Milik Departemen P dan K
Tidak diperdagangkan
Untuk umum


Wawacan
Pareumeun Obor
I


M.K. Hardjakoesoema




[ Judul ]

WAWACAN
PAREUMEUN OBOR
I





[ i ]

WAWACAN
PAREUMEUN OBOR

KARANGAN
M. K. HARDJAKOESOEMA

(Jilid I)





DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PROYEK PENERBITAN BUKU BACAAN DAN SASTRA
INDONESIA DAN DAERAH
Jakarta 1980

[ iii ]

KATA PENGANTAR


Bahagialah kita, bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama, yang pada hakikatnya adalah cagar budaya nasional kita. Kesemuanya itu merupakan tuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan sumber penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan ilmu di segala bidang.

Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya.

Modal semacam itu, yang tersimpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya.

Pemeliharaan, pembinaan, dan penggalian sastra daerah jelas akan besar sekali bantuannya dalam usaha kita untuk membina kebudayaan nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidikan pada khususnya.

Saling pengertian antar daerah, yang sangat besar artinya bagi pemeliharaan kerukunan hidup antar suku dan agama, akan dapat tercipta pula, bila sastra-sastra daerah yang termuat dalam karya-karya sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini manusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan rohaniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah itu. Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya akan berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu, ia akan dapat menjelma menjadi sumbangan yang khas sifatnya bagi pengembangan sastra dunia. [ iv ]Sejalan dan seirama dengan pertimbangan tersebut di atas, kami sajikan pada kesempatan ini suatu karya sastra daerah Sunda, yang berasal dari PN Balai Pustaka, dengan harapan semoga dapat menjadi pengisi dan pelengkap dalam usaha menciptakan minat baca dan apresiasi masyarakat kita terhadap karya sastra, yang masih dirasa sangat terbatas.

Jakarta, 1980

Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah

[ v ]

Diterbitkan kembali seizin PN Balai Pustaka
BP No. 790
Hak pengarang dilindungi undang-undang

[ 7 ]

RINGKASAN

Mas Sobari, penduduk desa Sukasari, boleh dikata hidup berkecukupan. Ia memiliki sawah dan kebun: di samping itu ia pun suka memborong pekerjaan. Tetapi kesenangan itu tidak kekal. Mas Sobari tiba-tiba diserang penyakit lumpuh. Ia berobat kepada beberapa orang dokter dan dukun. Namun penyakitnya tak sembuh juga. Kekayaannya sedikit demi sedikit dijualnya untuk biaya berobat. Tujuh tahun lamanya ia merana. Sehari-harian ia berbaring saja. Dengan pertolongan tongkat ia memaksakan dirinya bertatih ke perigi untuk mengambil air wudhu.

Karena begitu lama Mas Sobari tak dapat mencari nafkah, hartanya habis terjual. Yang menyisa hanyalah rumah yang didiaminya saja. Namun kesengsaraan hidup itu diterimanya dengan sabar dan tawakal. Ia tahu bahwa semua itu cobaan Tuhan belaka. Isterinya, nyi Patimah, kebetulan orang yang beriman tebal. Dengan setia dan penuh kasih sayang ia mengurus suaminya yang tak berdaya itu. Melihat kesetiaan istrinya, Mas Sobari sering menitikkan air mata.

Pada suatu hari Mas Sobari menyatakan niatnya akan minta dirawat di rumah sakit sebagai orang miskin agar cuma-cuma. Maksudnya ingin meringankan beban istrinya yang begitu berat. Dengan demikian kewajiban nyi Patimah hanyalah mengurus anaknya yang laki-laki, Salim. Niat itu ditolak oleh istrinya, sebab ia tak tega membiarkan suaminya berbaring di rumah sakit, padahal ia sendiri rela dan ikhlas merawatnya.

Suatu waktu Mas Sobari merasa lapar, tapi sisa nasi hanya cukup untuk si Salim, anaknya yang masih kecil. Oleh sebab itu nyi Patimah merebus sepotong singkong yang ditemukannya di dapur. Ketika akan dihidangkan kepada suaminya, Mas Sobari, nampak tidur nyenyak. Nyi Patimah berusaha membangunkannya, tapi yang tidur diam saja. Ketika diguncang-guncang suaminya ternyata sudah tiada lagi.

Kesedihan nyi Patimah sukar dilukiskan dengan kata-kata. Ia kini tinggal berdua dengan si Salim yang masih kecil, dan ia pun sedang hamil juga. Untunglah ia mendapat pertolongan [ 8 ]tetangga-tetangganya yang baik hati. Sebab nyi Patih seorang wanita yang ramah, pemurah dan suka tolong menolong orang-orang yang kesusahan. Ketika selamatan mengurus mayat dan tahlilan berakhir, ia mempunyai sisa beras dan uang yang cukup buat sebulan. Terutama sekali kepada lurah dan istrinya ia berterima kasih, sebab suami istri itulah yang paling besar jasanya meringankan beban hidupnya.

Dalam pada itu kandungan nyi Patimah makin lama makin tua. Dengan pertolongan dukun beranak, ia melahirkan bayi perempuan yang cantik seperti ibunya. Anak itu dinamainya Salamah. Alangkah bahagianya Salim mendapat adik perempuan: yang mulus dan mungil.

Pada suatu hari Lurah Sukasari dan isterinya berkunjung ke rumah nyi Patimah. Lurah berkata bahwa ia diminta menyampaikan nama dua calon murid sekolah klas dua (sekolah dasar) kepada atasannya. Kepada nyi Patimah ia minta agar Salim diperbolehkan bersekolah. Ibu maupun anak tidak berkeberatan, malah permintaan lurah diterima mereka dengan suka cita.

Sejak itu Salim pergi ke sekolah di kota bersama anak lurah. Meskipun tiap hari harus menempuh jarak kira-kira lima kilometer, namun ia tak pernah membolos. Berkat kerajinan dan ketekunannya belajar, Salim selalu mendapat nilai yang baik.

Sekali waktu ia pulang sudah larut petang. Atas pertanyaan ibunya yang merasa waswas, Salim menjelaskan bahwa ia disuruh memungut anak panah bapak Naib (penghulu). Malah ia diminta supaya menjadi pemungut seterusnya. Upahnya sebesar sepicis (sepuluh sen) ditabungnya sebagian. Dengan demikian, ia bisa membantu kebutuhan ibunya sehari-hari. Sesudah isinya dirasa cukup banyak, celengan itu dipecahkannya. Tabungannya sebanyak tujuh perak enam puluh sen dibawanya ke pasar. Salim membeli bahan baju baginya sendiri dan bagi adiknya, Salamah. Selain itu dibelinya pula aneka kertas kembang, mainan-mainan, kembang-kembang kertas, pisau dan gunting. Ibunya heran melihat belanjaan anaknya yang begitu banyak. Salim menerangkan bahwa ia bermaksud membuat mainan untuk dijual ke pasar. [ 9 ]Mulailah Salim belajar membuat mainan. Mainan-mainan yang dibelinya di pasar dibukanya untuk dijadikan contoh. Karena otaknya cerdas dengan cepat ia bisa menirunya. Setiba dari sekolah Salim terus bekerja, dibantu oleh ibunya dan Salamah. Kian lama ia kian trampil, dan hasil pekerjaannya malah lebih bagus daripada contohnya. Pendapatannya lumayan juga, dan ia dapat membantu ibunya sekedarnya.

Di antara teman-teman sekolah Salim ada seorang anak yang merupakan sahabat karibnya, Tarlan namanya. Ia pun sudah ditinggal mati oleh ayahnya. Tarlan sering bercerita tentang kebesaran dan keramaian Betawi (Jakarta), sebab ia sudah beberapa kali berlibur di rumah pamannya yang bekerja sebagai jurutulis toko Tiang Ki Kota. Sudah lama ia bercita-cita ingin mencari pekerjaan di Jakarta. Mendengar cerita sahabatnya, Salim tertarik hatinya. Maksudya bekerja di kota ramai itu tak lain hanya untuk membantu ibunya dan adiknya, Salamah. Ia ingin memanfaatkan ilmu yang didapatnya di sekolah.

Dengan sedih dan berat hati nyi Patimah meluluskan permintaan izin anaknya. Sebelum berangkat ia memberi berbagai nasehat demi keselamatan Salim di rantau orang. Pada hari yang telah ditentukan Salim dan Tarlan diantar ke setasiun kereta api. Keberangkatan mereka disertai hujan air mata kaum kerabat masing-masing.

Kedatangan Salim disambut dengan ramah oleh paman dan bibi Tarlan di Rawabangke. Salim merasa kecewa, sebab rumah paman sahabatnya letaknya di dalam kampung, jauh dari jalan besar, berdinding anyaman bambu serta berlantai tanah. Tapi apa mau dikata, segalanya sudah terlanjur.

Beberapa hari berturut-turut Salim dibawa keliling kota oleh Tarlan. Mereka naik ”setum”, yaitu trem yang ditarik oleh lokomotif uap. Sekali waktu ketika sedang berada di tepi laut, Salim melihat tiga sinyo (anak Belanda) sedang bernyanyi-nyanyi dalam perahu. Salah seorang di antaranya berdiri sambil memegang jala. Pada saat ia mengembangkan jalanya siap untuk dilemparkan, tiba-tiba ia terpeleset. Perahu terbalik dan ketiga remaja itu terjatuh ke dalam air. Kedua sinyo dapat berenang ke [ 10 ]tepi. Tapi sinyo yang melemparkan jala terjerat oleh jalanya sendiri, sehingga tak mampu melepaskan dirinya. Salim tak berpikir panjang; ia melompat ke dalam air, kemudian melepaskan anak Belanda itu dari jeratan jalanya, lalu membawanya berenang ke darat. Sinyo itu sudah banyak kemasukan air sehingga tak bisa bernafas. Untunglah Salim pernah belajar memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan semacam itu. Dengan susah ia dapat menolong jiwa anak -Belanda yang naas itu. Oleh polisi nama dan alamat Salim dicatat, kemudian mengangkut sinyo yang setengah tak sadar itu ke rumah sakit.

Sesampai di rumah Salim jatuh sakit. Badannya panas sekali dan menggigil karena demam. Ia menangis teringat kepada ibu dan adiknya di desa. Tarlan, sahabatnya yang setia tak pernah enyah dari sisi Salim. Ia memijit badan si sakit, memberinya minum aspirin dan menghiburnya agar sabar dan tawakkal. Dua hari kemudian Salim sembuh.

Karena sudah seminggu lamanya menumpang di rumah Paman Tarlan, Salim merasa agak malu. Sudah waktunya ia mencari pekerjaan. Ia melamar ke toko, kantor, pabrik, gudang dan lain sebagainya, akan tetapi tak satu pun yang mau menerimanya. Ia sengaja naik setum ke tempat-tempat yang jauh atau berjalan kaki buat menghemat uang. Beberapa hari lamanya ia menjelajah kota, namun selalu gagal mendapat pekerjaan. Karena usahanya kandas, Salim berniat membuat lagi mainan seperti di desanya dulu. la terpaksa berbuat demikian, sebab persediaan uangnya semakin tipis, sedangkan tiap hari ia mesti makan di warung.

Mulailah Salim berusaha berdagang mainan-mainan yang dijajakannya ke kampung-kampung. Pendapatannya tak seberapa, tapi jalan lain tak ada. Pada suatu hari sebagaimana biasa, ia berdagang lagi mainan. Untuk menghemat waktu dan tenaga, ia mau naik setum. Tapi oleh kondektur ia dilarang naik, sebab barang dagangannya merigganggu penumpang. Terpaksalah ia berjalan kaki menempuh jarak jauh. Dari Rawabangke ia sampai di Pasar Senen, kemudian menuju Tanah Nyonya, Tanah Tinggi, Kramat Pulo, Kepu terus ke Kampung Utan. [ 11 ]Waktu itu Kampung Utan masih sunyi. Salim yang tak tahu jalan jadi kebingungan, sedangkan hari sudah petang. Kepada pedagang rebusan ia bertanya ke mana terusnya jalan yang sedang dilaluinya. Yang ditanya singkat saja menjawab, “Ke Kemayoran”, tanpa memberikan keterangan lebih lanjut. Salim meneruskan perjalanan tanpa mengetahui arah yang tentu. Jalan makin lama makin sepi; yang dilaluinya hanya kebun-kebun sawo, rambutan, duku atau nangka. Tidak ada kampung yang dilaluinya.

Dalam pada itu menjelang senja turunlah hujan yang kian lama kian deras. Barang dagangannya basah kuyup sehingga menjadi hancur. Salim berjalan terhuyung-huyung, sebab tenaganya hampir habis. Ia tersentak kaget karena yang disangkanya kampung ternyata pekuburan Cina (sentiong). Ia berjongkok lesu di tempat yang becek sambil menangis tersedu-sedu karena amat sedih. Giginya gemeletuk, badannya menggigil kedinginan. Kepala pening, lagipula letih luar biasa. Malumlah ia telah berjalan sehari penuh. Yang nampak di sekitarnya hanyalah pepohonan tinggi dan timbunan-timbunan tanah kuburan. Dengan sisa tenaganya ia bertatih dengan pertolongan sepotong bambu masuk ke dalam sebuah gubuk tak jauh dari sentiong. Ia menelungkup ke atas bale-bale bambu dalam keadaan demam. Rasa haus yang sangat terpaksa ditahannya saja. Sulit sekali ia tidur, tapi akhirnya ia terlena juga. Ketika terbangun keesokan harinya, Salim ditemukan oleh si empunya kebun. Orang itu heran menjumpai Salim yang demam tinggi sampai mengigau. Pa tani itu lekas melaporkan kejadian itu kepada “wijkmeester” (lurah) Sawahbesar. Salim cepat diangkut ke rumah sakit yang terdekat di Glodok.

Dalam pada itu hilangnya Salim sangat merisaukan Tarlan dan paman-bibinya. Ia berusaha menemukan sahabatnya, akan tetapi sia-sia saja. Kebetulan paman Tarlan membaca sebuah berita dalam koran, bahwa ada laki-laki tak dikenal hancur terlindas setum. Dari itu ditariklah kesimpulan, bahwa Salim sudah mati. Maka pakaian dan barang-barang milik Salim dikumpulkan, kemudian dikirimkan dengan paket kepada ibunya di [ 12 ]Sukasari. Nyi Patimah yang kini telah kawin dengan Lurah karena ditinggal mati oleh istrinya menerima kiriman itu dengan perasaan aneh. Ketika diketahui bahwa anaknya telah wafat, ia menangis sejadi-jadinya. Ketika panen telah masuk semua, Lurah dan nyi Patimah bersama Salamah pergi berziarah ke kuburan Salim, sekaligus berdarmawisata melihat keramaian Jakarta.

Empat bulan lamanya Salim dirawat di rumah sakit Glodok. Setelah sembuh betul, barulah ia diperbolehkan pulang. Langsung ia pergi ke rumah paman Tarlan di Rawabangke, tapi alangkah kagetnya, ketika rumah itu dihuni orang lain. Oleh seorang ibu yang menerimanya ia diberi tahu bahwa penghuni lama sudah pindah ke tempat lain karena salah seorang keluarganya mati diserang kolera. Salim murung sekali mendengar kabar itu, sampai hampir menangis. Namun ibu yang mendiami rumah sekarang kebetulan orang yang baik hati. Salim diajak tinggal saja di rumahnya.

Setelah pakaian yang dicucinya kering, Salim pergi mencari pekerjaan. Ketika sedang berpikir-pikir di tepi jalan, ia ditanya oleh seorang mandor mau tidaknya bekerja sebagai kuli di Salemba. Tanpa berpikir lagi ia menjawab bersedia, lalu dipekerjakan sebagai kuli penunggu gudang bahan bangunan. (Bersambung).

Jakarta, 2 Februari 1981
Penyusun ringkasan,

Haksan Wirasutisna.

[ 13 ]

DANDANGGULA

Pasosore waktu asar ahir, kabeneran keur hade poena, srangenge geus dengdek ngulon, reyem-reyem rek surup, urut panas kagentos tiis, nyegerkeun ka salira, sorot surya ngempur, marakbak di awang-awang, semu kuning jeg pisan emas disangling, nyorotan sabuana.

Mega beureum marakbak di langit, tutumplukan siga gunung emas, kawas hirup tingsoloyong, nyukakeun nu ngalantung, nu maridang kenging ngaginding, ngareureuhkeun salira, tina damel ripuh, urut sadinten usaha, rupi-rupi enggoning nyukakeun galih, nurutkeun kasenengna.

Di buruan barudak arulin, raramean pada sukan-sukan, aya nu galah nu tagon, ear budak lalembut, aya anu seuri nu ceurik, kateumbag ku baturna, rame guyur ibur, kolotna dariuk ningal, redes baris di hareup bari ngaluis, kenging gentos pakean.

Ngawarangkong semu suka ati, diuk bari nyanding kadaharan, aya cikopi cienteh, awewena ngabaku, ngagedengkeun tampekan nyangding, aremok dina samak, ngeluk bari ngaput, nu ngarenda sisiaran, rupi-rupi polah jalma henteu sami, nurutkeun kasukana.

Kacaturkeun kampung Sukasari, lembur gede tur gegek eusina, geus ngabaku unggal sore, di hareup ngalalimbung, waktu eta ngan Mas Sobari, jeung istrina Patimah, henteu milu campur, najan poe nuju lenglang, hawa sore matak nyegerkeun jasmani, ngegarkeun mamanahan.

Tapi pikeun mungguh Mas Sobari, henteu matak jadi kasenangan, teu jadi panglejar hate, malah wuwuh nguluwut, tambah nyuat sumeblak pikir, inget kana dirina, keur jaman kapungkur, waktu keur sagala aya, hejo lemok rea duit buncir leuit, teu aya kakurangan.

Wantu-wantu eta Mas Sobari, asa jalma jagjag tur waringkas, sarta posokol jeung getol, nyiar kipayah suhud turug-turug rajin jeung apik, bisa ngeureut-miceunna, rejekina cukup, boga kebon boga sawah, beubeunangan asal tina kuli-kuli, ngaborong pagawean. [ 14 ]Mas Sobari tujuh taun leuwih, nganggur eureun tina usahana, lantaran gering nongtoyong, meunang panyakit lumpuh, pirang-pirang beak pangaji, pake ongkos tatamba, duit ratus-ratus, tapi taya ubar mental, kilang kitu Mas Sobari teu merduli, teu nyaah ka bandana.

Tina banget hayang cageur deui, henteu eureun tina tatambana, beak sawah beak kebon, pake ongkos dudukun, jeung ka doktor geus rea duit, nepi ka beak pisan, ngan kantun kaduhung, banda beak awak ruksak, duit ledis panyakit teu daek leungit, hirup kantun balangsak.

Anu tinggal ngan bandana istri, kilang kitu henteu burung beak, lantaran hantem dihenggoy, dicicilan ditungtut, tut saeutik tungtungna ledis, digade jeung dijual, pake bekel nganggur, ari gawe ngan ngalungsar, rajeun lugay ngan ukur kuat ka cai, kundang iteuk papaksan.

Awak pias sepa kawas mayit, pigeulangan sagede elekan, suku duanana pacer, janggot carang dicukur, rogok panjang jeug aki-aki, Mas Sobari umurna, opat puluh taun, dedeg pangadeg meujeuhna, boga rupa kasipatan amis budi, watek sabar tawekal.

Nyi Patimah pon nya kitu deui, bubuhana turunan santana, kaitung rupana hade, tegep lungguh jeung timpuh, teu kumaki ku dumeh geulis, enggoning kumawula, ka caroge suhud, saregep teu bengkok sembah, tuhu mantep manutanna ka salaki, malah wuwuh nyaahna.

Bela pati lahir reujeung batin, teu ngingetkeun kamiskinanana, teu malire hese cape, suku dijieun hulu, ngabelaanana salaki, ngurus pikeun daharna, teu era buburuh, pikiranana Patimah, maksud seja mulangkeun ku pangabakti, pangasih carogena.

Beurang-peuting tara daek cicing, arang nganggur tina pagawean, baku nu dijieun poko, jadi tatali hirup, tina dagang modal saeutik, balantik kadaharan, sakadarna cukup, pikeun sakalieun dahar, tiluaneun jeung hiji anak lalaki, genep taun umutna.

Kakasihna nelah Ujang Salim, Nyi Patimah kalangkung asihna, estu diwowoy dienod, jadi panglipur kalbu, wantu-wantu [ 15 ]putra sahiji, remen diceungceurikan diambung dirangkul, dihujanan ku cisoca, tina henteu bisa ngabuktikeun asih, mukprukan ka putrana.

Mas Sobari pon nya kitu deui, tina sanget welas ka putrana, ka Patimah kitu keneh, nyaah dumeh ku suhud, ngawulaanana salaki, estu taya bedana, ti jaman keur cukup, nepi ka miskinna pisan, tetep mantep ngawulana bela pati, teu daek bengkok sembah.

Hiji mangsa Sobari ngalahir, ka raina semu nu nalangsa, kumaha engkang teh Imoh, reh ku engkang diitung, tujuh taun nandangan gering, beak akal tarekah, enggoning panuhun, tina hayang deui jagjag, nu dipalar engkang bisa kuli deui, usaha jeug baheula.

Tapi kabeh maksud engkang jalir, rasa engkang pondok pangharepan, kana cageurna deui teh, ngan kari tunggu umur, tina kitu ngan bati watir, ka maneh jeung ka budak, pikir engkang tangtu, salawasna ngan balangsak, leuheung basa mun engkang nepi ka pati, tereh nemahan ajal.

Meureun Imoh moal pusing teuing, da bubuhan Imoh masih ngora, meureun boga deui jodo, aya anu mihukum, tatapina mun engkang masih, panjang nemahan lara, teu paeh teu hirup, tangtu engkang moal iklas, neuleu Imoh salawasna nandang nyeri, balangsak sapanjangna.

Sabab eta ku engkang dipikir, kajeun engkang sangsara sorangan, ti batan mamawa Imoh, pikir engkang mun rempug, sarta Imoh mun boga ati, geus rasa henteu kuat, nandangan kabingung, enggon ngawulaan engkang, sugan pareng Imoh boga jodo deui, aya anu miheman

Kumaha mun engkang erek indit, itung-itung menta diparaban, bari jeung tatamba bae, di rumah sakit matuh, niat engkang rek asup miskin, tatamba moal mayar, Imoh jongjon tangtu, ngurusan diri sorangan, meureun moal pati ripuh-ripuh teuing, ngan engkang titip budak.

Nyi Patimah ngupingkeun jeung nangis, unghak-inghak nyusutan cimata, bawaning ku ngenes hate, ngawalon jeung sumegruk, tina welas ka Mas Sobari, ku Patimah kapaham, yen [ 16 ]kabeh pitutur, nu bijil ti salakina, nyata sidik estu terus reujeung ati, tina bawaning nyaah.

Nyi Patimah ngawalonan manis, pegat-pegat bari unghak-inghak, naha engkang panggalih teh, bet aya manah kitu, teu percaya ka diri abdi, era temen ku kanca, sumawon ku sepuh, hakna ku Anu Kawasa, lamun abdi belang bayah gindi pikir, ngan ngarah di senangna.

Masakatna susah teu rek nolih, abdi embung jadi jalma nista, isin temen ku) Yang Manon, istri sarupi kitu, estu jalma sisip pamilih, sanes lampah utama, turunan teu patut, kajabi salira engkang, memang anu teu suka ka diri abdi, eta sanes perkara.

Maksad abdi mun bahan katampi, suka rilah dunya jeung aherat, sumeja bela pati teh, ulah marganing hirup, najan dugi nemahan pati, abdi seja bumela, sawangsulna kitu, menggahing salira engkang, ulah kirang hampura ka diri abdi, rumaos kakirangan.

Teu nyekapan pangabakti abdi, kumawula kumaha mistina, utamana di awewe, ulah kirang nya ma’lum, adat mahluk keuna ku sisip, rajeun aral subaha, mugi cukup lumur, kitu walon Nyi Patimah, Mas Sobari ngadangukeun bati watir, nyurucud cipanonna.

SINOM

Kocap dina hiji mangsa, Patimah keur bungah ati, sabada sembeang asar, kenging nganggo bareresih, disamping karet kodi, harga lima belas baru, bajuna encit bodas, nu saelo dua picis, pangalusna ngabaku paranti midang.

Najan papakean murah, dasar Nyi Patimah geulis, turta bisa mapantesna, teu burung nambahan manis, dedegan jangkung kuning, satingkah-tingkahna lucu, nimbang jeung budi basa, hade tata alus harti, gandes pantes perlente ahli carita.

Buuk hideung galing muntang, nanding kana halis nyempring, tarangna teja mentrangan, masang ka pangambung bangir, biwirna semu galing, beureum kawas nu digincu, dipaes waos [ 17 ]bodas, kembangna di Sukasari, pasosore gek diuk dina amparan.

Di tepas niis nyorangan, ngadaweung semu nu mikir, panonna meleng ka girang, ningal surya waktu burit, cahyana obyor kuning, matak nyuat kana kalbu, inget keur jaman aya, geulangna emas disangling, siga surya nu rek surup geus reupreupan.

Ningal deui kana mega, jeung kapal tengah jaladri, ras deui hate kagagas, waktu pasiar pelesir, keur jaman di Batawi, ulin di Tanjung Pariuk, nunggangan setum bergas, raka nu ngaping ngajaring, dipapayang dianteur ku kasukaan.

Ras inget waktu ayeuna, ngangres ngenes ati sedih, kagagas tambah baluas, urut beunghar sugih mukti, kiwari kantun miskin, dahar sore henteu isuk, Patimah tatanggahan, nenjo imah enggeus iris, tambah ewuh hatena ngan kantun susah.

Sakur lampah nu katukang, dicipta dieling-eling, tambah anteng ngadaweungna, teu inget ka nu ngabanding, anu keur gulang-guling, di kamer keur humaregung, sumawonna ka anak, nu keur ulin tacan balik, inget-inget ku salaki digeroan.

Patimah gancang ngojengkang, ngajawab ririh jeung manis, kah-kah-kah-kah bari luncat, nyampeurkeun ka Mas Sobari, gek diuk deukeut bilik, bari neuteup ka nu nyaur, bade kersa naon kang, Sobari ngawalon ririh, gentra alon semu nu leuleus teu nangan.

Ka mana ari Si Ujang, wayah kieu acan balik, jeung engkang bet rada lapar, tadi dahar ngan saeutik, sugan aya nu amis, sukur lamun aya sangu, jawab Patimah aya, saeutik sesa nu tadi, kangge enjing pasadiaan Si Ujang.

Mangga bade dituang mah, enjing mah kumaha deui, namung teu aya rencangna, mung uyah jeung sambel bari, ceuk Sobari tong teuing, bangun lungse bari tungkul, laparna mah kaliwat, ngan inget ka nu keur ulin, bisi isuk isuk-isuk henteu nyampak.

Kasurti ku Nyi Patimah, sanajan nyebut tong teuing, lajeng Patimah ka tukang, ka dapur nyandak ceceting, tina bawaning watir, maksa ka kamer dipangku, deungeunna karo uyah, kadua jeung sambel bari, disodorkeun ngajagrag payuneunana.

Mas Sobari maksa dahar, ngan sahuap henteu leuwih, ras [ 18 ]ingeteun ka anakna, wantu sangu ngan saeutik, pokna teu ngeunah geuning, tapi beuteung mah nguruwuk, surtina Nyi Patimah, los indit ka dapur deui, kakaratak manggih hiji sampeu atah.

Tuluy dipesek dikumbah, mirun seuneu gusak-gasik, sampeu saese diseupan, jadi opat bukur leutik, sanggeus beres gek deui, cangogo hareupeun hawu, cisoca teu karasa, nyurucud merebes bijil, henteu kuat nandangan kawaluratan.

Galih raos digerihan, Patimah teu eureun ceurik, ditahan henteu kawawa, unghak-inghak langkung sedih, Sobari oge nyuping, nu keur sumegruk di dapur, ku Sobari kapaham, milu ngenes jero ati, anjeunna ge munggah ngucur cipanonna.

Sanggeusna lemper manahna, Patimah keur cukah-cikih, celuk-celuk sora putra, uba-ibu ti nu tebih, adat budak geus galib, gura-gero ti nu jauh, Nyi Patimah ka luar, nyampeurkeun ka murangkalih, seug ditungtun asup bari diusapan.

Ujang teh mentas ti mana, ulin kajongjonan teuing, jeung naon eta na pesak, ngabereyot mani buncir, jawabna Ujang Salim, bari ngodok kana saku, tuh bu! ku seueur pisan, dukuh kenging mulung abdi, ti kebonna juragan Lurah pareman.

Manawi palayeun mama, abdi mah seubeuh ti tadi, bari ngudulkeun dukuhna, tina saku nu merekis, kira sapuluh siki, pacampur jeung pentil jambu, dukuhna peot ngora, Sobari di jero nguping, Ujang Salim keur baceco jeung ibuna.

Sobari seug ngagentraan, gura-gero Alim! Alim, Jang Salim berebet lumpat, nyampeurkeun ka jero bumi, mamawa dukuh pentil, diwadahan ceting butut, dipintonkeun ka rama, jeung bari ngomong ngecewis, tepak-toel ka ramana ngalendotan,

Dasar budak keur sedengna, diajar ngomong ngecewis, ka ramana pok nyarita, lah ma aya resep abdi, ulin jeung Encep Midi, putrana juragan Kuwu, lah ma abdi ku hayang, kukudaan anu alit, siga anu Encep Midi sae pisan.

Kalecina seueur pisan, barodas sae laleucir, kenging ngagaleuh ramana, enjing mah rek ulin deui, Cep Midi prantos jangji, ka abdi di dinten isuk, nitah ngumbah kudana, buruhna kaleci hiji, sareng abdi sok dibere kadaharan.

Kapungkur mah mere buah, pelokna mani sahiji, ku abdi teh [ 19 ]dilamotan, pili genti jeung Si Kasim, lah ma ku hoyong deui, buah nu cara​​ kapungkur, di warung oge loba, mama mah teu kersa meuli, ngomongna teh Salim jeung ajret-ajretan.

Bari jeung kakalecian, nya eta ku dukuh pentil, Sobari ningal putrana, suka pabaur jeung sedih, ngenes lebeting galih, suka dumeh putra lucu, dukana reh teu aya, pikeun ngamong-mong miasih, bati ngenes galihna ngan wungkul welas.

Ras emut ka salirana, reh penyakit enggeus lami, galihna taya harepan, kana jagjag cageur deui, jeug baheula bihari, galihna bati rumanjug, ras ka Salim putrana, kumaha engke di ahir, lamun aing enggeus nepi kana ajal.

Saha anu mikawelas, nu miasih mere harti, hirupna tangtu balangsak, kitu manahna Sobari, kawuwuh tambah deui, Nyi Patimah eukeur ngandung, reuneuh geus tilu bulan, galihna beuki nyelekit, lempes soteh emut kana kapastian.

Kakara sadrah sumerah, ras emut ka Maha Suci, seug maca taud sisinglar, masa Allah aing musrik, istigpar tilu kali, sasambat ka Maha Agung, abdi neda hampura, naha abdi henteu eling, kawas abdi teu percanten ka Pangeran.

Kapan Gusti nu kawasa, nu ngadamel bumi langit, alam sareng saeusina, tangtos Gusti nu miasih, aya di tangan Gusti, paeh-hirupna nu ngatur, untung sareng rugina, bagja-cilakana deui, diri abdi anging darma wawayangan.

Henteu daya teu upaya, usik malik kersa Gusti, sumangga abdi sumerah, anak abdi mung sahiji, sanajan nyawa abdi, iklas sumangga kahatur, Sobari deui maca, subhanallah tilu kali, bari ebog jeung maca alhamdulillah.

ASMARANDANA.

Beurang rek kasaput peuting, panonpoe geus reupreupan, tonggeret ngear ngadenger, sorana angin-anginan, lalay pasuliberan, ciciren srangenge surup, gaang ngeang ’na liangna.

Piit disarada ricit tingkahlayang kana sayang, bangkong kangkengkong di kolong, gagak ngelak tinggaroak, kawas mere alamat, ka Patimah nu keur nguyung, nguyung ku anu teu damang. [ 20 ]Nyi Patimah cukah-cikih, barang damel kaburitan, kohkol bedug enggeus nongtrong, alamat waktuna salat, magrib sedeng ninggangna, Nyi Patimah gura-giru, gancang nyait seuseupanan.

Sanggeus rapih gusak-gasik, ka cai sumeja abdas, henteu nolih ka nu sejen, magrib sieun kaahiran, di dapur patulayah, lalayah kancah jeung suluh, ngalayah sakuliahna.

Barang rek bral pisan indit, ras deui emut ka raka, bisi geus palayeun ngarot, seug nyician cai heula, sampeu geus dipiringan, gancang disodorkeun tuluy, nyampak raka kulem tibra.

Ngaredeng jeung Ujang Salim, ebog teu make amparan, di tengah bumi ngahojod, teu dibantal-bantal acan, Salim ge sare tibra, capeeun tas ujrag-ajrug, tas ulin kakalecian.

Nyi Patimah gancang indit, ka cai sumeja abdas, manehna ngarasa kaget, teu ara ti sasarina, leuleus ngenes baluas, kawas nu di pupul bayu, leumpangna rarampeolan.

Keur leuleus katambah sedih, nguping tonggeret disada, sorana tarik ngadenger, teu ara ti sasarina, reuwas campur jeung waas, rasana nangtung di gunung, di tengah leuweung nyorangan.

Jerit deui sora cihcir, Patimah datang ka ngejat, malaweung jeung rurat-reret, ningal ka madahab papat, bari maca istigpar, hulang-huleng tungtang-tangtung, ka cai teu kaur datang.

Rarasaanana ngimpi, ningal ka wetan bayeungyang, ka kulon raos melewong, ningal ka kaler kalelar, jarauh panineungan, ningal ka kidul baringung, raosna jagat rek rungkad.

Ka cai teu burung nepi, kalah ku tina dipaksa, gura-giru abdas bae, tuluy mulih gagancangan, lajeng sidakep ngiblat, netepan magrib geus tutug, tatag henteu aya waswas.

Sanggeus aweh salam tartib, Patimah tras pupujian, maca salawat jeung tasbeh, rupa-rupa dodoaan, wiridan ti guruna, dasar Nyi Patimah suhud, tuhuna kana agama.

Medem surem tengah bumi, kawantu cempor damarna, seuneuna nyenet meletet, ngan saukur hawar-hawar, lajeng Nyai Patimah, ka Ujang Salim ngaburu, putrana diguyah-guyah.

Ujang tanghi, Ujang tanghi, geura hudang yeuh sareupna, [ 21 ]Salim hudang ngagoloyoh, kana lahunan ibuna, ku ibu diusapan, bari dirawu dipangku, dikalemoh diciuman.

Saur ibuna ka Salim, cik Ujang gugahkeun mama, bisi geus palayeun ngarot, seupan sampeu bisi gaal, bilih bade dituang, Ujang Salim celuk-celuk, mama gugah, mama gugah.

Ramana jongjon ngajempling, Patimah rada ngorejat, nyampeurkeun bari nyolondo, kana gedengeun rakana, dipencrong pameunteuna, Patimah kaget ngaranjug, ningal cahyana gumawang.

Dirampa tanganna tiis, Patimah galihna nyeblak, pias ngadegdeg jeung kaget, anjeunna kagungan sangka, kana rakana wapat, tapi masih samar kalbu, seug nyauran engkang-engkang.

Bari nyepeng tangan kiri, ditarik diguyah-guyah, salirana oyag kabeh, dengek Patimah ngagoak, satengah kapaehan, ka rakana bari nyuuh, sasambatna engkang-engkang.

Ras eling ngarontok Salim, nangisna munggah leslesan, Salim ngagoak ngagero, dirangkulan ku ibuna, patutungku duaan, burubul tatangga lembur, ngaburu anu midangdam.

Pinuh awewe-lalaki, kolot budak pada datang, nu rea wungkul barengong, ningal polahna Patimah, tina ku matak welas, leuleus lungse ngarumpuyuk, taya tangan pangawasa.

Mayit ngagoler ’na lampit, teu acan dipirosea, nyirah ka wetan ngalonjor, dirangkulan ku Patimah, nyuuh kana sampean, bari nangis segrak-segruk, nyambatna kanyenyerian.

Duh engkang teu nyana teuing, engkang rek ninggalkeun hilang, ya Allah Gusti Yang Manon, boa hilang kalaparan, bawaning palay tuang, boro abdi gupah-gupuh, nyeupan sampeu gagancangan.

Tuh engkang geura tingali, sampeuna masih ngajagrag, caina acan diarot, nyana engkang bade wapat, jeun abdi bebeakan, ditaranjang ngabulucun, kanggo ngabelaan engkang.

Naha teu wakca ka abdi, lamun yaktos kalaparan, duh Gusti kumaha bae, diri abdi henteu kiat, nandang kanalangsaan, Salim sareng nu dikandung, ka saha nyambatna mama.

Nyi Lurah pareman gasik, nyampeurkeun ka Nyi Patimah, ngupahan ku budi sareh, bari dicepeng tanganna, dibawa ka jro [ 22 ]kamar, jeung Ujang Salim dipangku, dibubungah diupahan.

Mas Lurahna kitu deui, sanggeus Patimah nyingkah, gancangna marentah bae, ka sakur jalma di dinya, mindahkeun layon tea, dipangku ka luhur bangku, mayit acan diruruban.

Nyimas Lurah menta samping, kanggo rurub ka Patimah, Patimah muka torombol, bari nyusutan cisoca, ditingal ku Nyi Lurah, Nyi Patimah semu bingung, wireh keur rurub teu aya.

Wantu boga samping hiji, pinuh ku tapak ngerodan, kadua anu dipake, Nyi Lurah welaseun pisan, seug nyelang mulih heula, nyandak sinjang pikeun rurub, mayit nembe diruruban.

Mas Lurahna kitu deui, cakah-cikih paparentah, memang Mas Lurah kasohor, kokolot di kampung eta, minangka pangcukupna, kawuwuh tukang tutulung, istri-pameget teu beda.

Teu ngitung rugi ku duit, tara lebar ku tanaga, duit sapeh gawe daek, asal dipake ibadah, nalangan ka nu susah, tutulung ka nu keur butuh, ngaraksa jalma cilaka.

Sabalikna rikrik gemi, nyaah mun ngamonyah-monyah, najan pangaji sapeser, mun pake rucah balabah, dipake henteu guna, saperti ngagunggung napsu, nu dicegah ku agama.

Somahna nya kitu deui, nurut kumaha huluna, cara cai ngocor bae, lamun ti girangna herang, ka hilirna teu beda, tah eta ku sabab kitu, sakur jalma anu datang.

Ka Patimah nu prihatin, jaba nulung ku tanaga, henteu aya anu lengoh, pada suka milu hajat, nu ku duit ku beas, lalab-rumbah katut daun, rea deui sajabana.

Nyi Lurah mah komo deui, jaba duit jeung beasna, katut jeung boehna oge, kawantu sami tarerang, yen Sobari walurat, Patimah teu pegat sukur, muji nuhun ka Pangeran.

Wireh dina waktu tadi, nu pake kanyenyerian, lain saperkara bae, pedah Mas Sobari ajal, ras ngingetkeun kasusah, nu dipake huleng-jentul, tina sagala teu aya.

Teu boga duit saduit, sumawon keur boeh tea, Patimah geus bingung bae, samar rasa samar polah, teu puguh kalakuan, gawena ngahurun balung, nu aya bati nalangsa.

[ 23 ]

KINANTI.

Tina ku lantaran kitu, Patimah teu eureun muji, hatena teu pegat-pegat, maca alhamdulillahi, lahirna ka Nyimas Lurah, batinna ka Maha Suci.

Wengina henteu dicatur, kocap geus isukna deui, mayit geus dipulasara, saadat tali paranti, dipendem di Wanasirna, pakuburan Mas Sobari.

Parelena teu dicatur, tiluna, tujuhna deui, nepi ka matang puluhna, berekahna Mas Sobari, Patimah sabar tawekal, teu kakurangan rejeki.

Malah Nyi Patimah untung, batan rugi meunang bati, sesa hajat paleuwihan, boga beas boga duit, beasna aya gantangna, cukup keur teda sasasih.

Duitna deui nya kitu, aya leuwih tilu ringgit, bungahna taya hinggana, boga modal keur balantik, sasesana tina modal, meuli baju meuli samping.

Wantu geus sagala butut, sampingna kadua rawing, kitu deui keur putrana, pangmeulikeun Ujang Salim, baju katut calananana, Salim bungaheun teh teuing.

Kari mikiran ngajuru, keur sewaka ka paraji, reh lambutna geus mendeyang, geus meh genep bulan leuwih, pikiranana Patimah, sugan untung na balantik.

Rek neundeunan bae nungtut, nyengcelengan tut saeutik, bobokeun tempona babar, pikirna keur bekel cicing, sabab anyar ngajuru mah, moal bisa bibilintik.

Patimah katambah suhud, baktina ka Maha Suci, tina raos laluasa, henteu katemrong kageuing, kawulaaneun teu aya, amung ngajaring Jang Salim.

Unggal Jumaah teu kantun, nyekar ka makam Sobari, peutingna rea hadiah, ka sepuh ka kulawargi, ka ahli kubur sadaya, rata teu dihiji-hiji.

Unggal Senen, Kemis saum, mun ti peuting getol nyaring, tirakat teu kendat-kendat, nirakatan Ujang Salim, neneda ka Nu Kawasa, sangkan meunang rahmat leuwih.

Jang Salim teu meunang jauh, beurang-peuting diaaping, beda [ 24 ]keur aya ramana, henteu pati diperduli, lantaran henteu kabedag, ngurus budak jeung nu gering.

Patimah remen ngawuruk, pangarti ka murangkalih, anu sakira meujeuhna, kaharti ku budak leutik, nu satimbang jeung umurna, henteu kabeuratan teuing.

Poko anu jadi turus, Patimah ngajarna Salim, tatana ka manusaan, diajar welas jeung asih, ka jalma ka sasatoan, ka nu nyawaan kumelip.

Ngajarna kukuh jeung timpuh, petana ngajarkeun asih, nyegah nyoo sasatoan, kayaning manuk jeung jangkrik, jeung sajabana ti eta, sakur bangsa sato leutik.

Nitenan ka sato ingu, kaya ka hayam ka ucing, dipiara digetenan, nyegah meupeuh nganyenyeri, sumawon adu-aduan, dicegah sama sakali.

Ngajarna Patimah suhud, demi kadua perkawis, ngajar elmu kasehatan, diajar apik beresih, jeung dicegah tambarakan, barang dahar nu teu pasti.

Dahar sarena ngabaku, dina waktu nu dipasti, henteu meunang sambarangan, ngaleuwihan nu maranti, pukul lima titah hudang, ka cai trus sina mandi.

Pangajaran nu katilu, tina hal gagah jeung wani, ari petana ngajarna, dicegah sama sakali, digigila nyingsieunan, kaya ku ririwa iblis.

Atawa kunti jeung hantu, reujeung sajabana deui, dititah wani ludeungan, ka nu poek sepi suni, remen dipecak dicoba, nulungan ka nu balai.

Kaopat nu dipiwuruk, diajar apik jeung gemi, kana sipat babandaan, kaya ka duit jeung rijki, demi pangajaranana, dikerasan reujeung tigin.

Kaya bandana nu baku, kacooanana ulin, dipaksa sina ngaraksa, ku manehanna pribadi, teu beunang dilaladenan, neundeun nyokotna maranti.

Dina tempat anu baku, balatak jabrah dipahing, lamun aya anu ruksak, dicegah cul teu merduli, maksa sina diampihan, diraksa diapik-apik.

Kana duit pon nya kitu, saupama boga rijki, maksa sina [ 25 ]nyengcelengan, jajanna tetep dipasti, pangajaran nu kalima bakti ka Nu Maha Suci.

Ngajarna geus jadi baku, dina waktu subuh magrib, kabeh waktu anu lima, lohor asar isa deui, mun Patimah rek netepan, dipaksa disina ngiring.

Teu meunang sawaktu kantun, tapi ngan tuturut munding, nurutkeun ruku sujudna, bacaan mah teu dipambrih, wungkul maca Allah-Allah, ti awal nepi ka ahir.

Sakabeh piwuruk ibu, dipetakeun ku Jang Salim, teu aya anu kaliwat, tina ngajarna binangkit, terang lilinggeranana, watekna Salim ditungtik.

Supaya gampang katurut, lami-lami mah kapanggih, kalah ku sabar tawekal, ngeureuyeuh jamakna pusing, tina nyaahna ka putra, malar rahayu di ahir.

Patimah katambah kukuh, amal ibadahna leuwih, terus iman jeung islamna, iman tetep jero ati, percayana ka Pangeran, nu sipat welas jeung asih.

Islamna prak jeung milaku, dipetakeun ku jasmani, ngabuktikeun iman tea, nurut ka sareat Nabi, henteu aya nu kaliwat, dijalankeun ati-ati.

Gawe Patimah tutulung, ka nu beunghar ka nu miskin, ka menak-kuring teu beda, nulungna lain ku duit, wungkul nulung ku tanaga, kawantu Patimah miskin.

Lamun aya nu ngajuru, atawa aya nu gering, ngalongokan jeung ngemitan, ka menak atawa kuring, sumawon ka nu miskin mah, nulungna teh leuwih-leuwih.

Lamun diteang babantu, gusak-gasik gancang indit, tutulungna reujeung iklas, teu seja ngarah dipuji, sumawon ngarah berekat, beberengkes ngarah hasil.

Mun geus beres gura-giru, gusak-gasik gancang balik, teu nunggu disuguh heula, dahar atawana ngopi, kawantu tuman tirakat, biasa dahar sakali.

Tara ngalantung teu puguh, mun lain amal nu hasil, sumawonna ririungan, ngobrol anu matak rugi, nyarita ngupat jelema, moyok atawana muji.

Pangajangan anu baku, ka Nyi Lurah Sukasari, reujeung eta [ 26 ]mah saihwan, sami getol tukang bakti, tara ngobrol teu karuhan, kajaba micatur elmi.

SINOM.

Kacaturkeun hiji mangsa, kaleresan dinten Kemis, sasih April kaping dua, tabuh tujuh enjing-enjing, Patimah cengar-cengir, rek babar karaos lambut, Jang Salim lulumpatan, ngaburu imah paraji, ngabejaan reh ibuna erek babar.

Gancangna paraji datang, diiringkeun ku Jang Salim, geus dengek sora nu adan, ngadanan orok nu lahir, paraji cakah-cikih, nampanan orok ku nyiru, Nyi Patimah geus babar, putrana istri tur geulis, duanana salamet taya cacadna.

Diurus sabiasana, gawe paraji geus rapih, Patimah ebogna nyanda, ngadelis nganggo pipilis, nyender kana guguling, orok beres geus dibarut, nyanding gedeng ibuna, cempor ajug geus ngabanding, jeung aseupan ku apu beunang nyoletan.

Sebrot paraji bubura, saputerna jero bumi, seleber anton-antonna, bauna munggah nyeleding, kokonengan ngabanding, nambru diwadahan kanjut, ramat heurap dipasang, rabeng di-pake lalangit, keur ngajaring ihtiarna indung beurang.

Salim teu jauh ti dinya, gedengeun ibuna nyanding, ningal polah indung beurang, ngadaweung semu nu mikir, Patimah bungah galih, nganuhunkeun ka Yang Agung, reh paneda laksana, ngakandung salapan sasih, nu diteda salametna waktu babar.

Teu eureun-eureun ngadunga, bari melong murangkalih, gedengeunana ngajepat, kenging ngabedong ngajempling, ras ka rakana eling, galihna ngan bati liwung, welas ningali putra, nudikantun budak yatim, culang-cileung ku rama ditinggal hilang.

Dipeleng cahya gumawang, nilikna teu malik-malik, kagagas tambah baluas, melong putra nu ngajempling, orok datang ka nyaring, cipanonna nyalalangkrung, mereleng ka ibuna, bangun orok nu geus eling, gular-giler siga ngilikan ramana.

Ngagiler ka beulah kenca, ningali Salim ngabanding, ku Ujang Salim katingal, orok semu imut leutik, jeung ngabelenyeh seuri, ditanya bari dirangkul, Enok neangan saha, kapan urang mah [ 27 ]nunggelis, da mama mah teu aya parantos hilang.

Urang mah teu boga bapa, orok bangun anu ngarti, ngabalieus ka ibuna, ibuna teu tahan nangis, ngadangu omong Salim, cipanonna munggah cipruk, tina sanget welasna, Patimah ngagiler malik, nu dipalar malar nangis teu katara.

Cisocana disusutan, api-api seug ngalahir, ka Salim miwarang nyandak, pahinum na pinggan putih, Jang Salim cukah-cikih, ngalaladenan ka ibu, bari ngomong ngocomang, tatanya peta paraji, ceuk Jang Salim bu eta naon gunana.

Heurap cempor jeung aseupan, heurap dipake lalangit, damarna ngaceng ngagenclang, aseupan diculang-caling, sareng tadi paraji, bubura disembur-sembur, imah dikurilingan, ibuna ngawalon manis, eta memang Ujang kitu biasana.

Ilahar ti babaheula, ti karuhun nini-aki, lamun aya anu babar kudu aya bae nyanding, ibu oge teu ngarti, asalna eta pang kitu, kawas ti jaman buda, turun nepi ka kiwari, make soteh ibu mah pedah geus lumbrah.

Pok deui Salim ngajawab, atuh lamun henteu ngarti, naon pigunaeunana, tuturut ka nu mustail, kalah kaheurin-heurin, ibuna ngawalon imut, bener carita Ujang, tapina kudu dipikir, sakumaha pinyerieun hate jalma.

Lamun ku urang dicawad, kapercayan nu geus galib, turta henteu matak susah, di urang teu jadi rugi, najan rasa teu wajib, make nu sarupa kitu, tur kapercayaan jalma, sanajan tuturut munding, nu bodo mah hese pisan dicegahna.

Salim cicing teu ngajawab, ngabalieus bangun pusing, sajero manah Patimah, ka putrana rada muji, wireh geus boga ati, mikiran sarupa kitu, tinangtu di ahirna, pangartina rada leuwih, Kacirina daek telik tatanyana.

Patimah sabot ngamanah, torojol Nyi Lurah sumping, henteu pupuntenan heula, teras lebet ka jro bumi, teu asa-asa deui, rasa conggah jadi dulur, kerewek nyandak budak, diambing dibulak-balik, dititimang nyaah siga ka putrana.

Dipapangga didungaan, kuwas-kuwes tilu balik, salamet jeung tulak bala, lajeng diebogkeun deui, seug muka nu dikempit, eusina encit jeung sarung, ieu ayi lumayan, panyeumpal ka [ 28 ]murangkalih, kaemutan ti aceuk jeung ti engkangna.

Sareng aceuk itu mawa, kadaharan rupi-rupi, wireh gaduh panadaran, manawi sapuk jeung galih, engke wengi rek kemit, di dieu bade karumpul, urang mamaos layang, embi Erum embok Umi, Nyai Iyoh jeung Uyi nu mamaosna.

Wawacanana Ambia, cariosan para Nabi, guna ngarah ngalap sunat, kasukaan anu hasil, tembangna ngahariring, ulah dibelak-dibeluk, dialap mangpaatna ngarah sapaatna Nabi, Nyi Patimah hatur nuhun kabingahan.

Caturkeun bae wengina, kaleresan caang sasih, caangna bulan gumebyar, nyaangan saputer bumi, matak nyukakeun galih, galih anu eukeur ngangluh, caangna tutumplukan, tiis angin ngaliliwir, ingarulang nebak kana kebon kembang.

Sumeleber wawangina, wawangen kaangin-angin, ambetna matak teu nangan, seungit munggah ngadalingding, tiis hawa ti peuting, nu ngalantung ngalalimbung, hawar-hawar katingal, istri nu badami tadi, ngalalenghoy ngajugjug bumi Patimah.

Angkatna ayang-ayangan, alon disambil ku ulin, jalan-jalan bari mulan, bulan anu nembe bijil, kenging ngaranggo bersih, tingpecenghul ti nu linduk, tarindakna utama, wantu istri tedak santri, geus sarumping ka bumina Nyi Patimah.

Di bumi nyampak balatak, wantu nu putraan leutik, acan ampar-ampar samak, samemeh tamu caralik, paraji gusak-gasik, ngamparkeun samak pakpikpuk, dimanggakeun lalenggah, istri geus calik ngabaris, na amparan ngarariung pamasangan.

Rupa-tupa katuangan, opak kurupuk kiripik, gegeplak leupeut jeung kupat, cau cai geus sayagi, Nyi Lurah pok ngalahir, mangga atuh embi Erum, maos geura ngawitan, ieu enggeus wengi teuing, dengek maos Erum Dangdanggula Kentar.

Sorana angin-anginan, halimpu hariring suling, senggolna matak kagiwang, hariringna resep nguping, macana tatag tigin, henteu gurudag-gurudug, pili genti jeung Ni’ah, anu ngupingkeun caricing, wantu kabeh praistri ahli agama.

Kawuwuh nu dibacana, lalakonna para Nabi, selang-selang tina nembang, anu geus dibaca tadi, dicaritakeun deui, malar pitutur kamaphum, Nyi Lurah nu nataan, nyariosna langkung [ 29 ]titi, tatag beres jeung capetang ngagorolang.

ASMARANDANA.

Beuki peuting, beuki peuting, nu nembang beuki sarumbang, sorana serak galember, ku balas eak-eakan, panon peupeuleuyeuan, diteluh ku jurig tunduh, gelung kusut wedak murag.

Hawa anyep beuki tiis, ciciren pajar rek datang, dengek hayam kongkorongok, ngabageakeun ka beurang, nu datang poe anyar, nuluykeun lalakon hirup, gumelar nungguan kadar.

Jempling enggeus ngagaruling, nu tembang ngajarugagang, kerekna pating salenger, ngedengna patunjang-tunjang, sedeng meujeuhna tibra, geus geledug bedug subuh, kuniang maksa harudang.

Malun istri-istri santri, teu ara elat saralat, teu malire ngeunah sareh, maksa hudang tingkuniang, malenerkeun sanggulna, tingkedewet ngurus sarung, dibeberes dipageuhan.

Geus pamit lajeng marulih, kawas kalong kabeurangan, angkatna pating lalenghoy, lungse semu henteu nangan, wantu sarena kurang, puyeng lanjung rieut hulu, teu puguh nya rarasaan.

Paraji masih ngajempling, teu beunang diguyah-guyah, angguran beuki morongkol, narik memener simbutna, sirahna dirimbunan, ngaringkuk jeung ngohkoy batuk, wantu mengi katiisan.

Sora manuk beuki ricit, tanda beurang beuki terang, manuk haur geus baceco, kawas anu babacaan, ngadoa maca kuran, nganuhunkeun ka Yang Agung, umurna nepi ka beurang.

Ujang Salim cukah-cikih, ngabereskeun wawadahan, urut raramean sore, patulayah tengah imah, cangkang leupeut jeung kupat, runtah munggah nalalambru, cangkang salak pabalatak.

Indung beurang acan nyaring, sarena teuing ku tibra, kerekna masih ngagerek, malik nangkarak ngajepat, hudang soteh kagebah, lantaran Jang Salim labuh, katinggang puhu pingpingna.

Korejat kojengkang nyaring, nangtung kawas nu rek lumpat, [ 30 ]tina bawaning ku kaget, pokna teh ka mana lumpat, ieuh ka mana lumpat, ngejat nyingsat tembong tuur, ku Ujang Salim ditewak.

Aeh rek ka mana nini, bari dibetot leungeunna, ras eling tuluy gog nagog, ngadaweung jeung pupujian, masa Allah ya Allah, pokna bet nini ngalindur, ngimpi ku bagong diudag.

Nyi Patimah imut leutik, ngagelenyu bari nyanda, malik ngabalieus ngaler, lantaran ku kaisinan, ningal anu cawokah, indung beurang nagog rusuh, samping nyingkab teu karasa.

Suka kaganti ku sedih, urut nembang raramean, kaopat peutingna jempe, jempling lir gaang katincak, kawantu geus lekasan, katutup orok geus puput, candukul kantun duaan.

Katilu jeung orok leutik, nyanding gedengeun ibuna, ngajempling kenging ngabedong, ku ibuna diistrenan, dingaranan Salamah, rupana seger jeung lintuh, tegep ngala ka ibuna.

Bageur anteng tara rungsing, Jang Salim leuwih asihna, gawena ngabanding bae, orok arang dijauhan, mun ibuna teu aya, keur ngurus damel di dapur, Salim merekoh nungguan.

Patimah leuwih taliti, pernata ngurusna budak, leukeun jeung geten tulaten, nyusuna dianggeranan, puguh aya waktuna, anjeunna deui nya kitu, daharna make aturan.

Kadaharan nu utami, sakadar anu masakat, malar cisusuna hade, adat biasa dicegah, tirakat kurang dahar, kaya teu sare jeung saum, nyangkirangan ka putrana.

Beurang deui peuting deui, beak minggu datang bulan, tambah taun tambah gede, Jang Salim sedeng ninggangna, kana asup sakola, umurna dalapan taun, kacaturkeun hiji mangsa.

Waktuna keur seneng galih, pasosore bada asar, poena hade halodo, urut panas ngabebentrang, hareudang jeung bayeungyang, kalindih ku linduk iuh, tiisna sedeng nerneran.

Siliwir angin ti hilir, hegar nyegerkeun salira, Patimah calik aneprok, di tepas mayun ka Jatar, ngagedengkeun putrana, umurna meh dua taun, geus bisa nangtung neutneutan.

Rentang-rentang katingali, Nyi Lurah jeung carogena, jol ti kulon ngalalenghoy, ngajugjug bumi Patimah, marulih mentas siram, arangkat ngongkoyong anduk, tingkotoprak [ 31 ]digamparan.

Nyi Patimah gusak-gasik, pakpikpuk ngamparkeun samak, Nyi Lurah sumping enggeus jol, Nyi Patimah mamanggaan gek calik na amparan, duaan papayun-payun linggih bari sasauran.

Ceuk Nyi Lurah puguh ayi, aceuk teh tas kokojayan resep ningal cai ngocor, cipalih herang ngagenclang, duaan jeung engkangna, sambian bari ngalantung, tamba pegel jalan-jalan.

Ngajakna mah ti kamari, engkangna ka dieu nganjang, aceukna teu purun bae, wireh ampir geus sabulan, gering sok nyeri awak, maksad teh aya perelu, ngarempagkeun tuang putra.

Reh nyondong serat ti Nagri, ideran ka unggal desa, sasih ieu kedah caos, pamurideun ka sakola, di dayeuh kakurangan wireh ti dieu mah suwung, ka Nagri acan ngaosan.

Kumaha mun Ujang Salim, wireh parantos meujeuhna, urang sakolakeun bae, sina bareng jeung pun anak, dupi bayaranana, keun engkangna anu nanggung, satalen ieuh teu pira.

Sugan bae aya milik, sahenteuna nu sakola, bubuhan boga pangartos, bisa ngitung reujeung maca, engkena moal sesah lamun manah ayi rempug, rek dirapot ku engkangna.

Mas Lurah nyambung ngalahir, neuteup pameunteu Patimah, galihna bati sumedot, randa cahyana gumembjar, waosna nyacas bodas, pokna bener eta kitu, sakumaha ceuk aceukna.

Patimah ngawalon aris, atuh kalangkung bingahna, bet mobok manggih gorowong, eukeur mah gaduh emutan, mikiran ti tadina, kaleresan langkung nuhun, estu ngiringan sakersa.

Lurah Nyi Lurah marulih, ka Patimah geus pamitan, kacatur wengina bae, Nyi Patimah ngawurukan, ngaweweleh putrana, sangkan Ujang Salim purun, ka dayeuh asup sakola.

Nyaurna ririh jeung manis, Ujang engke bulan Sawal, mireh Ujang enggeus gede, meujeuhna asup sakola, tina ku sabab eta, wayahna Ujang sing purun, mimiti kudu diajar.

Maca ngitung reujeung nulis, reujeung sajaba ti eta, Jang Salim ngawalon daek, ibuna kalangkung bungah, putrana diusapan, sukur Ujang anak ibu, poma sing getol diajar.

Enggoning nyiar pangarti, sing ngawula ka wayahna, keur [ 32 ]Ujang bawaeun kolot, engke lamun geus sakola, sing temen wekel lampah, nurut ka piwuruk guru, ulah mungpang ka papatah.

Ulah cirigih cilimit, cerewed reujeung cempadan, sumawon bangor bantongor, teu saregep nya diajar, Ujang masing rumasa, jadi budak geus pahatu, masakat teu boga bapa.

Ku Ujang masing kaharti, mun Ujang taya kabisa, kaasup jelema bodo, ari anu bodo tea, sok kurang pamilihna, nungtun kana mawa ngedul lampah remen nyorang salah.

Teu cara nu boga harti, sumawon jeung hade lampah tingkah laku budi sareh, hade tata hade basa, sabar reujeung tawekal, akur jeung tatangga lembur, rempug reujeung babaturan.

Nu kitu rea nu asih, jalma pada mikarunya, hirup tangtu senang hate, mun urang manggih kasusah, tangtu pada nulungan, mikawelas pada ngaku, kuring menak tangtu nyanak.

Sakitu ibu weweling, piwejang ibu ka Ujang, poma Ujang ulah meleng, sarta sing bisa nyingkahan, kana lampah nu salah, turut laku nu rahayu, cokot tindak nu utama.

DANGDANGGULA

Ujang Salim melong sarta tigin, ngarungukeun piwuruk ibuna, ka pameunteu ibu mencrong, ngaregepkeun pitutur, diweweleh nepi ka peuting, Patimah miwulangna, hantem ngagelendut, caturkeun bae enggalna, Ujang Salim sakolana geus katampi, ngadugdag ka jro kota.

Isuk-isuk pukul genep indit, wantu rada jauh lalakonna ti kampung Sukasari teh tebihna mun diitung, kira-kira opat pal leuwih, unggal poe didugdag, Salim leuwih suhud, nurut piwuruk ibuna, keur mah memang boga bakat ti leuleutik, resep kana diajar.

Dibekelanana tara leuwih, pikeun jajan ka dayeuh sakola, ku ibuna tilu peser, tempo-tempo mah luput, mun ibuna keur nandang sisip, teu aya keur mekelan, tapi kilang kitu, Jang Salim teu pisan aral, wantu-wantu geus hideng manehna ngarti, yen ibuna walurat.

[ 33 ]Henteu burung ka sakola indit, teu ngingetkeun rea kakurangan, sakolana leuwih getol, nurut piwuruk guru, ku guruna leuwih diasih, taya carekeunana, sakolana maju, ku barudak sasamana, babaturan sakola pada miasih, pirang-pirang sobatna.

Mun sakola tutup pukul hiji, gura-giru balik gagancangan, angger tara luad-leod, anu diburu-buru, ngan adina nu dipiasih, nya eta Nyi Salamah, jadi buah kalbu, dina sajero sakola, taya deui nu wungkul pake kaeling, kajaba kakasihna.

Remen pisan manehna ngalengis, di sakola tara barang dahar, duit anu tilu peser, tina nyaah ka dulur, ku Jang Salim dipake meuli, cocooan Salamah, nu sakira alus, karesepna Nyi Salamah, nu dijieun tina kertas rupi-rupi, nu hargana sen-senan.

Hiji waktu Salim datang, burit Nyi Patimah geus weleh ngantosan, pukul genep kakara jol, ibuna nanya gugup, naha Ujang bet elat teuing, Ujang terus ka mana, ibu weleh nunggu. Jang Salim alon ngajawab, puguh ibu ka alun-alun tras ulin, ningal nu papanahan.

Kaleresan ku juragan Naib, dipiwarang mulungan panahna, kapaksa abdi teh daek, jalaran seueur batur, rencang abdi papada murid, abdi nampi buruhan, rata sareng batur, dibagi sapicis sewang, malah-malah juragan Naib ka abdi, jangji bade ngalanggan.

Saban dinten miwarang ka abdi, nu mulungan panahna anjeunna, ku abdi diwalon daek, tina ku margi kitu, sakalian neda paidin, supados kawidian, ku salira ibu, mulungan ngarah buruhan, lamun abdi kenging sadinten sapicis, jadi gaduh usaha.

Meureun ibu moal ripuh teuing, moal kantos mekelan sakola, artosna bade diparo, lima sen kangge ibu, meser minyak jeung bekel abdi, sareng nu sapalihna, kangge meser baju diteundeunna cengcelengan, keur bobokeun dina sataun sakali, keur anggoeun lebaran.

Lamun teras dietang ku abdi, yasa angger neundeun cengcelengan, dina sadinten lima sen, sasasih mun diitung, jadi campleng limablas picis, upami nyimpen teras, di lebet sataun, jadi dlapanbelas perak, meureun cekap keur meser pakean abdi, ibu sareng Salamah.

[ 34 ]Manggih welas campur sedih, ngadangukeun carios putra bolong ngawalon alon, sukur agus mun purun, tapi sing ujang sing eling, pangajaran sakola, bisi jadi mundur, ceuk Jang Salim jawab moal, Nyi Patimah ngangres dumeh Ujang Salim, boga karep usaha.

Saban poe Salim datang burit, sakumaha omongna teu salah, estu Salim soson-soson, duit beunang buburuh, nu lima sen diapik-apik, disimpen nyengcelengan tapi henteu terus, lantaran kapegat hujan, pada eureun papanahan waktu ngijih, Salim kantun hajakal.

Reh kapegat usahana Salim, beurang-peuting teu weleh mikiran, piusahaeun nu sejen, supaya bisa terus, nyengcelengan neundeunna duit, sajero keur sakola, bisa mantu-mantu kana kasusah ibuna, makayakeun adina nu dipiasih, bisa nyandang-manganan.

Hiji waktu Minggu enjing-enjing, Ujang Salim mobok cengcelengan, duitna erek dipake, anu meunang buburuh, genep bulan micik jeung rajin, ibuna dibejaan, bungahna kalangkung barang duitna dibilang, aya tujuh perak leuwih genep picis, Jang Salim pok nyarita.

Ieu artos ibu ku sim abdi, rek dibantun ayeuna ka pasar, ku abdi bade dipake, nya eta meser baju, keur Salamah sinareng abdi, sareng nu sapalihna, abdi aya maksud, bade dipake keur modal, sugan pareng bade diajar balantik, malar tiasa mapat.

Sanggeus pamit Jang Salim bral indit, teu kacatur, lilana di pasar, gancangna geus datang bae, datangna angkaribung, rebo ngelek reujeung ngajingjing, ibuna jeung Salamah, gancang muru-muru, babawaan geus dibuka, rupa-rupa aya baju aya encit, keur ibu jeung Salamah.

Sareng kertas kembang rupi-rupi, rea pisan meuli cocooan, kokoleceran jeung angkrog, kekembangan aralus, anu beureum jeung anu gading, anu hideung nu bodas ibu bati ewuh, wireh Ujang Salim royal, sajabana meuli peso meuli gunting, jeung sajaba ti eta.

Ditataan rupa hiji-hiji, jeung ngasongkeun encit ka ibuna, keur Salamah kitu keneh, pokna teh tah keur ibu, sareng ieu [ 35 ]sarupi deui, kanggo Enok Salamah, encit kayas alus, dibeberkeun diajaran, diterapkeun ka Salamah jeung daek, Salamah leuwih bungah.

Malum budak anu masih leutik, lulumpatan jeung ajret-ajretan, tina bawaning ku atoh, ka Jang Salim ngarangkul, ngalendotan tina ku asih, reujeung tina kakara, boga baju alus, pokna engkang bageur pisan, henteu eureun ngomongna cadel ngicimih, tina bawaning bungah.

Nyi Patimah bati imut leutik, ningal tingkah polahna putrana, Jang Salim nya kitu keneh, Nyi Patimah pok nyaur, naha Ujang bet rea teuing, eta teh beubeulian, reujeung ibu ewuh, make meulian keretas, cocooan mana rea-rea teuing, kawas rek kariaan.

Make meuli peso reujeung guncing, na keur naon eta teh gunana, Jang Salim seuri ngawalon, puguh abdi teh ibu, kenging mikir langkung sasasih, enggon jalan usaha, amung nu kaemut, abdi sumeja diajar, barang jieun cocooan rupi-rupi, keur jualeun ka pasar.

Anu mawi abdi meser leuwih, cocooan seueur rupa-rupa, maksud abdi kangge conto, henteu susah guguru, gampil ieuh kenging dipikir, dupi peso tikelna, kanggo ruat-raut, anu perlu digagangan, sareng perlu kapan kudu nganggo gunting, kanggo ngagunting kertas.

Emutan teh asa moal lami, mun diajar nyieun cocooan, rupi kolecer jeung angkrog, kekembangan pon kitu sinarengan jabina deui, abdi sanggem tiasa, di lebet saminggu, nyieun model rupa-rupa, raos abdi usaha teu abot teuing, bari cicing di imah.

Malah-malah panggawe utami, turug-turug gampil didamelna, kenging keur gawe awewe, emutan abdi tangtu, lami-lami ibu katarik, kitu deui Salamah, tiasa ngabantu, engke lamun geus tiasa, tangtos ibu moal kantos ripuh teuing, tambih pausahaan.

Salamah ge meureun lami-lami tiasaeun nulung padamelan, wantu damel henteu hese, tina ku margi kitu, pikeun teda mo sesah teuing, sim abdi moal melang, ninggalkeun lumaku, mun [ 36 ]abdi pareng ngumbara, ka nagara nu rame ngilari deui, usaha nu meujeuhna.

Nyi Patimah suka campur sedih, ngadangukeun carios putrana, suka dumeh soson-soson, mikirna estu suhud, kana jalan ngala rejeki, makayakeun anjeunna, sumawon ka dulur, duka reh acan meujeuhna, lebah Salim budak anu masih leutik, kana mikir usaha.

Tina nyaho dumeh kolot miskin, dugdag-degdeg ngabantu usaha, Patimah teu petot-petot, mumuji ka Yang Agung, nganuhunkeun pangasih Gusti, teu weleh nya neneda, supaya dikabul, paneda muga putrana, ditambahan rahmat anu leuwih-leuwih, lahir sareng batinna.

KINANTI.

Ujang Salim leuwih suhud, enggon mikir ngala rijki, lamun datang di sakola, ngadeluk teu ara cicing, nyoba nyieun cocooan, diajarna leuwih tigin.

Turah-turih ruat-raut, parabot peso jeung gunting, nyieun rupa kekembangan, reujeung sajabana deui, kolontong kokoleceran, kaulinan budak leutik.

Diajar teu make guru, wungkul nyonto ti nu jadi, diudaran dibukaan, tuluy diterapkeun deui, laun-laun jadi bisa, lantaran Jang Salim rajin.

Mikirna kalawan junun, karepna teu lunca-linci, jero saminggu geus apal, henteu perlu nyonto deui, sakur kaulinan bisa, geus paham sama sakali.

Beuki lila beuki alus, tambah paham wuwuh rapih, ngaleuwihan ti contona, nyieunna diapik-apik, digetolan dititenan, dina sarupi-sarupi.

Henteu rusuh gurung gupuh, teu hayang sakali jadi, leukeun jeung sabar tawekal, hese cape teu ditolih, henteu sungkan susah payah, asal maksudna ngajadi.

Di imahna geus ngagunduk, rapang ngajajar na bilik, kolecer kokolontongan, kekembangan rupi-rupi, anu beureun kayas bodas, hejo paul koneng gading.

[ 37 ]Angkrog mamanukan alus, nu rupana warni-warni, geus rea tuluy dijual, nitahan ka nu maranti, tukang ngider saban pasar, diketengkeun hiji-hiji.

Ibuna deui nya kitu, diajar ku Ujang Salim, lami-lami mah tiasa, teu beda jeung Ujang Salim, atuh beubeunanganana, sapoe lain saeutik.

Di imah pinuh ngahunyud, teu wudu aya pangaji, aya harga saperakna, sapoena anu jadi, nya gede oge batina, satengahna tina jinis.

Rata-rata anu tangtu, tina sapoena bati, bersih geus ngitung buruhan, teu kurang ti lima picis, tina panggawe duaan, teu wudu rada mecekil.

Pikir Salim beuki maju, malar meunang hasil leuwih, nyieun deui papanggalan, jualeun ka murid-murid, diusumkeun di sakola, sakabeh murid mareuli.

Atuh beuki henteu wudu, kabeh saayana murid, bangsa kaulinanana, dipakna ku Ujang Salim, anu teu bisa nyieunna, meuli dijualna mindring.

Ujang Salim tambah segut, pakena rapih jeung ginding, bajuna boga rangkepan, sarung iket kitu deui, meunang macakal sorangan, nepi ka boga erloji.

Ibuna deui nya kitu, jeung Salamah teu rarudin, dahar pakena meujeuhna, ku ihtiar Ujang Salim, nu nyukup sandang-panganna, ka dulur ka ibu asih.

Nyengcelenganana terus, dina sapoe saketip, ku Ujang Salim dipaksa, tempo-tempo bisa leuwih, mun pareng gede untungna, ngaleuwihan ti sasari.

Sakolana henteu mundur, ku guru-guru dipuji, dina saban-saban kelas, angger jadi nomer hiji, paling ngaclek nomer dua, punjul ti sakabeh murid.

Jang Salim kari sataun, sakolana kana bijil, caturkeun di sakolana, Salim boga sobat dalit, katelahna Encep Tarlan, putrana juragan Naib.

Gulet kawas reujeung dulur, sapapait samamanis, unggal poe rerentetan, batur ti waktu mimiti, kawit asup ka sakola, keur jaman di kelas hiji.

[ 38 ]Encep Tarlan unggal taun, dimana waktu pakansi, sajero bulan Puasa, sabulan sok di Betawi, matuh cicing di pamanna, kawantu budak geus yatim.

Ku rama ditinggal pupus, yatim sarua jeung Salim, kacaturkeun hiji mangsa, Tarlan jeung Salim badami, poe Minggu waktu senang, sambian bari pelesir.

Ceuk Salim ke taun payun, urang ti sakola bijil, meureun kenging sertipikat, kumaha Encep nya galih, rek angkat ka mana tea, reh prantos boga pangarti.

Margi urang meureun kudu, nyoba ngajajal pangarti, beubeunangan ti sakola, moal enya bae cicing, meureun urang kudu nyaba, neangan gawe pribadi.

Angot abdi gaduh indung, sareng pun adi sahiji, nu kudu diurusanan, tanggungan abdi pribadi, wantu henteu gaduh bapa, nenggang teu aya pamili.

Encep Tarlan pok ngawangsul, kuring mah teu aya deui, cita-cita ti baheula, ngan rek matuh di Betawi, moal rek ka mana-mana, reh mamang kuring geus jangji.

Ka kuring sumeja ngurus, anjeunna erek ngilari, ngusahakeun pagawean, enya eta pikeun kuring, di mana bae nu aya, dines atawana kulir.

Kawuwuh kuring di ditu, betahna kaliwat saking, rea pikeun pangbubungah, gampang nambahan pangarti, pagawean henteu kurang, rek ka mana bae milih.

Asal bae urang purun, rek dines atawa kulir, di toko di gudang-gudang, di kantor atawa pabrik, moal erek kakurangan, kana mandor jurutulis.

Jang Salim rada melenguk, ku ras teu boga pamili, tuturkeuneun keur manehna, anu aya di Betawi, pikiranana ku hayang, nyaho di nagri Betawi.

Ceuk Salim upami kitu, abdi ge hayang teh teuing, lamun rea pagawean, pakulian rupi-rupi, kawuwuh ku hayang terang, nagara nu rame leuwih.

Reh ramena geus kamashur, hayang nyidikkeun pribadi, ulah wungkul beja-beja, Encep mah terang da sering, naha kumaha ramena, coba cariosan abdi.

[ 39 ]Ceuk Cep Tarlan atuh puguh, ramena kaliwat saking, sajero Pulo Jawa mah, ramena taya nu nanding, Semarang jeung Surabaya, ka Betawi mah teu nepi.

Gedong gede nu aralus, di sisi jalan ngabaris, beres toko ngajalajar, toko Cina Arab Keling, sumawon toko Walanda, urang Jepang urang Inggris.

Lamun urang rek lumaku, ti beurang atawa peuting, henteu kurang tutumpakan,sado kareta pabuis, hentéu saperti di urang, ti peuting tiiseun jempling.

Sado kreta rebu-rebu, henteu eureun mundar-mandir, dina sapanjang jalan, sajero kota Betawi, diputer sakuliahna, ku setum reujeung ku listrik.

Susah lamunna dicatur, ditataan hiji-hiji, tina karameanana, Cep Tarlan ngomong ngabuih, sakur anu kainget mah, dibejakeun ka Jang Salim.

Karamean di Pariuk, gudang-gudang pabrik-pabrik, nu aya di palabuan, gedong gajah Lapang Gambir, sakur kaayaanana, ditataan hiji-hiji.

Jang Salim bati ngaheruk, ngaregepkeun nu ngabuih, datang ka henteu karasa, ti isuk nepi ka burit, teu aya nu dicarita, ngan karamean Betawi.

SINOM.

Kacatur dina peutingna, Salim teu sare sapeuting, nyileuk mikir nyita-nyita, kaayaan di Batawi, digambar jero ati, sakur nu geus dipicatur, hal karameanana, tapi ku ati teu tepi, sabab acan dikabaran ku sang mata.

Nu kacipta ngan bangsana, nu di nagrina pribadi, saperti toko jeung imah, nu galede ngajalegir, panyiptana jro ati, toko-toko nu aralus, saperti toko Cina, anu pepek rupi-rupi, panggedena nu aya di nagarana.

Bumi Kanjeng Tuan Besar, di Tanah-lapang ngajegir, kabupaten nu dicipta, kitu deui Lapang Gambir, nyiptana henteu tebih, nyamikeun jeung alun-alun, sakabeh dipaparah, gudang reujeung pabrik-pabrik, nyileuk nyipta di enggon bari [ 40 ]nangkarak.

Saenggeus nyiptana tamat, gambarna kota Batawi, diganti ku lalamunan, mun digawe di Batawi, heug jadi jurutulis, di kantor nu leuwih punjul, diuk ngadepan meja, dina korsi bari nulis, nyanghareupan Walanda dununganana.

Tuluy naek-naek pangkat, tina asal gajih leutik, geus nepi kana ratusan, imahna dilamun deui, gedong gede ngajegir, boga jongos boga babu, kuda reujeung kareta, dipeleng di jero ati, ngalamunna nepi ka nu pangpunjulna.

Mun sudagar pangbeungharna, menak pangkatna nu leuwih, abong sakawenang-wenang, teu aya nu nyisi-kudi, sare tuluy kaimpi, sakabeh anu dilamun, Salim tetep pikirna, lamun ti sakola bijil, nu dimaksud Batawi nu rek disorang.

Ku sabab kitu pikirna Ujang Salim tambah rajin, enggon jalan usahana, getol ti beurang ti peuting, dagangan rupi-rupi, nyieunna dialus-alus, ditaekeun hargana, sangkan boga duit leuwih, cengcelengan keur bekel bawa ngumbara.

Ka ibuna acan wakca, yen niat rek ka Batawi, pikir Salim bisi rentag, wirehna bakal patebih, galihna bisi rungsing, geus bae ngajadi ngangluh, catur bae enggalna, Salim ti sakola bijil, sarta tamat meunang surat sertipikat.

Saenggeus Salim kaluar, henteu buru-buru indit, pikirna ngareureuh heula, di imah teu ara cicing, teu ngagedekeun ulin, ulinna jeung ngarah untung, susumpit jeung ngalintar, jeung baturna rukun rapih, kalulutan ku barudak sasamana.

Lamun aya pagawean, rempugan anu geus galib, saperti ngaruag imah, nu ngadegkeun kitu deui, Jang Salim tara Kari, angger sok milu babantu, milu macul ka sawah, nurut galib Sukasari, gawe kasar gawe lemes tara tinggal.

Nu dipalar mangpaatna, supaya sagala ngarti, peta nyabak pagawean, dagang pepelakan tani, lamun pareng keur sepi, tina gawe anu baku, top buku tuluy maca, carita anu harasil, diregepkeun sakur picontoeunana.

Nu ku Salim digetenan, suhud kalawan gumati, ngajar adina Salamah, reh hideng meujeuhna ngarti, kana gawe nu hasil, nu jadi tatali hirup, dina jero pikirna, mun Salamah enggeus [ 41 ]ngarti, barang jieun baku nu pake usaha.

Tangtu Salim moal melang, rek ninggalkeun ka Batawi, bisa terus usahana, ibu nu cicing di bumi, sakumaha paranti, bisa cukup pikeun hirup, Salim jongjon ihtiar, enggon aya di Batawi, moal pati mendag mayong pipikiran.

Salim geus babadamian, jeung Encep Tarlan pasini, bulan Hapit baris mangkat, tempona sabulan deui, rek babarengan indit, kacarita hiji waktu, Salim reujeung ibuna, Salamah pon kitu deui, cacarios bada magrib waktu senang.

Salim nu kawit nyarita, basana rendah jeung manis, jalanna malapah gedang, rek nyarios baris indit, tatana hormat tadim, pokna teh kumaha ibu, wirehing hirup urang, enggon ngilari rejeki, satedaeun enjing-sonten sesah pisan.

Ngan ukur tiasa neda, henteu kalaparan teuing, abdi ngemut henteu kendat, usaha nu sanes deui, di dieu bari cicing, namung weleh teu kaemut, dagang teu aya modal, tani pon nya kitu deui, anu sedeng aya sesa tina teda.

Pakulian henteu aya, kawantos di nagri alit, lamun kieu salamina, pangarti abdi mubadir, kenging sakola lami, ngan diangge ruat-raut, ngadamel cocooan, leuheung mun aya pangaji, gawe kesel hasilna henteu sapira.

Upami abdi teu incah, ihtiar ka sanes nagri, hamo pendak kasenangan, mun di dieu bae cicing, ukur jadi pulisi, negtogna kapala kampung, hasilna nu teu pira, kawuwuh meureun di abdi, jadi jalma kurung batok kurang luang.

Taya harti taya harta, tinangtos taya pangaji, hirup sesah salamina, turta masih ngora abdi, emutan jisim abdi, mun aya paidin ibu, sim abdi neda rila, maksad abdi hoyong indit, ka nagara sanes nyiar pakulian.

Sugan pendak sareng kadar, kenging milik rada leuwih, anu sakinten meueusan, malar hasil maksad abdi, yasa nohonan wajib, maksad ngamulyakeun sepuh, slira ibu buktina, pilangbara jeung utami, yasa nyekap ngamumule nu meujeuhna.

Atuh ulah sesah-sesah, kanggo tuang sonten-enjing, turta anu teu sapira, ulah banting tulang teuing, ngabelaan seutik, datang ka karinget ngucur, ngaluarkeun tanaga, estu tisusut ti banting, [ 42 ]jisim abdi ngan bati watir nya ningal.

Margi abdi seseepan, soson-soson nyiar rijki, teu aya nu dibelaan, mung ibu sareng pun adi, abdi teu melang teuing, ka ibu ayeuna ngantun, ibu kedah wayahna, nuluykeun usaha abdi, samemehna jisim abdi kenging peta.

Ngalajengkeun cocooan, ngadamel teu abot teuing, kangge sakalieun tuang, duaan sareng pun adi, Salim bari ngalirik ka Salamah, nu ngaheruk, pokna kudu wayahna, Amah rek ditinggal indit, masing suhud ka ibu nya ngawulaan.

Sing nurut ka piwurukna, jamakna cape saeutik, adatna anu miskin mah, kudu nandangan prihatin, sarta narima takdir, tutulisan ti lohmahpud, sakieu bagja urang, anu tumiba kiwari, taya lian ngan kudu sabar tawekal.

Nyi Salamah pok ngajawab, bangun anu erek ceurik, na engkang bade ka mana, bade ninggalkeun ka abdi, naha bet tega teuing, kumaha abdi jeung ibu, geusan panyalindungan, saha nu welas ka abdi, nineung keueung upami jeung engkang anggang.

Ibuna ngan bati welas, ngadangu Salim weweling, jeung sasambatana Salamah, wirehing bakal patebih, ibuna pok ngalahir, naha rek ka mana Agus, anu erek diseja, ibu karareueung teuing, ka Batawi ceuk Salim jeung dumareuda.

ASMARANDANA.

Ibuna ngalahir deui, nyaur bari cumalimba, ibu sambung dunga bae, puguh ari kahayang mah, hayang ulah papisah, jeung anak ulah pajauh, paeh-hirup reureujeungan.

Tatapi sakitu deui, ibu moal bisa nyaram, kari karep Ujang bae, dalah nu beunghar jeung menak, jeung kolot pipisahan, ngalumbara ka nu jauh, neangan harti jeung harta.

Angot urang anu miskin, tur teu sabraha jauhna, jero Pulo Jawa keneh, kapan geuning nu lian mah, nyalebrang ka Eropa, urang Eropa nya kitu, daratang ka Pulo Jawa.

Ngan ibu banget weweling, piwulang ibu ka Ujang, ingetkeun ulah rek poho, jalankeun kamanusaan, sipat kautamaan, sing [ 43 ]asih ka sakur mahluk, ulah pilih sejen bangsa.

Manusa darajat leuwih, nu geus bisa ngaji rasa, kalawan prakna migawe, asih ka sagala bangsa, sepi tina pangarah, tutulung ka nu keur bingung, nalangan anu keur susah.

Jalma nu pinuh ku asih, gelarna di bumi alam, pinuh ku kamulyan hate, taya karisi karempan, ngambangkeun kersa Allah, panuhunna ka Yang Agung, salamet eusina alam.

Nu kitu salamet pasti, dunya reujeung aheratna, nu pinuh ku wening hate, baktina salalawasna, anu taya pegatna, nyembahna ka Maha Agung, metakeun kamanusaan.

Lamun Gusti Maha Suci, teu ngaganjar ka manusa, ku kasucianing hate, adil jeung sabar tawekal, asih ka mahluk Allah, hirupna enggeus tinangtu hamo manggih kasenangan.

Poma Ujang kudu eling, ulah weleh nya ihtiar, paneneda ka Yang Manon, malar manggih kamulyaan, saratna taya lian, ati Ujang kudu kukuh, metakeun kautamaan.

Mun Ujang geus di Batawi, pareng meunang pagawean, poma sing suhud jeung getol, nurut parentah dunungan, sakumaha mistina, jeung batur sagawe rukun, mun susah silih tulungan.

Ulah rek paaing-aing, pagirang-girang tampian, sok hayang Kapake dewek, ulah cempadan kelakan, mun batur nyorang salah, elingan malar rahayu, ku basa asor jeung rendah.

Ulah rek ngulik nalungtik, kasalahan anu lian, malar eureun tina gawe, sorangan ngarah pujian, ngagantian pangkatna, nu kitu ngaranna hasud, hiri dengki jeung hianat.

Ahir malindes ka diri, uteuk tongo walangtaga, na tarang batur katembong, gajah depa teu karasa, dina tarang sorangan, hayang untung anggur buntung, sorangan anu cilaka.

Lamun Ujang pareng manggih, darajat harta boh pangkat, poma Ujang mangka hade, ulah salah panarima, bisina boga rasa, darajat diaku-aku, rasana meunang sorangan.

Teu inget ka nu maparin, Pangeran nu murba jagat, dipake reueus bedegong, malah kudu tambah reuwas, bisina jadi pitnah, panyungkun ti Maha Agung, Ujang kudu tambah rosa.

Baktina ka Maha Suci, darajat pake ibadah, pake bakti ka Yang Manon, sing rea amal sidekah, ka pakir nu masakat, sabab [ 44 ]Gusti Maha Agung, gampangeun mun karsa ngudar.

Nu beunghar ngajadi miskin, ku jalan sakedep netra, tur mahluk teu bisa nyaho, rea nu geus kajadian, ku kawasana Allah, jagjag sore paeh isuk, teu beunang dikira-kira.

Sabalikna kitu deui, mun pareng panggih jeung lara, meunang cocoba Yang Manon, poma ulah goreng sangka, nyasalah ka Pangeran anggur kudu wuwuh suhud, rosa neda panghampura.

Sabab mungguh Maha Suci, ana rek maparin bagja, urang tara bisa nyaho, terkadang dicoba heula, ku lara jeung masakat, mun sabar tawekal untung, mun aral tambah cilaka.

Poma Agus masing eling, sing nyaho di harga badan, hargana mangewon-ewon di dunya taya bandingna, ulah rek dimumurah, mun nincak lampah teu patut, nu nista lampahing hina.

Sami jeung ngaruksak diri, jadi teu aya hargana, lamun teu ngajian dewek, komo ku batur dihina, demi peta ngajian, milaku lampah nu alus, nyingkahan lampah nu salah.

Jauhkeun sirik jeung pidik, sumawon dengki hianat, kabeh tingkah laku goreng, nu dicawad ku agama, sakabeh laku nirca, sucikeun ati sing mulus, sing asih ka sakur bangsa.

Poma sing nyaah ka diri, reujeung ka turunan urang, sabab lampah hade-goreng, saibarat pepelakan, sok nurutkeun binihna, lamun bibitna nu alus, anakna oge teu beda.

Anu goreng kitu deui, tinangtu goreng jadina, poma masing jadi conto, sing inget ka paribasa, ceuk sepuh nu baheula, anu punjul jalalamhur, geuning jadi kacapangan.

Wong enom darma lakoni, wong tua gawe wiwitan, eta geus jadi ciciren, mungguh nu awas waspada, tangtu terang katalar, poma Ujang kudu jungjung, piwejang jalma utama.

Ujang oge bisa milih, lampah nu bener nu salah, meureun Ujang remen ngilo, maca buku di sakola, rupa-rupa tuladan, sakabeh jadi pitutur, ka sakur anu maraca.

Sakitu ibu weweling, poma kudu dilampahan, sakur tingkah laku hade, kadua kudu dijaga, hal kasehatan badan, sabab mun gering rurumbu, samar manggih kasenangan.

Demi kasehatan diri, banda modal panggedena, sehat anu jadi poko, keur neangan kasenangan, beunghar jeung kapinteran, [ 45 ]sabab nu geringan nguyung, moal bisa ngihtiaran.

Bisa beunghar boga harti, beunangna kapan ku jagjag, kapan lamun awak nombro, kumaha neanganana, najan nu beunghar pisan, mun katemrong gering nangtung, hamo manggih kasenangan.

Buncir leuit rea duit, rea sandang loba pangan, teu jadi nyenangkeun hate, da teu bisa gundung-gandang, sandang taya gunana, najan pangan ngeunah alus, moal ngeunah karasana.

Anu pinter boga harti, teu bisa ngajadi harta, mun pangarti teu kapake, lantaran dibawa lara, contona mama Ujang, balas geringan rurumbu, harti rugi harta beak.

Poma kudu jadi eling, jaga samemehna lara, ati-ati memeh nombro, leuwih gampang ngajagana, batan nambaanana, lamun gering buru-buru, ka doktor geuwat tambaan.

Petana ngajaga diri, kudu beresih berseka, ulah rek odoh jeung kotor, pakean remen seuseuhan, soeh gancang kaputan, mandi ulah tinggal sabun, diruruan dikasayan.

Dahar sare sing maranti, anggeran dina waktuna, ulah sambarangan tempo, sartana kudu meujeuhna, ulah rek kaleuwihan, kakurangan deui kitu, temahna aya matakna.

Ana dahar rea teuing, bareurat rasa marenggah, nungtun kana beuki sare, lamun sare kaleuwihan, rea kaluar panas, tangtu badan jadi lesu, leuleus kurang pangawasa.

Kana pikir kurang nyaring, lantaran kurang tanaga, jadi males kana gawe, tungtungna jadi geringan, mun badan kurang obah, kabeh urat mararungkut, paregel ngarey bareurat.

Imah-imah kitu deui, kudu garenah caraang, ulah maredem paroek, sarta kudu jandelaan, saban poe dibuka, malar hawa panas asup, nyorotan ka jero imah.

Pakarangan sing beresih, runtah-runtah didurukan, ulah bareye barecek, cai hujan nu ngarumplang, kocorkeun masing saat, malar nyingkah sato lembut, ku reungit teu pake nyayang.

Imah nu henteu beresih, sumawon poek teu caang, teu aya jandela plungplong, eta gede mamalana, pake cicing binatang, basil-basil nu lalembut, matak mawa batuk gangsa.

Panyakit nu baya leuwih, hese ditambaanana, mun buruan [ 46 ]bararecek, runtah henteu didurukan, jadi bau hawana, reungit ngararendog tangtu, matak mawa malaria.

Ku ibu henteu diwincik, dina sahiji-hijina, anu perlu bae nyaho, sakitu oge meujeuhna, nu gampang dilampahan, poma Ujang kudu turut, malar Ujang teu geringan.

Katilu sing gede ati, ulah reuwasan borangan, Ujang sing gede wawanen, pipikiran masing jembar, ulah dusun eraan, sumawon hate nguluwut, kudu wanter jeung sonagar.

Papakean ulah rudin, perlente tatag carita, lamun nguyung guya-goyo, matak katipu jelema, najan boga panalar, disangkana bodo ngedul, susah meunang pagawean.

Tapi ulah salah harti, lain ginding gagandangan, perlente lain gumasep, pipinteranan cetaan, mun kitu jadi salah, laku sing ngukur ka kujur, tindak kudu nimbang awak.

MAGATRU.

Kaopatna ka Ujang piwuruk ibu, mun pareng boga rejeki, tina dagang boh buburuh, sumawon mun meunang gajih, poma kudu soson-soson.

Ulah kena-kena Ujang keur buburuh, kana rejeki teu apik, boga rasa unggal minggu, atawana unggal sasih, henteu elat duit ngocor.

Teu ngingetkeun ka hareup nu rek dipaju, kapan jalma keuna sisip, keuna sepuh keuna udur, lamun geus teu kuat kuli, teu boga keur bekel nombro.

Unggal bulan poma Ujang sing perelu, paksakeun ulah rek Jali, neundeun ka bang anu tangtu, gede-leutik kudu pasti, poma ulah erek towong.

Keur jagaan lamun manggih gugup ripuh, anu perlu leuwih-leuwih, ulah sampe unjak-anjuk, mun hutang rea ngalilip, tangtu hate moal jongjon.

Rea conto nu digawe teu marulus, tina asal gajih leutik, nepi kana gajih ratus, puluh-puluh taun kuli, ber ka kaler los ka kulon.

Ahirna teh geus gede gajihna lapur, eureun jaba jeung dibui, [ 47 ]lantaran nurutkeun napsu, teu bisa metakeun rijki, karek kaduhung geus nombro.

Lantaranna eta nu sarupa kitu, kawitna teu aya deui, asal tina susah bingung, juljol jalma nu naragih, tungtungna sabuntar-bentor.

Henteu ketang larangan oge dilarung, teu merduli duit pait, tina bawaning ku bingung, dibelaan subat-sabit, kana bebeneran poho.

Omongna mah paribasa henteu cukup, padahal hentu dipikir, lain gajih nu teu cukup, tapi napsu nu teu mahi, karepna terus didolos.

Si napsu mah atuh lamunna dijujur, ulah boro gajih leutik, sanajan ratusan rebu, moal burung budal-badil, lamun napsu mangprung merod.

Najan pinter ngalana ratusan rebu, tapi makena teu apik, eta henteu leuwih untung, ti batan nu leutik apik, jeung gede gajih corobo.

Angot deui mun pake madat jeung ngadu, lacur mabok nginum sopi, nyorang lampahing M tujuh, diri baya duit ledis, rea nu geus jadi conto.

Eukeur ibu waktu di Betawi matuh, boga tatangga ngabanding, gajihna teh dua ratus, didamelna di Batawi, jadi bukhower di toko.

Ari mama Ujang gajih lima puluh, ibu sok heran teh teuing, lamun abis bulan tangtu, rabul jalma nu naragih, cekcok ngaromong sarongong.

Jeung istrina pasea meh unggal waktu, istrina midangdam ceurik, sok remen datang ka ibu, menta tulung nginjeum duit, lamun geus teu bisa ngejo.

Ku lantaran geus sereg hutang ka warung, ka unggal tempat geus rimbil, hutangna ngenca-ngatuhu, estu teu aya pangaji, hina teu aya nu nenjo.

Carogena sok ngamadat sarta lacur, mabok remen nginum sopi, ka bojo gawena ngamuk, watek perbawana sopi, geus ngaruksak kana polo.

Ahirna teh eta bukhower dihukum, bejana mah maling duit, [ 48 ]duit toko rebu-rebu, ibu ge nyaho pribadi, keur dibawa ka Golodog.

Erek asup ka buina ditambalung, keur waktu di jero bui, meunang kabar tuluy pupus, geringna payah ngagetih, mejen cek beja mah bodol.

Taya lian tina perbawana candu, racun ngaruksak ka diri, istrina anu dikantun, ibu meunang beja deui, di rumah sakit geus maot.

Panyakitna bejana kasakit lumpuh, katambah heteu ningali, nyeri panon leuwih ripuh, asalna mah nyeri kiih, tepa ti raka nu maot.

Tah sakitu mamalana eta Agus, madat mabok nginum sopi, madon maen beuki ngadu, tungtungna asup ka bui, gawe eureun bujur dobol.

Sakitu ge masih keneh aya untung, teu boga anak sahiji, coba mun anakan tangtu, tepa sakabeh panyakit, tumpur ludes anak bojo.

Eta kitu Ujang sing jadi pitutur, poma Ujang masing eling, jalma teu nyaah ka hirup, teu nyaho di harga diri, tiwas mamawa ka bojo.

Kalimana ibu ka Ujang miwuruk, poma Ujang kudu ngulik, kabatinan elmu sepuh, pikeun ngababanding diri, lahir-batin malar nyaho.

Petana mah Ujang teh kudu guguru, milih guru anu mursid, tapi kahade kaliru, neangan guru sing apik, ulah sampe kabobodo.

Tingal heula tindak tandukna nu mulus, mungguh guru nu sajati, sanjata guru nu luhung, kamanusaanna bukti, carita jeung lampah amprok.

Samemeh bral Ujang indit rek lumaku, kudu niat dina ati, neangan rahmat Yang Agung, naon bae nu kapanggih, pasihan Gusti Yang Manon.

Talek heula diri Ujang kudu sanggup, sabab mungguh jalma pasti, enggoning di dunya hirup, ngalakonan dua rupi, mun teu susah bungah tangtu.

Mun papanggih jeung bungah rek muji nuhun, bakti ka Nu [ 49 ]Maha Suci, mun panggih jeung susah sanggup, rek sabar narima takdir, sing husu ulah rek bohong.

Alusna mah unggal peuting niat kitu, jero ati seja jangji, nu bakal kasorang isuk malak mandar dipiasih, meunang rahmat ti Yang Manon.

Enggeus beak sakitu piwuruk ibu, poma Ujang masing tigin, jalankeun malar rahayu, meunang pitulung Yang Widi, urang darma ngalalakon.

MIJIL.

Ujang Salim ngadangu weweling, estu leuwih ngesto, ngaregepkeun melong henteu meleng, ngangres ngenes saredih watir, cipanonna bijil, inget bakal ngantun.

Ibuna ge nyurucud citangis, baluas memeh los, anu aya ngan sumelang bae, malum reujeung anak rek tebih, ngan reuwas jeung risi, jro galihna paur.

Paur inggis panggih jeung balai, jero ngalalaku, turug-turug di nagara rame, taya wargi keur titip diri, kawuwuh rek kuli, anu acan puguh.

Panggalihna dibulak dibalik, tungtungna mah longsong, dilelejar ku anjeunna bae, dipasrahkeun ka Maha Suci, narima ka takdir, tulis ti lohmahpud.

Kacarios piisukeun indit, Salim geus nyarios babawaan geus sadia beres, cengcelengan dibobok rapih, keur bekel jeung karcis, aya dua puluh.

Ti peutingna tatangga nu tebih, daratang ngarendong, sobat-sobat Patimah sakabeh, nyalametkeun anu rek indit, Nyi Lurah ge sumping, jeung caroge rawuh.

Ngabangbrangkeun nu ditinggal indit, rame nyararios, Ujang Salim ngadedempes bae, di jro kamer teu bijil-bijil, bari mikir-mikir, pilampaheun isuk.

Jro pikirna suka campur sedih, suka reh rek mios, sedih dumeh ku baluas hate, rek papisah reujeung kakasih, nu pake kaeling, Salamah jeung ibu.

Nu ngarendong nepi tengah peuting, pada garuguyon, Nyi [ 50 ]Patimah rada janglar oge, pangawatir nungtutan leungit, teu hareneg teuing, kalah rea batur.

Enggeus dengek ciciren janari, hayam kongkorongok, soarana tarik ngadarengek, kawas anu marilu sedih, dibarung ku jangkrik, bangun nu ngaheruk.

Beurit oge milu tingjarerit, cakcak rame cekcok, estu matak ngarakacak hate, sato leutik bangun nu watir, cihcir langgir kasir, milu ngahareruk.

Ngiring sedih ka anu rek indit, jam dua geus cekcok, nu mareuting geus harudang kabeh, Ujang Salim geus dangdan ginding, bajuna jas gading, sarung batik gadung.

Bendo rancung batik sisi nyempring, patlotna narongtot, dina saku luhur redes beres, buku notes na saku leutik, katembong saeutik, cakep ringsig segut.

Nyi Patimah gugup gusak-gasik, enggeus nganggo-nganggo, Nyi Salamah oge kitu keneh, rek nganteurkeun enggeus sayagi, tasna geus ngabanding, nunggu pukul tilu.

Bapa Astra jeung nini paraji, geus sadia obor, wantu bulan keur sedengna poek, babawaan geus dijaringjing, teu aya nu kari, rek ka setatsiun.

Geus bismillah tujuy bral arindit, cahya obor obyor, saeusina enggeus budal kabeh, pada jajap praistri-istri, lalakina Salim, jeung Astra ti payun.

Mawa obor dikupat-dikapit, Patimah mah tonggoy, jongjon cicing teu nyaur sakemek, tina sanget baluas galih, nahankeun kasedih, angenna ngagenduk.

Ngagaridig arangkatna istri, henteu pati jongjon, sadayana gagancangan bae, malum muru kareta api, pukul lima enjing, ti wetan kreta dur.

Ku lantaran lalakonna tebih, henteu aya sado, malum kota masih sepikeneh tiis jempling hawa ti peuting, wungkul nu kakuping, sora sato lembut.

Kacaturkeun ka pos prantos tepi, Tarlan keur ngadago, enggeus nyampak eukeur lujag-lejeg, tuluy bae mareuli karcis, ka Mester Kornelis, nu erek dijugjug.

Pukul lima dua puluh menit, kareta geus sengok, soarana [ 51 ]puluit ngadengek, menta sinyar bangun nu bengis, degig gudag-gidig, ma’lum kareta dur.

Nu rek tumpak ribut geus pabuis, nu mangku ngagotong, aya anu ngajingjing jeung ngelek, babawaan nu rupi-rupi, Tarlan reujeung Salim, narunggu geus nangtung.

Nyi Patimah ti Salim teu tebih, rupana rampohpoy, Nyi Salamah ku Salim disangkeh, cipanonna ngucur jeung ceurik, ibu kitu deui, cisocana nyangkrung.

Kreta api ti wetan ngadigdig, eureun enggeus anjog, ribut jalma nu turun nu naek, Jang Salim tasna geus dijingjing, samemehna indit, Jang Salim ngarangkul.

Ka Salamah barina jeung ceurik,rambisak cipanon, pileuleuyan Amah mangka hade, didungakeun mangka prihatin, sarta sing walagri, sarawuh jeung ibu.

Ka ibuna tapak deku deui, jeung cipanon ngocor, mangga ibu neda dunga bae, Nyi Patimah teu tahan nangis, bawaning ku ketir, barinasumegruk.

Patutungku tiluan careurik, ibu teu ngawalon, teu katahan ku baluas hate, sanggeus salse munjungan pamit, Jang Salim jung indit, cipanonna ngucur.

Geus neng lonceng pluitna ngajerit, kareta ngaheong, tinggarupay ku salempay beye, cipruk urut nyusut citangis, Jang Salim geus indit, na kreta ngadudud.

DANGDANGGULA.

Sora pluit kareta nu indit, lambat matak nyuat nu kasawat, nu kantun di setatsion, nyeuit wuwuh nguluwut, sedih galih anu patebih, wireh ditilar jengkar, nguyung bati liwung, sumelang ati hariwang, ngangres ngenes masinis mapanas galih, pluitna dedengekan.

Ngabangingik kawas anu ceurik, hukhak-hokhok bangun nu sasambat Nyi Patimah leuleus lungse, ngalenghoy ditutuyun, dipapayang kawas teu eling, estu matak hariwang, setatsion suwung, urut rame tinggulantang, wara-wiri jalma anu pulang-anting, sepi ditinggal mulang.

[ 52 ]Nyi Patimah geus sumping ka bumi, anu aya ngan kantun baluas, kacarios nu geus mios, Jang Salim nu geus tuluy, jeung Cep Tarlan calik tarapti, cepet mareunang tempat, geus diuk na bangku, Ujang Salim sila tumpang, jeung Cep Tarlan ngarendeng papada ginding, bangun taya hariwang.

Kreta api lumpat cepet tarik, halte leutik sakilat diliwat, ngaberung bari ngaheong, Bandung enggeus kalangkung, siga paksi nu maling putri, teu nyoreang ka tukang, terus ngabadudud, ngahoang siga nu nangtang, perang tanding ka nu nyusul bapa maling, tandang taya karingrang.

Laju terus laimpah bapa maling, gancang bae datang ka Karawang, di dinya ngareureuh ngaso, sasambat menta nginum, lokomotip sakeudeung laugsir, nu tunggang geus corengcang, srangenge meh surup, lanterana geus dipasang, Ujang Salim jeung Cep Tarlan tingpelengking, geus hayang geura datang.

Nu dijugjug ka Mesterkornelis, kacaturkeun di halteu Karawang, aya pasisir nu naek, pameget anom segut, disetelan putis ngabeulit, nyandak peti kekeran, bangun enias ngukur, paharep-hareup calikna, reujeung Salim pada dina bangku sisi, Salim hatena heran.

Reh romanna erek meh sarupi, jeung ramana anu enggeus hilang, Jang Salim teu weleh melong, emut ka nu geus pupus, anu tunggang mariksa manis, Ujang rek ka marana, kawas anu jauh, ku Ujang Salim dijawab, diwalonan bade ka Mesterkornelis, nu naros papanjangan.

Naha Ujang di mana lalinggih, sareng saha nu bade diseja, nu aya linggih di Mester, Encep Tarlan ngawangsul, dupi kawit ti Sukasari, menggah anu dimaksad, sareng ieu dulur, bade nganjang ka pun paman, sakalian mun pareng bade ngilari, damel manawi aya.

Anu tunggang pok mariksa deui, naha Ujang boga sertipikat, gaduh ku Salim diwalon, nu tunggang ngodok saku, nyandak patlot sareng notisi, barina jeung mariksa, damel sareng kampung, anu bakal dianjrekan, ceuk Cep Tarlan Jurutulis di Batawi, toko Tiang Ki Kota.

Calikna mah di Mesterkornelis, kampung Rawabangke [ 53 ]katelahna, bumina caket sentiong, sanggeus ditulis tuluy, notisi disakuan deui, barina jeung ngandika, sugan aya untung, wirehing di kantor engkang, cariosna bade ditambah personil, sasih payun kawitna.

Damel kantor kangge jurutulis, sareng lerling opnemer tikenar, engke lamun enggeus tangtos, tangtu engkang perelu, nyuratan boh datang pribadi, mun Ujang acan meunang, gawe anu tangtu, Ujang Salim jeung Cep Tarlan, nganuhunkeun bungahna kaliwat saking, bujeng bae enggalna.

Kacaturkeun bae enggeus tepi, ka bumina paman Encep Tarlan, Jang Salim ngan kantun bengong, jauh jeung cita kalbu, imah-imah anu kapanggih, di jero kampung eta, teu aya nu alus, bumi anu didatangan, imah ngupuk hateup kenteng sarta bilik, sewaan tujuh perak.

Kawuwuhan ti pos langkung tebih, sarta jauh pernahna ti jalan, katambah jeung bulat belot, ka gang laleutik asup, Ujang Salim nyileuk sapeuting, barina jeung nepakan, reungit anu napuk, ngedeng na samak saheulay, dina bangku awi anggelna sahiji, dipake ku duaan.

Sapeupeuting Salim gulang-guling, jro pikirna Salim ngana-naha, ka Cep Tarlan nu nyarios, wungkul anu dicatur, karamean kota Batawi, ari henteu ngeunahna, teu pisan dijantur, bet geuning kieu buktina, hawa panas katambah jeung rea reungit, jeung rea babauan.

Ati Salim cuscos henteu cicing, rea-rea nu jadi pikiran, ras inget ka lemah bale, ibu anu dikantun, jeung Salamah anu diasih, ku Salim diwawaas, galih nu di lembur, ras keur waktu di Karawang, babarengan reujeung anu jangji tadi, sarimbag jeung ramana.

Pikir Salim naha salah teuing, kurang temen talete tatanya, tina bawaning ku atoh, reh maksudna rek nulung, ari tempat damelna deui, ku aing teu ditanya, malar aing puguh, mun maksud seja neangan, reujeung naha aing boga resep asih, Salim kitu pikirna.

Kacaturkeun bae lami-lami, Ujang Salim reujeung Encep Tarlan, sanggeus ngareureuhkeun cape, meneran poe Minggu, geus [ 54 ]badami erek pelesir, perlu nu pangheulana, nu erek diburu, samemeh ngajajah kota, Luarbatang diperlukeun nomer hiji, jiarah ka karamat.

Maksud neda sapaatna Wali, reh nurutkeun pesenna ibuna, bareto samemeh mios, kacatur isuk-isuk, pukul genep enggeus arindit, meunang make darangdan, tarumpak na setum, Jang Salim — sajalan-jalan, culang-cileung panonna teu daek cicing, ningal gedong ngajajar.

Saumuma nu kakara manggih, Encep Tarlan nu purah nataan, nuduhkeun sakur nu nyaho, nu kaliwat ku setum, gedong palis kantor pinansin, bumina Tuan Besar, jeung jaba ti kitu, toko kantor disebutan, kacaturkeun ka Luarbatang geus nepi, tuluy pada hadiah.

Sanggeus tamat doana jeung puji, tuluy bae pada kalaluar, nu musapir geus ngaberes, Jang Salim ngodok saku, rata kabeh pada dibagi, kitu deui Cep Tarlan, hajat milu kaul, barang dina panganggeusan, aya hiji budak Arab ngaku Habib, nampan menta sidekah.

Ku Cep Tarlan dibere sapicis, tapi masih keneh bae nampan, ditambah deui lima sen, Jang Salim jongjon nangtung, sarta melong ka eta Habib, diririk pangadegna, Jang Salim jamedud, henteu pisan mirosea, anggur malik trus bae leumpang ngadig-dig, miheulaan Cep Tarlan.

Sanggeusna babarengan deui, ceuk Cep Tarlan geuning Salim naha, ari ka Habib teu mere, eta anu perelu, urang sidkah ka putu Nabi, diteda karamatna, wantu cucu Rasul, ceuk Jang Salim bener pisan, tatapina sawangsulna kitu deui, kedah panjang emutan.

Lamun yaktos turunan prahabib, moal kitu kalakuanana, tur mungguh nu barang maen, eta lampah teu patut, pikeun jalma anu walagri, ari nu tadi tea, estu jalma segut, teu aya pisan cacadna, sawangsulna jadi ngahinakeun Nabi, ngaku turunan mulya.

Turug-turug geuning tadi bukti, tanda jalma kurang wiwirangna, teunarima sapamere, nawar menta diwuwuh, hiji ciri hina tur sisip, abdi mah teu percaya, ka nu kitu patut, najan [ 55 ]leres Habib pisan, lamun boga kalakuan nu teu uni, abdi moal ngajenan.

SINOM.

Encep Tarlan teu ngajawab, cicing semu anu ngarti, kacatur bae enggalna, lampah Tarlan sareng Salim, muter kota Batawi, raramena nu dijugjug, Pacinan Kongsi Besar, trus ngaler ka Pintukecil, di Golodog, mapay-mapay toko loak.

Jang Salim teu weleh heran, leumpang barina jeung mikir, wireh sapanjangna jalan, sajero kota Batawi, toko beres ngabaris, gedong-gedong nu aralus, diparulas barodas, teu aya hiji Pribumi, nu ngeusian gedong toko nu ngajajar.

Toko cita wungkul Cina, katut congkrang parang-piring, barang-barang nu harerang, urang Jepang urang Keling, bangsa parabot beling, poci kaca nu lalucu, ngalayah barang pecah, selop alketip ngalilip, sutra-sutra buludru gilap harerang.

Kabeh wungkul urang Sebrang, anu dagang gararinding, capetang nawarkeun tandang, bangsa urang nu ngabanding, jadi bujang jeung kuli, rajeun dagang wungkul nanggung, buburuh ngarah murah, balantik ngarah saeutik, ngan saukur ngawarung lulumayanan.

Dadasar di tengah pasar, ukur soto sate kopi, lalab rumbah bangsa murah, kadaharan nu rarudin, lamun di gedong cicing, purah nyapu ngurus lampu, jadi jongos ngawula, jadi mandor jadi kusir, Ujang Salim teu weleh pikirna heran.

Mikiran naon sababna, Pribumi nu wungkul miskin, nu kaya anu ngumbara, Ujang Salim mikir deui, dina sajero ati, boa urang ge nya kitu, sakur nu ngumbara mah, mariang ka nagri Asing, meureun kaya, palinter rea hartana.

Tapi henteu meunang beja, urang Jawa anu indit, ngumbara ka tanah Sebrang, nu saperti urang Asing, di dieu nu caricing, marukti rea nu cukup, ari urang Jawa mah, bejana ngan jadi kuli, jadi jongos tukang kuda kuli kontrak.

Jang Salim panjang mikirna, sabab-sababna ditungtik, tapi weleh teu katalar, ku Salim acan kapikir, ti Glodog tuluy indit, [ 56 ]jeung Cep Tarlan naek setum, Gambir anu diseja, ka gedong gajah pelesir, rek ngajajah ngabuktikeun beja tea.

Caturkeun bae geus datang, ka lapang Gambir geus tepi, Jang Salim heran nu aya, jauh ti panyipta ati, dina waktu keur tadi, ngadaweung sakeudeung nangtung, ningal madahab papat, molongpong taya pipinding, nu katingal tanah lapang lega ngemplang.

Jukutna anyar dicacar, beresih bangun lalecir, hejo kawas dina gambar, nyacas awas katingali, cai ibun nu meting, dina jukut masih nyangkrung, katojo cahya surya, tinggalebyar tingkaretip, ku Jang Salim diwangwangna tempat perang.

Hawar-hawar katingalan, ti tungtung ka tungtung deui, abrulan nu pelesiran campur awewe-lalaki, siga golek laleutik, istri ngaranggo kukudung, ngagebay baju panjang, katingalna tingkilitik, saputerna ku Salim lapang ditingal.

Resmi resep titingalan, ningal gedong beres baris, awas nyaracas barodas, ningal ka wetan ngajegir, gareja gede resmi, nyungcung siga pisan gunung, lebah Pajambon pisan, pepentolna katingali, siga kurung japati di awang-awang.

Sanggeus lila ngadaweungna, Salim jeung Tarlan arindit, arasup ka gedong Gajah, nu nongton pinuh pabuis, nu asup anu bijil, ma’lum dina poe Minggu, meunang dangdan garandang, campur pameget jeung istri, bangsa Cina, Jawa, Arab jeung Walanda.

Anu kawit diasupan, ku Cep Tarlan reujeung Salim, ngajugjug ka kamer emas, berlian inten widuri, Salim ningalna telik, hiji-hiji teu kalarung, Jang Salim leuwih heran, ningal barang rupi-rupi, nu marahal puluhan rebu regana.

Tempatna lomari kaca, neundeunna diatur rapih, hiji-hiji dinomeran, asal ti Lombok ti Bali, ali henteu pahili, ngumpul bangsa emas wungkul, berlian tinggalebyar, campur jeung berlian deui, aya anu gede kira opat karat.

Barang kabeh wungkul emas, dudukuy katut jeung bedil, pohporna disaput rapat, dimataan tingkaretip, jeung sajabana deui, hese lamunna dijantur, sakabeh kaayaan, disiga-siga ku Salim, dipapande siga di sawerga loka.

Ti dinya tuluy kaluar, sup ka kamer sejen deui, ningal rupa[ 57 ]rupa barang, ti Niew Guinea nagari, dijieun tina kai, tina jukut bulu manuk, parabot rupa-rupa, buatan jalma bihari, anu acan jauh deuleu loba luang.

Sakabeh kamer dipapay, ditenjoan reujeung titi, sarta dibaca merekna, Jang Salim teu kendat mikir, di tempat arca lami, di dinya ngadaweung nangtung, nitenan rupa arca, ku Salim dirupi-rupi, peta-peta polah sahiji hijina.

Aya siga nu keur tapa, numpi bangun nu keur nyepi, katara rupana sepa, keur ngeker napsu jasmani, aya nu eukeur mikir, candukul bangun tapakur, ngiker-ngiker panalar, ngagambar raga sajati, ngaheningkeun cipta sajatining tunggal.

Siga nu babadamian, ulama micatur ilmi, siga aya nu keur tandang, bangun nangtang perang tanding, peta sahiji-hiji, dilarapkeun disusurup, beres anu ngajajar, siga nu eukeur perhadring, keur nguruskeun pernata tata nagara.

Kacatur bae lamina, Salim hantem mundar-mandir, mapay saputerna kota, Batawi Mesterkornelis, unggal poe teu cicing, lilana enggeus saminggu, nu jadi panganggeusan, meh sapoe pake ulin, Tanjung Priuk mapay-mapay palabuan.

Dumeh ku kakara pisan, ningal laut kapal-api, turug-turug keur sedengna, di palabuan keur heurin, kapal nu datang indit, rea kapal nu balabuh, jalma pasuringkaban, campur awewe-lalaki, anu mapag jeung nu nganteur rek balayar.

Brongbrang rame sora barang, muat ngabongkar pabeulit, pating gareret kerekan, kuli-kulina pabuis, digawe cukah-cikih, nu ngagotong nu ngagusur, mandorna paparentah, hohoak jeung gudag-gidig, tinggurudug wara-wiri lori barang.

Salim nu aya ngan heran, ningal rupa kapal-api, teu eureun-eureun hatena, ka urang Eropa muji, pinterna leuwih-leuwih, Jang Salim ngan bati ewuh, ningal paparabotan, jeung pakakas mesin-mesin, nu ngentengkeun jeung ngencengkeun pagawean.

Ceuk Salim ka Encep Tarlan, ari batur pinter teuing, naha ari bangsa urang, acan aya anu mikir, saperti urang Asing, urang Eropa nu punjul, ngulikna kapinteran, nyieun rupa-rupa mesin, parabotan nu aralus jeung Karuat.

[ 58 ]Ari seug buatan urang, ngan ukur sahid jeung sair, sabangsa anyam-anyaman, paling negtog ninun samping, kitu oge meh leungit, kadieuna beuki mundur, lain nambahan rea, rasana geus gampang meuli, nu geus jadi perbuatan sejen bangsa.

Lamun henteu dileukeunan, buatan urang Pribumi, kabeh karajinan urang, ku sejen bangsa kalindih, Pribumi tambah miskin, beuki susah nyiar untung, tungtungna bangsa urang, wungkul jadi tukang kuli, anu kaya cumah wungkul sejen bangsa.

Tuh tingal geura Cep Tarlan, Salim bari nunjuk kuli, nu keur nyered peti barang, rupana cape teh teuing, nyeredna make tali, disangkehkeun kana punduk, siga kuda kareta, teu make baju buligir, mandi kesang cipruk saluar awakna.

Salim semu anu welas, ka Tarlan ngomong ngecewis, geura ku Encep manahan, bangsa urang anu kuli, sabangsa eta pasti, di urang puluhan rebu, nu buruhna teu pira, teu leuwih ti lima ketip, nu sakitu ngaluarkeun tanagana.

Turta lain ngabelaan, wungkul keur diri pribadi, bela ka anak-bojona, anakna can puguh hiji, kumaha bisa mahi, mun anakna dua-tilu, sumawon nyesa tea, teundeuneun pikeun di ahir, salawasna hirupna nandang sangsara.

Teu aya peta mikiran, seubeuh dahar ngeunah cicing, beda reujeung sejen bangsa, usaha bawaeun balik, pikeun nyenangkeun ati, di nagrina genah matuh, ku Cep Tarlan kamanah, sakumaha omong Salim, ngaleketey pikirna bati karunya.

Jang Salim tambah kagagas, nu aya reuwas jeung inggis, inggis sieun mendak tiwas, paur batan maut hinis, bangsa urang pabuis, sok sieun hatena kawus, ku lantaran teu kuat, nandangan lara jeung miskin, kasusahan mun teu pisan disoreang.

Jang Salim kitu pikirna, bari nangtung di basisir, nenjo ka tengah lautan, mikirna terus jeung ati, bener lahir jeung batin, boga piki hayang nungtun, tina kaprihatinan, angkeuhna hayang ngajait ngahudangkeun ti laut kamasakatan.

ASMARANDANA.

Keur watir katambah ketir, tengah laut hawar-hawar, [ 59 ]katinggal layarna meber, parahu keur barang siar, pada mangsangkeun mayang, katingalna tingarampul, kaombak-ombak ku lambak.

Bangun nu erek tibalik, hate Salim remen nyeblak, risi parahuna tamplok, ningal laut ngaplak-ngaplak, matak waas baluas, katingalna semu paul, kelar siga ningal gambar.

Ningal layar bulak-balik, wantu ku angin katebak, parahuna luak-leok, nyuruwuk kawas bayawak, lambak anu nareumbag, kana dek tembok ngababuk, muncratna pating borelak.

Tarik angin ngadalingding, kawantu taya hahalang, ka unggal madahab plungplong, Jang Salim rada hariwang, hatena tambah lewang, diwangwang di alam suwung, alam padang poe panjang.

Diwangwang ngahudang eling, ka sakur nu geus harilang, Jang Salim sakeudeung melong, kagagas tambah kasuat, ras ka rama nu wapat, cipanonna meh nyurudut, nahan kasedih teu kuat.

Angin laut waktu burit teu beda jeung angin barat, karasana panas nyebrot, rieut lain matak sehat, campuh jeung sora lambak, sorana pating geledug, Ujang Salim ngadak-ngadak.

Rieut hulu panas tiris, awakna karasa panas gura-giru balik bae, duaan jeung Encep Tarlan, sadatangna ka imah, Jang Salim terus ngaringkuk, ngadegdeg saluar awak.

Ngedeng dina salu awi, bari ngahodhod nirisan, bangkuna munggah ngarekot, marurung bari sasambat, nyurucud cipanonna, inget ka rama ka ibu, nu hilang jeung anu anggang.

Sasar barina jeung ceurik, ngangres ngenes jeung nalangsa, lantaran jauh jeung kolot, teu aya nu ngamemenan, nu ngupah ngusap-ngusap, sasambatna uba-ibu, Cep Tarlan welaseun pisan.

Gudag-gidig naheur cai, Salim henteu dijauhan, ngabelaan soson-soson, diusapan dipencetan, sarta jeung diupahan, bela saperti ka dulur, ceuk Encep Tarlan wayahna.

Moal lila cageur deui, adatna anu anyar mah, lantaran ku hawa kaget, turug-turug kalilaan, di Tanjung pelesiran, asup hawa angin laut, teu ara katutuluyan.

Ukur sapoe-sapeuting, lamun geus kaluar kesang, mokaha tinangtu hade, Salim beuki gegerungan, ku Tarlan disimbutan, [ 60 ]dirurub ku dua sarung, wantu taya kaen panas.

Sanggeus Salim diaspirin, mulai enggeus manasan, kesangna geus luut-leet, isukna ngarasa senang, ngan kari lalesuna, can mirasa dahar nginum, kacaturkeun hiji mangsa.

Encep Tarlan reujeung Salim, duaan babadamian, geringna geus rada hade, ceuk Salim Encep kumaha, wireh urang ayeuna, di dieu leuwih saminggu, acan nyiar pagawean.

Lamvun cicing lami-lami, abdi teu gancang usaha, abdi mah sesah geus tangtos, upami bekel geus beak, kumaha barang teda, benten jeung Encep nu matuh, nyasat di ibu jeung rama.

Ari abdi mah nunggelis, lamun nganggur kalamian, abdi langkung tampiraos, isin ku ibu ku rama, di dieu lami numpang najan rama sareng ibu, lilah teu majar kumaha.

Ngan abdi bae nu isin, menggahing ku margi eta, mun abdi geus jagjag sae, bade ngawitan ihtiar, ngilari padamelan, sugan pareng aya untung, di mana bae nu aya.

Ayeuna abdi geus wani, ider-ideran sorangan, moal kantos sareng Encep, kawantos abdi geus terang, tempat hiji-hijina, jalanna moal kasarung, margi ku abdi digambar.

Sinareng sugan kapanggih, abdi sumeja neangan, jalma nu kapungkur amprok, basa di Karawang tea, anu jangji ka urang, sanggup anjeunna rek nulung, manawi bae kapendak.

Walonna Tarlan ka Salim, sukur upama kitu mah, ngan pesen kahade bae, upama leumpang sorangan, ulah erek balangah, kawantu di tempat ribut, bisi aya kuma onam.

Balik ulah burit teuing, bisi beakeun setumtram, jadi kudu rea ongkos, mun rek micik kudu leumpang, jeung deui utamana, eta nu dibawa buku, ku Salim kudu tulisan.

Ngaran reujeung tempat cicing, ngajaga bisi cilaka, teu kitu urang teu nyaho, jadi gampang ngabejaan, puguh nu diteda mah, muga salamet rahayu, sarta meunang pagawean.

Tah sakitu pesen kuring, poma Salim ulah salah, reujeung ulah luad-leod, lamun balik nyanyabaan, ulah ka mana-mana, lamun Alim uprak-apruk, tangtu meureun kuring melang.

Kawuwuhan meureun kuring, keueung mun jeung Alim pisah, euweuh pibatureun ngomong, ari babakuna melang, lantaran [ 61 ]Alim nenggang, teu acan boga kawawuh, sumawon baraya tea.

Ari kuring mah pribadi, rek nunggu jangjina mamang, titah nunggu heula bae, kacatur bae enggalna, Salim sanggeusna jag-jag, saban poe bae ngapruk, ngaprak nyiar pagawean.

Nyiarna suhud jeung wani, ka unggal tempat dipapay, saban toko kantor-kantor, pabrik reujeung gudang-gudang, teu aya nu kaliwat, Batawi Tanjungpriuk, Mesterkota Tanah-abang.

Tapi weleh henteu manggih, toko kantor henteu nampa, panggawena cukup kabeh, pabrik reujeung gudang-gudang, taya nu lowongan, ngiderna campleng saminggu, Jang Salim ngan kantun susah.

Hiji waktu Ujang Salim, tas ngaprak ider-ideran, tuluy ngareureuhkeun cape, di gedong pendem ngeureunan, Norbek deukeut paketpar, paniisan anu baku, muka keur sagala bangsa.

Tempatna resmi beresih, wantu kebon dipiara, saputerna cai ngocor, Ciliwung nu ngurilingan, malah aya mandorna, nu purah ngurus ngabaku, nu miara patempatan.

Tatangkalanana baris, tiis henteu aya panas, kalinduhan ku kakayon, kakaian nu geus lawas, laluhur ngarampidak, di handapna linduk iuh, pantes taman paniisan.

Butbat jalan nu laleutik, keusikna kawas diayak, pacampur jeung meunang mekprek, ngaplak katingal marakbak, sisina dipelakan, ku jukut anu aralus, papak wantu beunang mangkas.

Jukutna bersih bulening, unggal poe disapuan, kawas pramedani bae, beunang pake kekedengan, handapeun kakayonan, nu linduk sadia bangku, baku pikeun paniisan.

Salim dina bangku niis, nenggang ngahaja sorangan, ngadaweung bari jeung mencrong, madepna ka jalan besar, ningal nu lalar liwat, diukna sisi Ciliwung, jauh ukur hawar-hawar.

Ningal setum mundar-mandir, kahar anu tingkalalar, waktuna keur tengah poe, panonpoe keur manceran, meujeuhna papanasna, panas campur jeung kekebul, katingalna tingborelak.

Jang Salim ngadaweung mikir, buligir jasna dibuka, bari dina bangku nyender, sahandapeun kakayonan, ngarasakeun ni’matna, hawa di nu linduk iuh, tiisna ngahudang rasa.

Angin leler ngahiliwir, nebak kana kakayonan, daunna [ 62 ]aroyag kabeh, raos asa dikepetan, daunna tingarulang, ngulangan nu eukeur bingung, bangun anu ngajak mulang.

Jang Salim mikir ras eling, lampahna nu geus disorang, lilana dalapan poe, ngider nyiar pagawean, teu acan beubeunangan, pikir Salim wuwuh ewuh, pijalaneun nya lumampah.

Reuwas pabaur jeung inggis, sieun pinanggih sangsara, tina acan meunang gawe, sedeng bekel geus meh beak, dipake leuleumpangan, meuli sangu ongkos setum, muter sakuliah kota.

Dahar unggal poe meuli, di warung di jalan-jalan, mun balik ngan ngadon sare, Salim boga rasa era, numpang geus kalilaan, sungkan dicukup ku batur, mun teu meuli ku tanaga.

KINANTI.

Jang Salim ras deui emut, ka ibu anu di bumi, wireh sakitu lawasna, geus satengah bulan leuwih, ka ibu acan nyuratan, sadatangna ka Batawi.

Jang Salim bati melenguk, ka ibu teu petot eling, sumawonna ka Salamah, inget ti beurang ti peuting, salempang pake kamelang, sok remen pisan kaimpi.

Kaimpi riung mungpulung, ngariung di tengah bumi, eukeur nyieun cocooan, candukul bari badami, Salamah nu ngaguntingan, kertas kembang rupi-rupi.

Jang Salim nu ruat-raut, nyieun gagangna ku awi, ibuna nu ngarapetan, kertas kembang rupi-rupi, dijadikeun kaulinan, babarengan beurang-peuting.

Ras inget tambah ngaheruk, cipanon nyurudut bijil, kagagas tambah baluas, dipikir katambah ketir, risi ibu henteu damang, Salamah kumaha teuing.

Ujang Salim deui ngemut, sangkan gancang meunang hasil, ku Jang Salim diwawaas, lamun enggeus meunang gajih, ngabejaan ka ibuna, sakalian barang kirim.

Jang Salim ngadaweung bingung, ka mana deui nya indit, kabeh tempat pagawean, kantor dines partikulir, ku manehna geus dipapay, Salim banget susah ati.

Tuluy Salim ngodok saku, nyokot loket milang duit, hayangeun nyaho sesana, seja rek diapik-apik, bisina kaburu beak, [ 63 ]samemehna meunang hasil.

Barang duitna diitung, kari tilu perak deui, Salim ngadaweung mikiran, ngomong sajeroning ati, ieu duit tilu perak, sapuluh poeeun deui.

Lamun dipakena tangtu, sapoena tilu picis, keur ongkos-ongkos jeung dahar, tapi kudu leuwih apik, mun aing beak ihtiar, nyiar gawe henteu manggih.

Erek nyoba sugan payu, nyieun kaulinan deui, diiderkeun ku sorangan, duit ulah beak teuing, kudu nyesakeun keur modal, malar mapat hakan aing.

Ras deui Salim melenguk, mikir sajeroning ati, lamun teu payu dagangan, meureun aing jadi rugi, cape gawe modal beak, mun rugi kumaha aing.

Tangtu aing moal nyatu, boa kalaparan aing, rek menta-menta ka saha, tungkrang-tongkrong henteu wani, erek balik aing era, jeung euweuh keur meuli karcis.

Jol deui pikir nu kukuh, ngomong sajeroning ati, naha aing kawas jalma, anu leutik burih teuing, naha kumaha gorengna, lamun aing kuli ari.

Tinimbang aing teu nyatu, atawa reujeung musapir, macul nanggung dilakonan, sanajan ngajual cai, pasti aing moal era, tangtu nyiarna babari.

Jang Salim pikirna kitu, hantem dibulak-balik, sarta geus tetep pikirna, hatena gede teu gingsir, ngadaweung bari ngawangwang, pilakueun nu di ahir.

Harita geus pukul tilu, Ujang Salim acan balik, seneng nyenangkeun ni’matna, angin anu ngahiliwir, bari neuteup sisingaan, jeung arca beusi ngajegir.

Anu dina pilar nangtung, siga gambar widadari, ngajega meber jangjangna, barang eukeur mencrong tigin, tukangeun ngadenge jalma, mere salam ka Jang Salim.

Salim kagetna kalangkung, bari jeung ngareret malik, sarta ngajawab salamna, urang Jawa segut ginding, tuluy diuk rerendengan, urang Jawa nanya manis.

Ngomongna basa Malayu, nanya tempat tinggal cicing, jeung nanyakeun pagawean, ku Salim diwalon manis, [ 64 ]diterangkeun sanyatana henteu dipandang-dipinding.

Yen Jang Salim masih nganggur, nyiar gawe acan manggih, urang Jawa cacarita, manehna ge kitu deui, nyaritakeun lalakonna, sarua jeung maksud Salim.

Ditungtungan menta tulung, ngomongna jeung lengas-lengis, nyaritakeun kalaparan, reh ti isuk acan manggih, henteu pisan dadaharan, Jang Salim welaseun nguping.

Tuluy Salim ngodok saku, sok dibere dua ketip, semuna bungaheun pisan, ngomongna rea ngecewis, ku Salim teu dibandungan, omongna rea teu uni.

Tuluy bae Salim nangtung, permisi indit rek balik, dina sajeroning leumpang, manehna teu eureun mikir, tata peta eta jalma, lantaran wani musapir.

Tur sakitu gagah segut, pakena alus jeung rapih, digade aya hargana, lamun palebah di aing, moal wani kikituan, satungtung aya pangaji.

Kajeun beak samping baju, dijual melaan peujit, jeung menta mah asa hina, aing kitu acan wani, kajeun ngorbankeun tanaga, dibelaan kuli ari.

Salim pang ngomongna kitu, lain nyacad anu tadi, malah mah welaseun pisan, iklas mere dua ketip, ngan paneda keur manehna, ulah ngalakon musapir.

Sadatangna Salim nyatur, sakur lampah nu kapanggih, ngabuih ka Encep Tarlan, kacatur isukna deui, isuk-isuk Salim mangkat, sumeja ihtiar deui.

Samemehna nu dijugjug, dipaju sakali deui, jiarah ka Luar-batang, neda sapaatna wali, maksudna anu diteda, wireh eukeur peteng ati.

Malah-mandar hasil maksud, meunang pitulung Yang Widi, kana jalan bebeneran, kana tingkah laku diri, wireh keur nandang kasusah, malar dicaangkeun ati.

Geus jarah tuluy ngalantung, henteu gura-giru balik, resep neuleu anu lintar, sinyoh-sinyoh nu pelesir, bari jeung paparahuan, nya eta di laut leutik.

Nu ngamuara ka Tanjung, Salim leumpang mapay sisi, trus ngidul ti Pasarikan ningal polah nu arulin, rupana budak [ 65 ]sakola, keur lintar bari pelesir.

Kawantu di poe Minggu, sinyoh-sinyoh geus maranti, biasa aya sewaan, nyaeta parahu leutik, pelesir paparahuan, ngaboseh bari ngarawih.

Parahuna tingsuruwuk, dibarung ku sora suling, sora hitar jeung biola, sora siter jeung mandulin, rupa-rupa polah budak, bari heureuy tingcikikik.

Aya sahiji parahu, kadeuleuna matak risi, ditumpakan ku tiluan, polahna teu daek cicing, turug-turug nu tumpakna, lain barudak laleutik.

Sinyoh galede jarangkung, nu hiji sami jeung Salim, malah anu duaan mah, ti Salim teh rada leuwih, budayut gede awakna, nu hiji nyekel mandulin.

Anu saurang ngarungkup, di tengah parahu cicing, ti hareup nu ngabosehna, bari ngawihan mandulin, parahu gagaleongan, semu kabeuratan teuing.

Angin gede ngagelebug, parahu nengah nyiriwik, barang sinyoh nu keur lintar, ngalungkeun heurap ka cai, nincak parahu sisina, lung heurap terus tibalik.

Parahuna trus kalebuh, sinyoh tilu tingbuncelik, di cai kekelebekan, ngarojay muru ka sisi, sinyo anu panggedena, teu bisa polah sakali.

Eukeur mah awak budayut, reujeung kawuwuhan deui, kabeungbeuratan ku heurap, pageuhna nyangreudna tali, mangrod pigeulanganana, sinyo burial-buncelik.

Jang Salim lat henteu emut, kana dirina pribadi, gusat-gesut ngudaran jas, ngudar iket reujeung samping, kampret mah henteu kabedag, tina kaburu ku watir.

Tuluy bae tuturubun, dicalana ngojay tarik, muru nu aya di tengah, nu duaan acan nepi, masih kene ngararojay, geus lalimpeu wantu tebih.

Sadatangna Salim tuluy, cangkengna disangkeh gasik, tali heurapna diudar, dibawa ngojay ka sisi, anu duaan kaudag, Salim ngojay leuwih tarik.

Nu hiji enggeus katulung, sok digolerkeun di sisi, Ujang Salim teu lelada, malangkeun maneh ka cai, rek nyusul anu duaan, [ 66 ]nu pandeuri geus Kacangking.

Dibawa ka sisi tuluy, anu katilu geus tepi, henteu kosi ditulungan, datangna bareng ka sisi, kabeh geus aya di darat, Ujang Salim gusak-gasik.

Ngaburu nu leuwih ripuh, anu pangheulana tadi, dirampa euweuh napasan, bayah kaasupan cai, tapi badanna mah panas, ku Ujang Salim kaharti.

Gugup sarta gesut-gesut, bajuna sinyo ditarik, ngabuligir geus dibuka, ku Salim disina malik, dipangku sina nangkuban, sirah malieus ka gigir.

Tuluy Salim tapak deku, dampal leungeun taki-taki, lalaunan direunteutan, tonggongna dibulak-balik, diurut-urut ka handap, sampe dua tilu balik.

Nurutkeun pituduh buku, pitulung ka nu balai, lila-lila tuluy napas, sinyoh nu ripuh geus eling, nu duaan enggeus jagjag, milu ngabantu ka Salim.

Nu saurang tuluy muru, ka baturna rek pupulih, sinyoh-sinyoh geus daratang, sarta bareng jeung pulisi, ngalingkung rea jelema, ngaburu anu balai.

Pulisi enggeus nelepun, supaya geuwat dikirim, kareta keur nu cilaka, harita can aya mobil, caturkeun bae geus datang, di jalan besar sayagi.

SINOM.

Nu cilaka geus diangkat, pulisi samemeh indit, ka Salim nanyakeun ngaran, reujeung tempat tinggal cicing, sinyohna kitu deui, nu duaan ngararangkul, ka Salim tatabean, narima kasihkeun leuwih, dituliskeun ngaran eujeung tempat tinggal.

Nu cilaka enggeus mangkat, dibawa ka rumah sakit, bareng jeung sinyoh nu dua, kacaturkeun Ujang Salim, saenggeusna tarapti, gancang indit buru-buru, rek nuluykeun lampahna, nyiar pagawean deui, udar-ider mapay nu acan kasaba.

Caturkeun di poe eta, ngiderna nepi ka burit, ngajajah ka unggal tempat, toko kantor nu laleutik, tapi taya nu nampi, ka Cina Walanda Juput, bui oge dijajah, ka tangsi jeung rumah [ 67 ]sakit, kantor setum listrik teu aya nu nampa.

Salim beak pangharepan, tetep hatena geus gilig, rek nuluykeun usahana, nyieun kaulinan deui, usaha nu maranti, keur waktu aya di lembur, Salim di Senen nyimpang, meuli peso reujeun gunting, saparabot biasa keur cocooan.

Kira-kira pukul opat, ti Pasar Senenna balik, leumpang henteu tutumpakan, sorangan bae ngadigdig, sajalan-jalan mikir, pigeusaneun jalan hirup, rupa-rupa ingetan, catur ka Mester geus nepi, wanci magrib ninggang dina waktu salat.

Sadatangna gagancangan, ka cai wulu jeung mandi, tuluy salat ngadep ngiblat, niat tartib salat magrib, salatna Ujang Salim, karasana kurang husu, sanggeus dua rakaat, asa-asa poho deui, sarakat asa geus dua rakaat.

Lantaran pikiran bingbang, ras kana piwuruk eling, wuruk ti guru ibuna, mun asa-asa jro ati, mun teu rek balik deui, asa geus dua geus tilu, cokot pang saeutikna, tuluy bae Ujang Salim, nu geus dua nyoktona nu sarakaat.

Dina sujud panganggeusan, jol deui narajang lali, asa enggeus asa acan, sujud nu kadua kali, Jang Salim sujud sahwi, catur salatna geus tutug, panjang macana dunga, neneda ka Maha Suci, dunga slamet reujeung dunga tulak bala.

Ceuk Tarlan kumaha beja, poe ieu aya hasil, jawab Salim luput sial, Jang Salim tuluy ngabuih, nyaturkeun lampah tadi, nulungan sinyoh tikunclung, dicatur ti awalna, nepi ka ahirna titi, Encep Tarlan bengong ngadenge carita.

Naha sinyoh urang mana, anu ditulungan tadi, jawabna Salim teu teurang, euceuk Tarlan salah teuing, naha kurang taliti, lamun Salim enggeus nulung, nyait tina cilaka, dua sinyoh baya pati, mun nyaho mah Salim menta pertulungan.

Salim menta pagawean, ka bapana nu balai, tangtu nulung moal salah, tina tarimana leuwih, coba lamun jeung kuring, ku kuring ditanya tangtu, angot mun bangsa pangkat, Walanda gegeden nagri, tangtu Alim meureun manggih kabunghan.

Pok deui Salim ngajawab, saur Encep leres teuing, yaktos kitu moal salah, pikir abdi waktu tadi, teu emut kana hasil, estu sajeroning nulung, teu malar kana upah, ngan tina bawaning [ 68 ]watir, jeung ngemutkeun wajibna kamanusaan.

Memang nya kitu kedahna, tutulung ka nu balai, nalangan ka nu keur susah, kalawan iklas panggalih, ibadah nu beresih, mun nulung ngarah buburuh, ngawulana ka dunya, lain ka Nu Maha Suci, anu kitu ibadahna teu sampurna.

Mungguh ku Nabi dicacad, mana ngaranna babakti, mun urang ngarah pangupah, sami bae sareng kuli, najan ngarah sawergi, mun ibadah nu dimaksud, eta oge teu beda, ngan ti dunya rada leuwih, nu sampurna sepi sagala pangarah.

Tur Gusti Nu Maha Akbar, sipat murah sarta asih, moal kersa nyulayaan, ka panggawe hiji-hiji, kitu pikiran abdi, sawangsulna abdi nuhun, ka Gusti Nu Kawasa, marin pitulung ka abdi, dikersakeun nulungan jalma cilaka.

Hal eta Tarlan teu jawab, pok nanya nu sejen deui, kumaha Alim ayeuna, wireh gawe henteu manggih, kumaha maksud ati, Salim walon semu ewuh, ngarenghap napas panjang, susah pabaur jeung sedih, diri abdi bati ewed pipikiran.

Kumaha atuh petana, asa bararingung teuing, abdi jadi sawan kuya, ari abdi bade balik, asa arera teuing, katambah bekelna putus, ongkos sepur teu aya, lamun pareng maksad abdi, sarta rama masih kersa katumpangan.

Kalawan galihna iklas, reh tangtos nyesahkeun abdi, wireh nu bade dimaksad, abdi sumeja balantik, cara di lembur abdi, anu biasa kapungkur, ngadamel cocooan, sugan pareng aya milik, kenging bati pikeun sakalieun teda.

Supados salebet numpang, sakadar mung ngadon meuting, ulah nyesahkeun ka rama, teda mah meser pribadi, ngan tangtos damel abdi, balatak barala tangtu, boa teuing ibu mah, meureun pusingeun ningali, margi eta ku Encep unjukeun heula.

Upami kawidian mah, kajeun abdi lamu wengi, di dapur abdi sorangan, bari didamel ti peuting, abdi nu beberesih, beberes sarta sasapu, lamun digawe siang, abdi kajeun rek di pipir, Ujang Salim ngomongna jeung dumareuda.

Cep Tarlan welaseun pisan, cumalimba jeung ngalahir, ih ku perkara eta mah, Alim ulah jadi pikir, emang embi geus pasti, [ 69 ]galihna moal teu luntur, balikan lamun pisah, Alim ti dieu rek indit, tangtu meureun ngajadi kamemelangan.

Rek numpang, numpang di saha, henteu aya kadang wargi, kawuwuhan henteu boga, jamak ulah jadi ati, poma ulah rek risi, jadi tampa raos bingung, perkara barang dahar, najan teu nyukup pribadi, kuring oge piraku ka Alim tega.

Kajeun kuring susumputan, batan Alim peurih peujit, belaan sahuap sewang, kuring seja bela pati, najan hancengan kuring, didahar duaan cukup, tina ku sabab eta, Alim ulah leutik ati, itung-itung diajar sabar tawekal.

Reujeung bae susuganan, pareng papanggih jeung milik, Alim bari jeung nungguan, anu bareto geus jangji, dina kareta api, ka urang nu arek nulung, kapan geuning bejana, mimiti tambah persunil, bulan hareup ayeuna acan abis bulan.

Jang Salim bungaheun pisan, ngadenge Tarlan pepeling, hate Salim rada janglar, gawena enggeus mimiti, ngadeluk saban peuting, barang jieunna di dapur, gawena getol pisan, teu ngingetkeun pusing, rujit, tampolana sapeuting teu sasarean.

Sorena sok dibaturan, ku Tarlan bari jeung ulin, mun Tarlan geus sasarean, ngadekul bae pribadi, isuk-isuk geus rapih, beberes sarta sasapu, memeh indit -ka pasar, mangnimbakeun heula cai, minuhan bak keur siram nu ditumpangan.

Lamun beunangna geus rea, kacooan rupi-rupi, tuluy dibawa ka pasar, didagangkeun ku pribadi, dipanggul make awi, diselap-selapkeun rancung, Salim pakeanana, niron barudak Batawi, dikopeah dikampret sarung polekat.

Manehna mimiti dagang, ka pasar Mesterkornelis, pikirna keur percobaan, reujeung sajabana deui, lamun ti Mester indit, ka pasar-pasar nu jauh, ngorot-ngorot ongkosna, sanajan batina leuwih, kacangkolong ku ongkos-ongkos di jalan.

Salim mimiti ngajual, di pasar Mesterkornelis, tuluy diitung batina, Jang Salim melenguk mikir, leuwihna tina jinis, ukur cukup pikeun nyatu, taya pisan sesana, tapi henteu leutik ati, susugannan bisa maju ka hareupna.

Kaduana katiluna, weleh henteu bisa leuwih, malah mah rada ngurangan, barang dina hiji peuting, bari ngadekul mikir, [ 70 ]maksudna rek masar jauh, ka Senen jeung ka Kota, Salim teu eureun sapeuting, jongjon nyieun kacooan loba pisan.

Tikel dua kali rea, tina panggagawe sasari, isuk-isuk Salim miang, muru setum nomer hiji, ku Salim teu dipikir, mun manehna naek setum geus tinangtu dicegah, jujul di jero dareksi, digolerkeun heurin sarta tangtu ruksak.

Kaliasan henteu salah, Salim bati bingung ati, barang rek naek ditahan, tuluy Salim mikir deui, bo lamun kieu aing, pinasti kudu mamanggul, leumpang sajalan-jalan, ka Senen reujeung Batawi, lalakonna anu sakitu jauhna.

Pikir Salim tetekadan, erek maksa bae indit, pikirna sugan di jalan, payu sautak-saeutik, balikan meureun rugi, ku ongkos mun naek setum, tidinya Salim mangkat, leumpangna rada ngadigdig, sajajalan teu kaur eureun-eureunan.

Nu ngeureunkeun hiji dua, barudak anu mareuli, teu wudu aya meueusan, bisa meunang dua picis, ka Pasar Senen tepi, dikira pukul sapuluh, tuluy ider-ideran, rancung di pasar ngawingking, sanggeus ngider ti pasar ka pakampungan.

DANGDANGGULA.

Tanah Nyonya kampung Tanah Tinggi, ku Jang Salim sakabeh dipapay, ka Karamat kampung Pulo, terus ngaler ka Kepuh, pungkal-pengkol ka gang laleutik, najan nu acan terang, ku Salim dijugjug, ti Kepuh terus ka girang, mapay-mapay sisi kali rada leutik, terus ka Kampung Utan.

Kampung Utan memang tempat sepi, Ujang Salim bigeug lebah dinya, bingung neruskeun lalakon, kira geus pukul tilu, Ujang Salim sakeudeung mikir, susah teu nyaho jalan, brasna anu terus, nu nyorang ka jalan besar, lebah pisan kali nu anyar dikali, Salim ngadaweung lila.

Kabeneran jol jalma ngadigdig, anu dagang nanggung kadaharan, kukuluban kacang jagong, kentang jeung kulub suuk, dieureunkeun Jang Salim meuli, jagong jeung kulub kentang, ari nu dimaksud, cumah tamba era nanya, ceuk Jang Salim numpang tanya jalan ini, bang! terusnya kamana.

[ 71 ]Kamayoran jawabna teu leuwih, ngan sakecap tuluy bae mangkat, Jang Salim trus bae ngulon, maksud anu dijugjug, Kamayoran pituduh tadi, Salim sajero leumpang, jro hatena bingung, culang-cileung semu bimbang rurat-reret ka kenca-katuhu nilik, bisi aya simpangan.

Henteu kaur laju balas malik, rundag-randeg pikirna hariwang, pikir Salim henteujongjon, asa rek terus maju, asa-asa rek baik deui, mundur deui ka tukang, balik kana urut, ngarandeg deui mikiran, lieuk malik nenjo jalan urut tadi, diwangwang rada lewang.

Lalakonna reh parantos tebih, Ujang Salim neruskeun lampahna, tetep terus maju bae, leumpangna rada segut, digidigkeun lantaran risi, sieuneun kaburitan, kawuwuh geus mendung, poek erek datang hujan, waktu eta kira pukul lima leuwih, satengah geus reupreupan.

Beuki jauh jalan tambah sepi, teu katingal aya pilemburan, sapanjangna kebon bae, sawo rambutan dukuh, sangka Salim tetep jro ati, naksir yen bakal nyorang, jalan besar lembur, ciri jalan nu ditincak, katarana lidig tapak wara-wiri, jadi jalan biasa.

Laju lampah Salim beuki tebih, panon mandeng ka nu rek disorang, hawar-hawar aya tembong, suhunan tingparentul, Ujang Salim bungah jro ati, pikirna kabeneran, rek nuju ka lembur, leumpang beuki gagancangan, ku lantaran hujan geus mimiti praspris, Salim satengah lumpat.

Pikir Salim bo cilaka aing, lamun aing hujaneun di jalan pinasti cilaka gede, tangtu dagangan cipruk, moal bisa kaarah deui, meureunan leeh beak, aing rugi tangtu, jeung kawuwuh masih rea, aya harga saperakeun oge leuwih, kitu Salim pikirna.

Ujang Salim jogjrog beuki tarik, praspris hujan geus tambah ngerepan, tonggeret ngear ngadenger, barung reujeung guludug, tinggurileng kilat di langit, poek beuki reupreupan, Salim tambah ewuh awak luut-leet kesang, tina cape balas leumpang reujeung mikir, sieun kalunta-lunta.

Beuki laju Salim beuki burit, ari prok teh manggih sisimpangan, jeung jalan nu rada gede, Salim ngadaweung bingung, [ 72 ]mana anu kudu dipilih, terus atawa nyimpang, mikir bari nangtung, tapi lamun aing nyimpang, acan puguh manggih lembur pikeun meuting, tinangtu kapoekan.

Leuwih hade terus lampah aing, rek ngajugjug lembur nu geus nyata, pikirna rek ngadon mondok, Jang Salim laju terus, sarta singkil ngudaran samping, tuluy pake niungan, barang nu dipanggul, barang satengahing jalan, ari breg teh hujan gede liwat saking, dibarung gelap dordar.

Tingburinyay kilat matak risi, Ujang Salim cipruk kabulusan, dagangan leeh sakabeh, Salim ngahodhod ripuh, alum nguyung bawaning sedih, ngan rada kabeneran, panonpoe surup, diganti ku cahya bulan, hawar-hawar caangna tembong saeutik, awas katingal jalan.

Ujang Salim maksa terus indit, leumpang alon henteu bisa gancang, lantaran leueur jeung jeblog, cipanonna nyurucud, ngeres ngenes jeroning ati, estu kanyenyerian, hujan deres terus, katambah Jang Salim heran, reh geus deukeut ka lembur tapi teu ngarti, teu ningal nyelak damar.

Nu disangka lembur ku Jang Salim sihoreng teh bet lembur astana, kuburan Cina sentiong, saungna nu parentul, disangka imah laleutik, Jang Salim barang datang, ngan bati ngaheruk, leuleus taya pangawasa, rarasaanana remek tulang sandi, gek diuk tengah jalan.

Babawaanana teu ditolih, pabalatak sakabeh raruksak, tina banget ngenes hate, ceurik mani ngagukguk, leslesan satengah teu eling, nyuuh kana tuurna, nyambat ka Yang Agung, masrahkeun jiwa jeung raga, gelap dordar hujan masih ngaririncik, ku Salim teu dirasa.

MIJIL.

Ujang Salim unghak-inghak ceurik, bari jeung cingogo, di nu becek katambah jeung poek, ngabangingik bakating nyeri, jeung ngarasa tiris, awakna rancucut.

Kabeh cipruk baju katut samping, gadona noroktok, saluarna badanna ngadegdeg, tina banget bakating tiris, kawuwuh [ 73 ]ti peuting, angin ngabadudud.

Karasana kana sirah using, rieut tingsaredot, eukeur lungse katambah jeung cape, reh sapoe muter teu cicing, ngider gidag-gidig, mapay mapay lembur.

Ujang Salim bingung leuwih-leuwih, ka mana pikeun los, badan cape karasana lungse, suku pegel panas jeung nyeri, Jang Salim ngaririk, ka kaler ka kidul.

Saputerna anu katingali, ngan wungkul sentiong, ngagurunduk, kuburan galede, nu geus terang tangtos tingali, tempat Tamansari, keur waktos kapungkur.

Masih leuweung teu acan dibasmi, ngan wungkul sentiong, estu tempat sepi sarta cebrek, saputerna astana baris, reujeung tangkal kai, galede laluhur.

Nu ngarang ge estu henteu ngarti, ngajadina anjog, pangsasabna los ka dinyana teh, padahal mun Jang Salim tadi, eukeur waktu manggih, simpangan di pungkur.

Lamun nyimpang henteu kosi tebih, enggeus tangtu tembong, Mangga Besar anu kasorang teh, jalan setum tangtu kapanggih, jauhna teu kosi, sapal kurang langkung.

Lamun terus henteu nyimpang deui, eureun di sentiong, terus bae jalan eta keneh, geus tinangtu Poncol kapanggih, tempat rame leuwih, bras ka Pasarbaru.

Ujang Salim ngadaweung jeung mikir, ka mana nya leos, boga pikir balik deui bae, mapay kali ka urut tadi, barang erek indit, teu kaduga nangtung.

Dipaksakeun dua tilu kali, sanggeus hujan orot, tatapina teu kaduga bae, tina banget leuleus jeung nyeri, badan panas tiris, nyengkab rieut hulu.

Salim beuki ngagarukguk ceurik, cipanonna ngocor, unghak-inghak cicing di nu poek, sasambatna ka Maha Suci, ka Tarlan ras eling, ka adi jeung ibu.

Aduh ibu henteu nyana teuing, abdi rek prihatos, nyana kieu tangtos sim abdi teh, moal enya ti lembur indit, jeung ibu patebih, meureun jongjon hirup.

Satadina abdi teh pang indit, tina ku hawatos, ningal ibu anu dugdag-degdeg, ngabelaan teda keur abdi, tisusut tibanting, [ 74 ]kangge sore-isuk.

Ahir-ahir geuning wuwuh tambih, nambahan prihatos, ngan paneda mugi-mugi bae, slira ibu aya di bumi, mun dugi ka pati, ku abdi dikantun.

Slira ibu ulah jadi galih, pasrah ka Yang Manon, aduh ibu lamun uninga teh, waktos ieu kasedih abdi, ibu mana teuing, ngangresna nya kalbu.

Moal henteu ragragan citangis, bakating hawatos, karaosna ku sim abdi oge, estu sedih nandang kanyeri, samar panjang hurip, mo beda jeung ibu.

Eh Salamah poma-poma teuing, geura boga jodo, keur gaganti bisi engkang paeh, ngurus ibu mangka gumati, Amah engkang titip, ibu bisi ngangluh.

Acan puguh bisa panggih deui, jeung engkang patembong, diri engkang sambung dunga bae, muga enok mangka prihatin, sing getol babakti, ka Gusti ka ibu.

Eh Cep Tarlan abdi nuhun teuing, ka Gusti Yang Manon, mugi-mugi kasaean Encep, sareng rama-ibu ka abdi, dibales Yang Widi, ku ganjaran agung.

Abdi samar bisa pendak deui, lamun abdi maot, cariosan indung abdi bae, tapi ulah rek kaget teuing, lampah nu prihatin, ulah dipicatur.

Saayana pakean sim abdi, nu dina torombol, ka pun biang dikintunkeun bae, keur nambah nyusur tanah abdi, ngan eta erloji, nu kedah dikantun.

Tanda soca keur Encep ti abdi, tawisna hawatos, sareng mugi-mugi slira Encep, ulah erek neangan abdi, moal rek kapanggih, bisina kasarung.

Sasambatna Salim matak watir, mun aya nu nyaho, moal henteu ngarakacak hate, turug-turug di tempat sepi, ti peuting keur jempling, saputerna kubur.

Nu kadenge wungkul sato leutik, soarana raong, bancet rame disadana recet, langgir kasir pating jarerit, kawas milu ceurik, bangun ngahareruk.

Hate Salim katambah nyelekit, Jang Salim ngarongkong, nyokot awi hareypeun ngagoler, anu dipapanggul ku Salim, [ 75 ]pikirna Jang Salim, sugan kuat nangtung.

Rek dipake iteuk pikeun indit, asup ka sentiong, dina saung seja ngadon sare, dagangan mah geus burak-barik, kertasna laleungit, rarangkangna wungkul.

Dicabutan kabeh ku Jang Salim, bayak geus lalocot, nu diarah ngan awina bae, sanggeusna maksakeun indit, kundang iteuk awi, ka saung bus asup.

Kabeneran aya saung leutik, wetaneun sentiong, jero kebon dibilikan rekep, Ujang Salim bungah teh teuing, nenjo salu awi, tuluy bae asup.

ASMARANDANA.

Salim bawaning ku tiris, katambah awakna nyongkab, huntuna munggah noroktok, tina bawaning teu tahan, muriang kaanginan, tuluy kana bangku nyuuh, satengah kurang ingetan.

Teu nolih ka baju samping, baraseuh teu diudaran, dina gagambang ngagoler, bari jeung haharegungan, nyambat ka Nu Kawasa, ka Salamah jeung ka ibu, sambatna kanyenyerian.

Waktu eta kurang-leuwih, jam sapuluh kira-kira, Jang Salim teu bisa sare, ngararasakeun awakna, panasna tambah-tambah, jeung halabhab hayang nginum, ku Ujang Salim ditahan.

Lantaran teu aya cai, rek neangan teu kaduga, Ujang Salim tambah lungse, leuleus taya pangawasa, leungit ingetanana, beuki peuting tambah ripuh, caturkeun bae isukna.

Pukul tujuh kurang-leuwih, anu boga kebon datang, nyampak Salim keur ngagoler, Salim teu beunang ditanya, ngan hantem bae sasar, tina panasna kalangkung, geus leungit ingetanana.

Patani welaseun teuing, tuluy mulang gagancangan, ka Sawah Besar rek rapot, ka wijkmester kampung eta, bujeng bae enggalna, Jang Salim enggeus katulung, ka rumah sakit dicikrak.

Tunda heula Ujang Salim anu nandang gering payah, di rumah sakit Golodog, kacaturkeun Encep Tarlan, poean Salim sasab, di hareup eukeur candukul, kira-kira pukul opat.

[ 76 ]Jol hiji Walanda sumping, ka Cep Tarlan mere hormat, omongna manis jeung alon, sigana Walanda menak, tegep kasep rupana, umurna satengah tuwuh, sumpingna reujeung putrana.

Sinyoh sarta make peci, cakep pantes pangadegna, peci sakola H.B.S., pok ramana teh mariksa, basa Malayu rendah, di buruan bari nangtung, pokna saya tumpang tanya.

Brangkali ada di sini, orang nama Salim tinggal, Cep Tarlan adab ngawalon, betul di sini tinggalnya, sekarang tida ada, tapi nanti datang tamtu, sekarang lagi jualan.

Walanda ngawalon deui, kalu datang saya minta, supaya dianya sore, suruh datang rumah saya, nomer lima di Kramat, jawab Tarlan bari unggut, baik nanti saya bilang.

Walanda enggeus arindit, cep Tarlan boga sangkaan, Walanda anu datang teh, enggeus tangtu moal salah, rek mere pagawean, sabab Salim geus cacatur, waktu nyiar pagawean.

Yen aya Walanda jangji, ka Salim erek nulungan, samalahan menta adres, Encep Tarlan leuwih bungah, siga eukeur manehna, geus ejegeler lumantung, ngarep-ngarep Salim datang.

Lieuk deui, lieuk deui, Cep Tarlan ningal ka jalan, ngarep-ngarep Salim tembong, nepi ka wanci reupreupan, Salim teu acan datang, pukul genep pukul tujuh, ambleng nepi ka isukna.

Tarlan leuwih ewuh ati, salempang kamemelangan, anu dipake sieun teh, reuwas sieun manggih tiwas, Tarlan dina peutingna, teu sare balas candukul, teu senang guling gasahan.

Kadua poena deui, ambleng nepi ka tiluna, campleng saminggu henteu jol, tambah heran jeung salempang, hatena tingsareblak, pikir Tarlan beuki bingung, ka mana geusan neangan.

Samar polah samar ati, Tarlan ngadaweung mikiran, ngalenghoy asup ka pangkeng, ningal papakeanana, Salim masih araya pikir Tarlan tambah ewuh, ngomong sajero atina.

Naha ka mana Jang Salim, rek nyaba henteu bebeja, nyangkana cilaka bae, lantaran pakeanana, lamun Jang Salim mulang, sanajan henteu cacatur, tangtu pakean dibawa.

Ras deui Cep Tarlan eling, nyangka Salim boa nyebrang, nyangka ku werek kagelo, leng deui Tarlan mikiran, satengah [ 77 ]teu percaya, pitaku Salim katipu, pijajauheun ka beunang.

Tarlan tetep jero ati, nyangkana kana cilaka, tuluy Tarlan kudak-kodok, pesakna baju disaksrak, neangan notisina, nu aya tulisan kampung, ngaran jeung tempat tinggalna.

Ari breh aya kapanggih, cep Tarlan nyeblak ngalenyap, ngedeng bari ngagelehe, baluas bawaning welas, paingan mun kitu mah, atuh saha nu cacatur, mun Salim meunang cilaka.

Moal aya nu wawarti, leuheung mun ukur cilaka, meureun bisa keneh ngomong, tangtu Salim cacarita, ngaran jeung tempat tinggal, tapi mun kageleng setum, anu terus ajal pisan.

Pasti moal aya hiji, jalma nu bakal bebeja, tangtu aing moal nyaho, Cep Tarlan boga pikiran, meakkeun panasaran, poe isuk rek diapruk, ngaprak ngungsi rek neangan.

Kacatur isukna deui, Cep Tarlan ngaprak neangan, muter teu ngingetkeun cape, ka unggal pasar dijajah, Mester, Senen jeung Kota, Tanabang terus ka Tanjung, sapoe jeput teu pegat.

Pikir Tarlan geus pinasti, mun eukeur dagang di pasar, tinangtu rancung katembang, mamanggul daganganana, Tarlan neanganana, unggal ningal rancung-rancung, disampeurkeun unggal budak.

Lain deui sejen deui, saban budak anu dagang, ditatanyakeun talete, sugan pareng babarengan, dibejakeun rupana, tatapi maksudna luput, taya saurang nu terang.

Bray beurang geus indit deui, muter tempat pagawean, sakur nu ngadegkeun gedong, ku Encep Tarlan dipapay, reh Salim geus bebeja, lamun geus sagala luput, rek kuli ari papaksan.

Luput weleh teu kapanggih, dijajah ka unggal kota, ngaprak saban-saban poe, unggal tempat raramean, teu kalarung disorang, susuganan aya tepung, atawa ngadenge beja.

Tarlan banget susah ati, ihtiar baek harepan, gawena melenguk bae, ka Salim banget nya welas, ku Tarlan diwawaas, bingung lamun tutup umur, ngabejaan ka ibuna.

Ibuna kumaha teuing, mun kurang narima kadar, aduh mana teuing bae, sanajan aing sorangan, tina enggeus karasa, bumelana Salim estu, ka aing taya hinggana.

Tarlan dina setum mikir, ngadaweung balik neangan, ti isuk [ 78 ]nepi ka sore, barang datang ka buruan, ka bumina mamangna, ramana geus celuk-celuk, bari nyepeng surat kabar.

Bangunna nu sumpeg galih, geura Elon ieuh baca, tah ku mamang nu dicoret, mamang henteu puguh rasa, ku Tarlan ditampanan, hate Tarlan oge ratug, henteu puguh rarasaan.

Di dieu henteu didangding, eusi uni surat kabar, sacerewelena bae, dipalar supaya terang, kieu dina unina, Tarlan maca bari diuk, sarta ngageter leungeunna.

Kecilakaan yang sanget ngeri.
Kemaren kira-kira pukul ampat sore di jurusan Manggabesar, ada seorang Bumiputera dikira umur 20 taun, dengan tida ketahuan asal mulanya telah tergiling oleh stoomtram, sahingga ancur kapalanya, sehingga susah akan dikatahui rupa mukanya.

SINOM.

Sanggeus Tarlan maca tamat, tungkul ngagarukguk ceurik, unghak-inghik henteu tahan, tina bawaning ku sedih, hatena teu sak deui, Salim enggeus tutup umur, kacipta ku Cep Tarlan, sakur tingkah laku Salim kumpul dina wawayangan Encep Tarlan.

Dicipta keur kagelengna, sirahna nu burak-barik, unghak-inghak tambah welas, seksekan munggah teu eling, ramana kitu deui, cipanonna nyalalangkrung, tina bawaning welas, galihna henteu sak deui, Ujang Salim geus nepi kana ajalna.

Sanggeus Tarlan rada janglar, ramana ngawalon manis, pokna kumaha petana, reh Salim nepi ka jangji, moal rek salah deui, ayeuna nyata geus puguh, urang boga tanggungan, bebeja ka Sukasari, ka kolotna wireh Salim enggeus ajal.

Ceuk Tarlan kantenan pisan, ngan mugi paneda abdi, ungel salebeting serat, ulah matak kaget teuing, jalaran acan sidik, najan panyangka geus kukuh, bok bilih kalepatan, kawantu teu aya saksi, anu nyata ngan nembe raratananana.

Tunda nu babadamian, nu keur mikir malar rapih, [ 79 ]kacaturkeun Nyi Patimah, nu aya di Sukasari, sanggeusna Salim indit, teu antara tilu minggu, Patimah carogean, ka Mas Lurah Sukasari, ku Patimah nu henteu pisan disangka.

Bakal jadijodo masang, lantaran sobatna dalit, Nyimas Lurahna geus ajal, geringna ngan tilu wegi, Patimah beurang-peuting, ka Nyi Lurah ngagugulung, malah samemeh ajal, pesenna, rido teh teuing, ka rakana malar Patimah ditikah.

Atuh lebah Mas Lurah mah, memang micinta ti tadi, ka Patimah waktu randa, katambah dipesen deui, bungahna leuwih-leuwih, ibarat bilatung lintuh, ninggang ka dage atah, atuh beuki gulang-guling, eukeur hayang katambah taya kakurang.

Patimah taya kasusah, buncir leuit rea duit, ibadahna tambah rongkah, baktina ka Maha Suci, ngingetkeun waktu tadi, estu tisusut, tidungdung, ngabelaan kasusah, ayeuna kapareng hasil dikabulkeun paneda anu tawekal.

Dasar jelema utama, napsuna henteu kalindih, luang lumrahna manusa, pikirna sok gancang lali, rea nu geus kabukti, mun meunang darajat unggul, tara inget ka tukang, marganing wiwitan tadi, unggah pangkat sok unggah deui adatna.

Malah nepi ka pot pisan, lali ka Nu Maha Suci, lain nyembah tambah rosa, babakti ka nu maparin, kitu mungguh nu sisip, teu ngimankeun ka Yang Agung, tapi mungguh Patimah, dasar jalma iman leuwih, tingkah laku satimbang reujeung elmuna.

Kacaturkeun hiji mangsa, Patimah eukeur lalinggih jeung raka papada bungah, malum nu keur silih asih, cacarios ngabuih, calik ngarendeng teu jauh, ngagedengkeun arotan, wadah lemareun ngabanding, kaleresan keur waktu hade poena.

Pasosore wanci asar, panonpoe sedeng lingsir, tiisna seger nerneran angin leler ngahiliwir, neumbagan kembang gambir, keur ligar seungitna mawur, kembang ros jeung ermawar, seungit munggah ngadanglingding, ngahudangkeun galihna anu maridang.

Nyerep padet wawangenna, minuhan pangambung bangir, Sumarambah kana bayah, bulak-balik dina getih, naratas kulit daging, ngahudang manah nu wuyung, nu keur papada bungah, [ 80 ]Mas Lurah mehmehan lali, kahudangkeun ku wawangen kekembangan.

Nyeblak kapincut ku wanda, Patimah anu keur linggih, ngambung kembang ’na sanggulna, matak nyuat ka panggalih, calikna meh ngalindih, beuki rapet antel tuur, Patimah jongjon lenggah, bari muter-muter sisig, tingborelak waosna nu nyacas bodas.

Ngadaweung bari ngamanah, galih ngait ka nu tebih, ka putrana nu ngumbara, wireh geus sabulan leuwih, ayana di Batawi, Patimah ngan bati ewuh, wireh teu kenging kabar, weleh ngantos-ngantos tulis, saban dinten diantosan taya datang.

Ku Mas Lurah ge kamanah, galihna nu eukeur sedih, nu ka giwang ku putrana, rakana pok nyaur manis, ngupahan saur lirih, Moh! engke di sasih payun, mun beres geus dibuat, pagawean kabeh rapih, jadi bae neang Salim sina mulang.

Sakalian engkang hayang, nyaho di nagri Batawi, itung-itung pelesiran, engkang ge melang teh teuing, mending, disana cicing, di dieu ulah pajauh, anggur sina diajar, ngolah tanah peta tani, urang coba ku urang dibere modal.

Sina macakal sorangan, berean bae sakali, akuan kebon sawahna, ambih jongjoneun mun cicing, Patimah walon ngiring, nyaur teu tinggal ti imut, nembongkeun tawis bingah, barang keur sami badami, rentang-rentang jalma nu ngajingjing barang.

Patimah galihna nyeblak, ningal tas torombol Salim, nyangka Salim tangtu datang, seug ngadeg bari ngaririk, kuli plat nu ngajingjing, barina jeung ngelek buku, nuju bumi Mas Lurah, Patimah ningalna telik, nyata sidik barang kagungan putrana.

Rakana ge milu cengkat, ceuk Patimah boa Salim, tapi barang kuli datang, sorangan tayanu ngiring, Patimah kaget leuwih, kulina ngasongkeun buku, pokna ieu bestelan, dongkap ti Mesterkornelis, diadresan namina Siti Patimah.

Tawiseun ieu bukuna, mun bestel prantos katampi, gesret Nyi Patimah nanda, sarta tuluy mere duit, kuli plat gancang balik, Nyi Patimah gura-giru, nyandak peso ka tukang, keur ngeureutan tali-tali, bade muka torombol bestel kintunan.

[ 81 ]Raraosanna Patimah, tugteg ratug jero galih, samar rasa samar polah, suka pabaur jeung risi, rakana gusak-gasik, mukana bestel pak-pik-puk, Patimah ngabantuan, gugup geus, palay ningali, ari breh teh pakean Salim sadaya.

Sarung sinareng bajuna, iket katut jeung erloji, anu bawa ti lemburna Patimah heran jro galih, lajeng diungkab deui, seratna nembe katimu, gugup Patimah muka, adresna henteu ditolih, wek dibuka bari ngunyem maos serat.

Dupi saungeling serat, di dieu henteu diwincik, namung dicatur maksudna, bubuka anu kahiji, dina ungeling tulis, ku Tarlan nu dipicatur, tina kawitan datang, nepi ka waktu pelesir, tujuh poe udar-ider mapay kota.

Ditetek henteu kaliwat, kadua dicatur deui, waktu nyiar pagawean, tujuh poe henteu manggih, sakabeh lampah Salim, tuturna kabeh dijantur, malah dina nulungan, tilu sinyoh nu balai, diwartoskeun titi beres cariosna.

Maksad serat katiluna, dicatur kawit balantik, nyieun deui cocooan didagangkeun ku pribadi, nepi ka lesna leungit, perlente kabeh dicatur, ungel nu kaopatna, nyaturkeun Tarlan ngilari, reh geus seep tarekah henteu kapendak.

Ungel dina panganggeusan, surat kabar jadi bukti, nyangka yen Jang Salim ajal, anu teu kalawan bukti, sakabeh diperwinci, suratna beres jeung luyu, ditambah pangbeberah, malar jadi janglar galih, panjang pisan ngarah sabar tawekalna.

Sapanjangna maos serat, Patimah teu eureun nangis, surat cipruk ku cisoca, murubut teu eureun bijil, lebah ungeling tulis, nyarios Salim keur bingung, teu meunang pagawean, metakeun deui balantik, Nyi Patimah geus mehmeh rek kapiuhan.

Satamatna ngaos serat, Patimah les henteu eling, nyuuh ka dampal rakana, seksekan bawaning sedih, leuleus satulang sandi, nyuuh bari ngarumpuyuk, rakana samar polah, Salamah nya kitu deui, unghak-inghak nyambatna kanyenyerian.

Sasambatna Nyi Patimah, aduh Salim anak aing, teu nyana teuing teu nyana, nemahan sangsara diri, nyana erek pinanggih, jeung pati di lembur batur, hamo dijurung leumpang, ya [ 82 ]Allah Gusti Yang Widi, abdi henteu kiat nandangan nalangsa.

Incah ti lembur sorangan, ngumbara ka sejen nagri, ka aing maksud bumela, ahirna nemahan pati, aduh Salim anaking, ibu samar panjang umur, rakana bati welas, ngupahan jeung bari nangis, patutungku tiluan hujan cisoca.

KINANTI.

Susah moal burung lipur, sedih moal burung leungit, lir halodo reujeung hujan, beurang sok kaganti peuting, kabeh mahluk eusi alam, watekna sok owah gingsir.

Kapurba ku wet Yang Agung, Nyi Patimah kitu deui, lami-lami mah nya janglar, dipasrahkeun ka Yang Widi, tina kuat dadasarna, panumpes susah jeung sedih.

Sanggeusna papada lipur, Patimah geus janglar galih, kacaturkeun hiji nangsa, raka-rai geus badami, rek meakkeun panasaran, bade angkat ka Batawi.

Rek nyidikkeun malar puguh, usul-asalna Jang Salim, wireh beja acan terang, ngan wungkul panyangka ati, Ujang Salim enggeus ajal, buktina mah acan sidik.

Sanggeus mangkuk saminggu, ti saentasna badami, Patimah sasadiaan, pikeun bekel ka Batawi, sareng kanggo kikintunan, katuangan rupi-rupi.

Kanggo nu bakal dijugjug, jurutulis toko Tiang Ki, sipat paman Encep Tarlan, catur bae geus arindit, tiluan sareng Salamah, ka Mester enggeus sarumping.

Pribumi nampi tatamu, kalawan jeung seneng galih, disae-sae dihormat, Mas Lurah enjingna deui, dianteur ka Manggabesar, bawahan kota Batawi.

Wijkmeester anu dijugjug, maksudna seja nalungtik, nu kauni dina kabar, sugan aya nu ngilari, budak nu kageleng tea, ngarapot budakna leungit.

Wijkmeester micatur suwung, henteu aya nu ngilari, ti dinya Mas Lurah mangkat, malar tambah teteg ati, nuju Assistent Wadana, nanya deui malar sidik.

Dijawab deui nya kitu, malahan aya panambih, jawab [ 83 ]Assistent Wadana, anjeunna nyieun sirkulir, saenggeusna kajadian, nyalabarkeun nu balai.

Tapi taya anu ngaku, amleng nepi ka kiwari, nepi kana dikuburna, Lurah nembe teteg ati, nyangka yen Jang Salim ajal, teu sak moal salah deui.

Assistent welaseun langkung, tuluy dibahanan tulis, kanggo ka kuncen kuburan, di Manggadua Batawi, supayana dituduhan, geus beres Mas Lurah mulih.

Enjingna marangkat tuluy, ka Manggadua arindit, Patimah sareng Salamah, Encep Tarlan henteu kari, bade nyekar ka kuburan, caturkeun bae geus tepi.

Kuburan pada ngariung, dihujanan ku citangis, opatan pating aringhak, Patimah mah komo deui, nangisna munggah sek-sekan, Nyi Salamah runghak-renghik.

Welas ningal tempat kubur, lantaran calon nu miskin, bala henteu dipiara, Patimah teu eureun nangis, saparantosna hadiah, Mas Lurah samemeh mulih.

Sok mere duit sapuluh, ka pakuncen sarta jangji, pikeun miara kuburan, dihadean sangkan rapih, sangeusna tuluy marulang, bari nyusutan citangis.

Sanggeus hasil nu dimaksud, panasaran enggeus leungit, Mas Lurah nembe ngajajah, pelesir muter Batawi, geus opat poe lilana, kaputer sama sakali.

Batawi Tanjungpriuk, Tanabang Mesterkornelis, jiarah ka Luarbatang, geus opat dinten nguriling, sarta henteu rurusuhan, mulihna ka Sukasari.

Nunggu dugi ka saminggu, rek nongton heula kamedi, harmeston nu nembe datang, sakalian rek pelesir, ngajajah ka gedong gajah, nu teu acan ditingali.

Kacaturkeun hiji waktu, tatamu sareng pribumi, di payun keur masamoan, ngariung pameget-istri, hol nu sumping pupuntenan, dongko bari mucat topi.

Rupina kasep jeung segut, anggoan perlente rapih, disinjang kebat banyumas, sareng udengna sasawit, raksukan lenden bukaan, dasi malang hideung leutik.

Pantes kewes estu surup, anggoan nanding ka rupi, [ 84 ]dikinten-kinten yuswana, dua puluh tilu leuwih, eukeur sedengna bang-bangan, rumbahna rek sedeng jadi.

Ngaradeg sadaya tamu, ngamanggakeun ka nu sumping, saprantosna sasalaman, tatamu lajeng gek calik, linggih bari dodongkoan, jeung narik korsi ka sisi.

Ti riungan rada jauh, tawis hormat ka pribumi, pribumi deui ngandika, calik ulah tebih teuing, tamu jawab mamanggaan, bari jeung majeng saeutik.

Pribumi pok manis nyaur, pun emang anyar pinanggih, asa-asa nembe pendak, kawas nu perelu sumping, lenggah teh di mana tea, Den Wiryadi walon manis.

Sumuhun di Kebonjeruk, upami percanten abdi, Teekenaar Opnemer kota, kantor B.O.W. Batawi, ka dieu nu mawi dongkap, aya perelu saeutik.

Wirehing abdi kapungkur, sareng ’na kareta api, wangsul ngukur ti Karawang, sareng dua murangkalih, saurang namina Tarlan, nu saurang deui Salim.

Jisim abdi gaduh sanggup, jangji sumeja ngilari, damel kangge aranjeunna, nyariosna ka sim abdi, aya di dieu calikna, ayeuna abdi ngilari.

Manawi masih ngalanggur, wirehing di kantor abdi, ayeuna nyondong lowongan, dua jalma kangge lerling, kana opnemer tikenar, namung gajihna saeutik.

Limabelas kawit asup, pribumi walon ngalahir, bari unggut nunuhunan, lajeng ngagentraan tarik, ka putrana Encep Tarlan, torojol nyampeurkeun gasik.

DANGDANGGULA.

Barang bijil Cep Tarlan ngalirik, ka tatamu anu eukeur lenggah, tuluy nyampeurkeun nyolondo, sasalaman sideku, Den Wiryadi nampanan manis, nyaur ayihaturan, Tarlan jawab nuhun, ceuk Wiryadi puguh engkang, anu mawi dongkap teh inget Ka janji, waktos kapungkur tea.

Sareng mana ari ayi Salim, nu kapungkur rencang sasarengan, samemeh Tarlan ngawalon, ramana nyambung nyaur, [ 85 ]ngawalonan ka Den Wiryadi, nyarios Salim ajal, kawitna dijantur, dongkap ka wekasanana, bari nunjuk ka Mas Lurah nu keur calik, malah ieu ramana.

Jeung ibuna ka dieu sarumping, ngaralongok ka kuburanana, Den Wiryadi langkung kaget, jro galihna ngaranjug, lajeng naros bari ngaririk, ka pameunteu Mas Lurah, ’na iraha rawuh, kapungkur jawab Mas Lurah, prantos kenging opat kalimana wengi, sareng dinten ayeuna.

Masa Allah henteu nyana teuing, Den Wiryadi bari cumalimba, abdi sakalangkung kaget, teu nyana ari umur, dasar mahluk kapurba Gusti, henteu kawasa terang, tulis ti Yang Agung, ninggang kana paribasa, cacaturna ceuk sepuh dihin pinasti, anyar pinanggih tea

Ngan pamugi slira emang-embi, ulah kirang nya metakeunana, kasabaran galih sareh, sumerah ka Yang Agung, namung mugi teu jadi, galih wireh sim abdi lancang, siga nu miwuruk, nyarios kitu ka sepah, Den Wiryadi nyaur bari imut manis, tawis beresih manah.

Pok Mas Lurah ngawalonan manis, hatur nuhun ka piwejang putra, nyuhunkeun dungana bae, Nyi Patimah ngaheruk, ngadangukeun weling Wiryadi, cisoca teu karasa, mehmehan nyurudut, lajeng ngojengkang ka tukang, henteu tahan nahankeun kasedih galih, ngaragragkeun cisoca.

Sanggeus tuus cisoca nu bijil, mulih deui ka tamu mayunan, Patimah teu weleh melong, ka nu eukeur cacatur, galih ngait ka Ujang Salim, wireh ningal rupina, meh henteu pajauh, rarayna bade sarimbag, resep sedep ningal Wiryadi ngabuih, carios ngagorolang.

Kacaturkeun saprantosna lami, Den Wiryadi natamu di dinya, enggalna bae nyarios, damel anu dicatur, sareng Tarlan badami deui, Tarlan kalangkung bungah, jangji minggu payun, baris nampi padamelan, Den Wiryadi ka pribumi pamit mulih, tina korsi geus cengkat.

Seug nyolondo mapay nu caralik, sasalaman bari dodongkoan, ngamanggakeun ka sakabeh, ka Lurah bari munjung, Den Wiryadi nyaur jeung manis, sumangga atuh emang, ka [ 86 ]rorompok rawuh, memeh mulih lenggah heula, sareng embi mung tangtos pangangken abdi, tebih tina utama.

Ku jalaran teu aya nu beuki, jomblo taya istri nu misuka, lengoh acan gaduh bojo, nyaurna bari imut, juru panon ngareret nilik, kana pameunteu salamah, bangun nu kairut, indit bari dedepean, mungga-mangga angkatna kagok saeutik, asa gagaleongan.

Reh katarik ku watekna istri, lelembutan Wiryadi kaeurad, ‘na galih Salamah mangrod, Den Wiryadi geus tuluy, panggalih mah tingaleun ngait, angkat sajalan-jalan, henteu weleh emut, sasambat aing ka kemat, masa Allah aing henteu nyana teuing, bakal manggih mustika.

Asa-asa aing geus papanggih, remen nenjo sajero impian, Wiryadi angkat teu jonjon, galihna tugteg ratug, sarta ngemut lebeting galih, melong bari ngawangwang, malar hasil maksud, ras emut ka Encep Tarlan, jro galihna bungah untung bakal rapih, Tarlan jadi lantaran.

Nu nepikeun kana maksud aing, diri aing henteu kudu rempan, sugan pareng jadi jodo, Den Wiryadi ras emut, reuwas pias henteu dipikir, boa aya nu boga, atina rumanjug, geus nepi ka Gang Katapang, teu karasa uleng bawaning ku mikir, nyimpang meh kapohoan.

Sasumpingna ka bumi teu nolih, panganggona teu kosi dibuka, tuluy ngagoloyoh bae, nyuuh di tempat tidur, ngabebengkang kawas teu eling, mapatkeun kinasihan, panonna ditutup, ngajepat bari nangkarak, panteng uleng nyipta nu pake kaeling, nya eta Nyi Salamah.

Kunyam-kunyem tarangna ngalilip, kerung malang anteng pangmandengna, ngalempengkeun tekad golong, hiji anu dituju, ditojokeun ka nu ngarungsing, dicipta pameunteuna, gumulung menekung, diincer lebah socana, ditiupkeun bulak-balik tilu kali, nojo ka rarayna.

Bari dangah tiup nu kahiji, dilempengkeun nojo ka taarna, dicipta di jero hate, ti dinya deui niup, nu kadua meneran ati, tiup nu ka tiluna, nu jadi panutup, lambat tarik paniupna, diputerkeun malar meulit dina peujit, ngalayah dina bayah.

[ 87 ]Ditungtungan pangucap jro ati, ku heh siah moal burung beunang, trus Wiryadi ngagoloyoh, muka soca nu nutup, ngemat tamat tapakur rapih, kojengkang tuluy hudang, sarta muka baju, angkatna gagaleongan, langlang-lingling bangun anu henteu eling, kagiwang semah datang.

ASMARANDANA.

Tunda heula Den Wiryadi, nu keur kagembang nu lenjang, ayeuna gentos carios, mulang malikan ka tukang, Salim nu nandang lara, di rumah sakit ngaringkuk, tugenah nandang balangsak.

Sadatang ka rumah sakit, ti barang waktu dibawa, ti kebon eukeur ngarengkol, tas sasab apruk-aprukan, leungit ingetananana, digogotong digugulung, henteu boga rarasaan.

Geus meh dua bulan leuwih, di rumah sakit matuhna, panyakitna acan hade, geringna katutuluyan, tina asal muriang, ngahudang panyakit lumpuh, kaseuit lantaran sasab.

Ari ras Jang Salim eling, dina katilu poena, culang-cileung rurat-reret, neuleu ka luhur ka handap, panonna rundat-rindat, pikirna malaweung bingung, kaget reuwas jeung baluas.

Rarasaanana ngimpi, cupa-cipi rumpu-rampa, neuleu jalma redes beres, ngajaloprak nalangkarak, dina bangku ngajajar, pikirna heran jeung bingung, ngomong sajero atina.

Na ieu di mana aing, ka dieu saha nu mawa, naha hirup naha paeh, naha ieu teh di dunya, atawa di aherat, melong jeung nangkeup harigu, rungah-ringeuh jeg nu owah.

Ngeluk ka badanna nilik, ditenjo pakeanana, geus disalin ganti kabeh, samping poleng baju bodas, beresih diistrika, seug nyasar ngarampa irung, mriksa napas masih aya.

Nyangkana di rumah sakit, sanggeus doktor mariksa, kana badanna sakabeh, dirampaan diketrokan, eme reujeung dadana, ku Walanda gede jangkung, sareh manis babasanna.

Mariksa kabeh nu gering, ka sakur anu tatamba, talete sarta sareseh, bangun kacida welasna, nyaur bari ngupahan, dipapay ka unggal bangku, dipariksa panyakitna.

[ 88 ]Unggal sonten unggal enjing, ngan kitu bae damelna, teu bosen geten tulaten, mantri anu ngabandingan, nu nadah parentahna, pantes saregep saruhud, cangcingceng kana gawena.

Tatag tangginas tariti, nambaan teu asa-asa, nu payah digulanggaper, diinuman dihuapan, katut miceun mandina, diurus taya kabau, dimandian diombehan.

Salim henteu weleh muji, kana piaraanana, harade beres tulaten, diurus sandang-panganna, lengkep taya kakurang, dahar nginum matak lintuh, pake hade matak sehat.

Pakean digunta-ganti, aya katangtuanana, pasti saban tilu poe, diganti meunang ngistrika, beresih bararodas, sarung anggel katut simbut, disalin aya waktuna.

Daharna nya kitu deui, henteu meunang kakurangan, waktuna angger jeung hade, tilu kali sapoena, kitu deui deungeunna, gunta-ganti saban waktu, malar kasehatanana.

Salim osok remen mikir, sakapeung ngaheran-heran, ka jalma anu barodo, sok arembung diubaran, ku doktor ahli tamba, malah mumul embung matuh, di rumah sakit tatamba.

Basana sieun jeung risi, inggis sieun tambah ruksak, dibelek atawa potong, marukan sakama-kama, henteu reujeung pikiran, henteu dipikir piraku, doktor teh kapan manusa.

Kaitung jelema leuwih, dina elmu tatambana, najan ngabelek jeung motong, moal enya sambarangan, tangtu nurut aturan, malah mah jadi pitulung, sakur peta ihtiarna.

Kitu pikir Ujang Salim, kacatur bae lilana, di rumah sakit ngagojod, lawasna geus tilu bulan, salilana tatamba, Jang Salim teu weleh bingung, reh gering katutuluyan.

Geus puguh lamun ti peuting, enggon-enggon nya nalangsa, cacakan ti beurang oge, remen ragragan cimata, inget kadar awakna, tulis waris ti Yang Agung, nandang sangsara balangsak.

Ku Salim sok pake ceurik, sugrak-segruk balilihan, mun poe Ahad jeung Rebo, ningal jalma nu daratang, ngabrul ngalalongokan, ka rumah sakit arasup, ahlina anu tatamba.

Campur awewe-lalaki, nu indungna nu bapana, nu dulur nu wawuh bae, tapi ngan Salim sorangan, nenggang kosong bangkuna, suwung euweuh nu ngalantung, ngalongok sumawon nanya.

[ 89 ]Ngangres ngenes nyeri ati, nalangsa nenggang sorangan, Salim sok ngahephep bae, bari ceurik balilihan, nyuuh kana anggelna, sarung anggel remen cipruk, dihujanan ku cimata.

Inget ka kadang ka wargi, teu nu wawuh-wawuh acan, sakapeung ngadaweung melong, nyalalangkrung cipanonna, ingeteun ka ibuna, gering tuman digugulung, diraneh diupah-upah.

Atina katambah sedih, ras deui inget ka Tarlan, geus tangtu kumaha bae, ka mana neanganana, boa ka aing nyangka, kawerek beunang katipu, dibawa nyebrang lautan.

Meureun ka ibu wawarti, bebeja aing teu aya, boa mah disangka paeh, reh pakean teu dibawa, Salim boga pikiran, ka Tarlan hayang cacatur, reh manehna keur tatamba.

Jalanna henteu kapikir, kumaha merena beja, erek nyuratan harese, lantaran taya keretas, ari arek talatah, taya nu ngalantung wawuh, ngan susah bae nu aya.

Sakapeung Salim sok mikir, lamun manehna kaluar, ti rumah sakit geus hade, sok mendag-mayong pikirna, henteu tetep karepna, aya rek balik rek terus, nyiar deui pagawean.

SINOM

Caturkeun bae enggalna, saprantosna opat sasih, Salim getingna geus jagjag, kaluar ti rumah sakit, tabuh sapuluh enjing, ti Golodog muru setum kabeneran duitna, teu aya pisan nu leungit, diampihan ku Mantri katut pakena.

Duit sesa modal dagang, kari dua perak leuwih, Salim mulang gagancangan, muru ka Mesterkornelis, pakena geus disalin, baju calana jeung sarung, ku bogana manehna, pakean kotor teh teuing, hararapeuk jeblog jeung pinuh ku leutak.

Urut cipruk kahujanan, teu kosi dipoe deui, Salim tugteg Sajajalan, hayang geura-geura tepi, geus asa gok papanggih, jeung Encep Tarlan patepung, jeung sobat nu papisah, kadeuleu bae ku ati kacaturkeun ka Rawabangke geus datang.

Barang datang ka buruan, pupuntenan batuk leutik, ari jol muru kaluar, istri nu kagungan bumi, Jang Salim kaget leuwih, nyeblak hatena rumanjug, reh sanes ibu Tarlan, Salim [ 90 ]kantun bengong mikir, ku pribumi gancang bae dipariksa.

Naha erek naon Ujang, Ujang Salim walon manis, bari nagog di buruan, pangapunten jisim abdi, mugi teu jadi galih, pitaros anu kapungkur, anu di dieu lenggah, naha kituh prantos ngalih, lamun ngalih naha ngalihna ka mana.

Naha Ujang teh ti mana, saur nu kagungan bumi, kapan enggeus dua bulan, hilangna teu meunang warti, wapat di rumah sakit, teu damangna ngan saminggu, kasawatna kolera, Jang Salim melenguk cicing, bari tungkul nalangsa bijil cimata.

Pribumi welaseun pisan, ningali Jang Salim ceurik, papanjangan mariksana, usul-asal waktu tadi, diwalon ku Jang Salim, lampah manehna dijantur, ti kawit Salim numpang, jeung Cep Tarlan jadi hiji, dicarios ti awal nepi wekasan.

Ceuk pribumi jadi Ujang, ayeuna kakara bijil, ti rumah sakit tatamba, sumuhun jawabna Salim, pribumi nyaur deui, mun Ujang euweuh kawawuh, pikeun di dieu numpang, ulah erek leutik ati, keur sare mah di dieu oge pan lega.

Ari perkara Cep Tarlan, bejana mah henteu balik, enggeus meunang pagawean, tatapina kurang sidik, embi teu meunang warti, gawena naon teu nyatur, sumawonna matuhna, embi teu nanya taliti, Salim walon ngomongna jeung dumareuda.

Duh juragan nuhun pisan, lamun miwelas ka abdi, reh abdi jalma nyorangan, di dieu estu nunggelis, teu gaduh kadang wargi, sareng teu aya kawawuh, erek wangsul kapalang, teu gaduh keur meser karcis, maksad abdi bade kuli-kuli heula.

Sukur atuh mun daek mah, walon nu kagungan bumi, yap ka dieu geura dahar, bisina teu acan manggih, semu welaseun teuing, muka panto nitah asup, bari jeung kakaratak, erek nyuguhan ka Salim, walon Salim entong nyesahkeun juragan.

Abdi mah parantos neda, di ditu di rumah sakit, memeh wangsul neda heula, pribumi maksa maparin, malum istri nu surti, tur balabah hade semu, bageur jeung karunyaan, welasna terus jeung galih, disodorkeun alas maksa Sina dahar.

Ujang Salim maksa dahar, cemen tamba henteu teuing, daharna ngan tilu huap, sila dina bangku awi, di dapur bari mikir, duwang-daweung tina bingung, katambah rada era, rumasa [ 91 ]jalma nunggelis, culang-cileung kawas hayam panyambungan.

Dasar pribumi waspada, ningal romanna Jang Salim, ngadaweung semu nu era, jeung bangun nu bingung mikir, ngaraoskeun pribadi, nunggelis di lembur batur, tuluy disanghareupan, carios jeung budi manis, nu dipalar supaya conggah ki semah.

Dibrangbrangkeun malar bungah, Jang Salim muji jro ati, tina kabageuranana, pribumi lebet ka bumi, nyandak bantal sahiji, jeung samak pikeun tatamu, tetebah keur sarena, di emper tukang sayagi, sanggeus beres nyaur ka Salim nuduhan.

Tah di dieu sasarean, keur Ujang engke ti peuting, bisi rek gegelehean, ulah erek isin-isin, diwalon ku Jang Salim, sawios juragan nuhun, pomi tong jadi sesah, ulah sayagi di bumi, di dieu ge di dapur parantos cekap.

Salim lila ngadaweungna, mikir pilampaheun diri, ngalamun jalan ihtiar, tapi bingungeun teh teuing, tuluy indit ka cai, nimba erek nyeuseuh baju, reujeung samping polengna, nu lodroh jeung bau tengi, sajro nimba teu eureun-eureun mikiran.

Inget ka pakeanana, reh bingung pikeun disalin, nanya di jero hatena, ka mana pakean aing, reujeung ka mana deui, diri aing pikeun nyusul, mun Cep Tarlan teu incah, di dieu geus meunang hasil, reujeung naha kituh pakean dibawa.

Jang Salim bubuligiran, nungguan bajuna garing, nagog di pipir sorangan, mundar-mandir mulak-malik, bajuna reujeung samping, hayang buru-buru tuhur, erek indit ka jalan, ngalantung nyenangkeun ati, ngabangbrangkeun sugan manggih bongbolongan.

Kacatur bae enggalna, saprantos bajuna garing, indit ngalantung ka jalan, sabot keur ngadaweung cicing, ningal jalma ngadigdig, kawas mandor dumeh segut, nyimpang ka Salim nanya, sugan daek erek kuli, di Salemba nu keur nyieun sakolaan.

Ku Salim dijawab mangga, ka Mas Mandor nanya malik, iraha ngawitananana, Mas Mandor ngajawab deui, lamun purun silaing, ayeuna bae yu milu, jeung urang sakalian, sabab perelu teh teuing, make kuli keur nu digawe di gudang.

Mangga ceuk Salim antosan, Jang Salim lumpat ngadigdig, [ 92 ]seja rek pupulih heula, ka nu didatangan tadi, teu lila datang deui, tuluy indit naek setum, kacaturkeun geus datang, ka Salemba tempat kuli, dipetakeun gawena di jero gudang.

Kana ngurus parabotan, mereskeun pakakas kuli, sarta reujeung ngaladenan, kuli anu mundar-mandir, gawena purah ngeusi, tong semen reujeung tong kapur, Jang Salim leuwih bungah, reh gawe teu beurat teuing, ngan sapira nungguan nu menta barang.

Gawena wungkul ngajega, nungguan datangna kuli, ngeusian tanggunganana, kawuwuh di saung cicing, teu milu gudag-gidig, wungkul nangtung nyekel sekup, meunang milih mandorna, reh katimbang leutik teuing, karunyaeun lamun gawe kabeuratan.

Kacatur bae lilana, Salim jadi kuli ari, geus meunang satengah bulan, sapoena lima ketip, Jang Salim leuwih apik, duit nu meunang buburuh, satalen diampihan, ari nu satalen deui, dipastikeun mahi teu mahi keur dahar.