Lompat ke isi

Hujan Munggaran

Ti Wikipabukon
Hujan Munggaran  (1983) 
by Ayatrohaedi
[ Sampul ]Kaca:Hujan Munggaran - Genep Carita Pondok 1957.pdf/1 [ 1 ]Kaca:Hujan Munggaran - Genep Carita Pondok 1957.pdf/3 [ 3 ]Kaca:Hujan Munggaran - Genep Carita Pondok 1957.pdf/5 [ 4 ]

Diterbitkan oleh

Proyek Penerbitan Buku Sastra

Indonesia dan Daerah

Hak pengarang dilindungi undang-undang

BP No. 2097

[ 5 ]

KATA PENGANTAR

Bahagialah kita, bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama, yang pada hakikatnya adalah cagar budaya nasional kita. Kesemuanya itu merupakan tuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan sumber penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan ilmu di segala bidang.

Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam itu, yang tersimpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya.

Pemeliharaan, pembinaan, dan penggalian sastra daerah jelas akan besar sekali bantuannya dalam usaha kita untuk membina kebudayaan nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidikan pada khususnya.

Saling pengertian antardaerah, yang sangat besar artinya bagi pemeliharaan kerukunan hidup antarsuku dan agama, akan dapat tercipta pula, bila sastra-sastra daerah yang termuat dalam karya-karya sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini manusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan rohaniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah itu. Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya akan berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu, ia akan dapat menjelma menjadi sumbangan yang khas sifatnya: bagi pengembangan sastra dunia.

Sejalan dan seirama dengan pertimbangan tersebut di atas, kami sajikan pada kesempatan ini suatu karya sastra daerah Sunda, dengan harapan semoga dapat menjadi pengisi dan pelengkap dalam usaha menciptakan minat baca dan apresiasi masyarakat kita terhadap karya sastra, yang masih dirasa sangat terbatas.

Jakarta, 1983

Proyek Penerbitan Buku Sastra
 
Indonesia dan Daerah
 
[ 6 ] [ 7 ]Kaca:Hujan Munggaran - Genep Carita Pondok 1957.pdf/9 [ 9 ]

PENGANTAR PENYUNTING

Hujan Munggaran, yang berarti hujan pertama, yang maksudnya pertama kali jatuh setelah musim kemarau, memuat 6 (enam) buah cerpen.

Kumpulan cerpen ini pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka, tahun 1960, termasuk deretan pertama dari terbitan sejenis (kumpulan cerpen) dalam bahasa Sunda.

Dalam keenam cerpennya Ayat Rohaedi menggunakan ’gaya aku, dalam arti aku pribadi (bukan aku fiktif), karenanya semua uraiannya obyektif-realistis, - dijalin dari pengamatan dan pengalaman, yang benar-benar dialami. Belum sampai kepada beografi murni, karena subyektivitas dalam karya-sastra harus tetap ada.

Menonjol dalam semmua cerpennya harapan para pelaku (utama) diakhiri kekecewaan dan lebih terasa dalam beberapa cerpennya penampilan daya guna ’tak terduga’ pada akhir ceritanya, misalnya pada cerpen pertama “Gerombolan - ketiga Hujan Munggaran - keempat: Yang Paling Penting dan Celengan (Cengedungan).

Terdapat sentilan (kritik) baik terhadap manusianya sebagai individu maupun terhadap lingkungan/masyarakat. Ada kalanya terselubung (halus) seperti pada cerpen “Yang Paling Penting", ada kalanya keras-tegas seperti pada "Wartawan cerpen terakhir". Terdapat juga sisipan bernada humor, ada yang masih terpendam (menyindir dengan halus) ada yang membersit, menyakitkan hati misalnya dalam ’’Wartawan”.

Satu hal lagi yang menarik: catatan-catatan kaki dijelaskan dengan terperinci sekali, tidak hanya semata-mata menerang- kan kata-kata yang berkaitan dengan cerita, tapi lebih jauh lagi - ya katakanlah dengan gaya penjelasan ’ilmiah’. penulis memang sejak dari sinilah telah tertarik minat untuk mempelajari bahasa leluhur (dialek Jatiwangi) secara mendalam, hingga kamudian berhasil mendapat gelar doktor (bahasa) dengan predikat memuaskan.

Akan berhentilah ”Sastrawan-Sarjana” ini bergerak dalam [ 10 ]bidang penulisan sastra, setelah berhasil meraih gelar? Mudah-mudahan tidak. Di samping menulis puisi yang tersebar di berapa Majalah, telah terbit juga dari tangannya sebuah roman berjudul Kabogoh Tire (Kekasih Tiri) diterbitkan oleh Penerbit Kémara, Bandung tahun 1967.

Dan dengan terbitnya kembali Hujan Munggaran, beberapa yang lain yang sejenis dari para pengarang seangkatannya (Angkatan sesudah perang) khazanah Sastra Sunda, tidak akan merasa kekosongan. [ 11 ]Ringkasan Cerita

Cerpen pertama: Gerombolan

Penutur (aku) mengisahkan suasana di kampungnya pada zaman kekacauan. Ia merasa bangga sampai saat itu kampungnya belum kemasukan gerombolan seperti desa-desa tetangga sekitarnya. Dan ini -kata si aku berkat ketekunan dan ketrampilan para pemudanya termasuk “Si aku”. Dan memang mereka (para pemuda) tak pernah absen membantu para petugas keamanan resmi BODM.

Suatu ketika salah seorang petugas utama, bernama Kentang-para pemuda memanggilnya “mang” (emang-paman), berhasil menangkap seorang gerombolan. Pada pemeriksaan pertama- sebelum pemeriksaan resmi, yang biasa dilakukan oleh seorang Mayor - si tertangkap menjawab segala pertanyaan bukan dengan sikap dan kata-kata yang santai saja, ada nada-nada mencemooh, seperti:

— Yang betul ngomong, kalau tak mau ditembak!

— Silakan tembak, kalau di sana tega.

— Mengapa tak tega, hanya menembak gerombolan.

— Iya dah, baik tembak saja, ingin rasanya merasakan mati.

— Gila! Kau mirip orang gila! Orang mana kamu!?

— Orang Besi

— Sebabnya jadi gerombolan?

— Ingin membunuh orang, ingin menghirup darahnya

— Sebabnya.......?

— .......istriku lari, meninggalkan daku.......


Mang Kentang jengkel, mogok .... tertuduh diantarkan ke kamar Pak Mayor.

Penutup cerita dibuat “surprise” — si tertuduh yang disangka gerombolan itu, benar-benar gila.

Ketika pada keesokan harinya si ‘aku’ menemui Mang Kentang, sengaja karena ‘penasaran’, yang ditanya hanya menjawab dengan sikap tak acuh: Orang gila, si Asim, penduduk desa Basi..... [ 12 ]Mang Kentang gagal jadi pahlawan, mengharap dapat pujian dari Pak Mayor, malah jadi ejekan dan tertawaan para pemuda.

Cerpen kedua: Bulan Ngempur (bulan bersinar terang/bulan purmama).

Kembali si aku (Ayat) berkisah, kini dengan gaya dan nada romantis. Si aku sedang menunggu seorang temannya, yang sedang menyampaikan surat kepada satu alamat. Tiba-tiba, tidak diketahui dari mana datangnya — telah berdiri saja seorang gadis di mukanya dan bertanya mesra: “Ayat ieu teh? (Bukankah ini Ayat?). Dan Ayat seperti latah: “Isah ieu teh”. Dan mulailah rentangan ingatan masa silamnya: Ayat tak berani berterus terang mengatakan cintanya kepada Isah dan Isah tentu saja hanya bersikap pasip. Tampillah sahabat akrab Ayat ke muka, yang lebih berani, maka ialah yang beruntung. Sahabat itu bernama Darsim. Biarlah Darsim berbahagia, Ayat rela mengalah, menahan derita. Aku pergi ke Jakarta, lain daripada meneruskan sekolah untuk menghindarkan diri, agar tidak menambah luka hati....katanya.

Kini, di bawah bulan ngempur, — tiba-tiba saja Isah telah berdiri di hadapannya dengan pernyataan antara lain:

— Ayat masih bersedia menerima Isah yang pernah menye hati?

— Bagaimana? Benarkah ini?

— Alangkah malunya bila Isah bohong, lebih-lebih terhadap orang yang pernah disakitinya.

Mendengar ini Ayat merasa hidup kembali, harapan terbentang di mukanya, tapi ketika ia akan mulai bicara lagi, terdengar olehnya suara memanggil: ”Ayat, Ayat ....” Ayat mencagah ke arah suara, tapi ketika itu pula Isah menghilang dari pandangan, seperti halnya waktu datang, tak ketahuan ke mana perginya.

Suara yang memanggil tadi suara Mang Ondo, mengajak pulang.

Bulan ngempur kini cepat ke barat, mencari tempat istirahat, sedang dari sampai butek bau busuk menusuk hidung nyelinap masuk jantung..... [ 13 ]Demikian penulis menutup cerpennya ”Bulan Ngempur”.

Cerpen ketiga: Hujan Munggaran (hujan permulaan) - sekaligus dipakai judul untuk seluruh kumpulan.

Pada mula-mula turun hujan untuk pertama kali si ’aku’, yang baru pulang bercukur tertimpa hujan, ia lari mencari tempat meneduh. Tiba-tiba dipanggil namanya oleh seseorang wanita muda yang berdiri di muka jendela.

Wanita muda itu ternyata Sri, teman sekelas ketika Sri masih tinggal dan bersekolah di Jakarta. Sekarang Sri meneruskan sekolah di Bandung. Berpisah setahun penuh tak pernah berjumpa, tentu saja masing-masing merasa kangen.

Pertemuan yang tidak diduga itu mengundang si ’aku’ untuk berani mengutarakan cintanya, yang selama ini terpendam, tapi ternyata tak punya keberanian. Si aku jengkel kepada dirinya dan menyumpahi sebagai pengecut.

Hujan makin besar, hari mulai malam, tapi keberanian itu tak mau muncul. Dalam pertemuan selama itu hanya keluar obrolan biasa: tentang teman-teman lama, teman-teman sekelas, tentang teman istimewa bernama Sidik, si ’aku’ malah benci kepadanya karena anak itu cunihin (kurang ajar - tak tahu sopan santun). Dan tambah benci karena si Sidik sering mencuil-cuil Sri tanpa malu-malu (inilah keistimewaannya).

Hujan tak kunjung reda “Terpaksa aku pulang” kata si aku - meskipun Sri menyarankan supaya menginap saja.

Waktu akan pulang Sri memberikan amplop. Pikir si aku: isinya barangkali pengakuan. Amplop itu tidak direkat (terbuka). Pasti terburu-buru pikir si ’aku’.

Sampai di rumah, segera dibuka, isinya undangan peresmian pertunangan Sri. Dengan siapa? Dengan seorang pemuda, bernama.....Sidik.

Undangan dilempar ke tempat sampah. Perasaan mengkal dan sebal mengiringi tubuh menggigil, karena ditimpa “Hujan Munggaran.”

Cerpen keempat: Nu Paling Penting (Yang paling penting). Bertemakan kritik pedas tapi halus dari seorang anak terhadap seorang ayah yang kalah pengaruh oleh sang istri. [ 14 ]Hari-hari libur si anak pulang kampung. Heran memperhatikan sikap-laku sang ayah seperti kebingungan, sering merenung-renung dan murung.

Dipancing dengan menanyakan untuk apa bangunan besar yang masih terbengkalai itu.

Keluar jawaban, itulah yang menjadi pikiran karena kehabisan pembiayaan.

Ketika ditanyakan, mengapakah mulai dengan bangunan besar, bukankah untuk dapur dapat dibuat bangunan kecil dan sederhana saja.

Jawabnya: “Itulah keinginan ibumu!” (bagi si anak sebenarnya ibu tiri).

Si anak tak berani mendesak, takut sang ayah tersinggung.

Tapi ketika memberi pandangan bahwa sang ayah tak perlu kebingungan, karena masih mendapat nafkah (gaji) tiap bulan untuk menyelesaikan bangunan itu secara berangsur, sang ayah menjawab itulah yang jadi pikiran karena uang cadangan itu diperlukan untuk yang lain, yang lebih penting.

Si anak bertanya: ”Apa yang lain itu?”

Sang ayah menjawab hampir tak terdengar:

— Piknik ke Jakarta....(Memenuhi keinginan sang ibu yang tak mungkin ditolak, karena sedang mengandung.....)

Jadi bagi ibu yang tampaknya ’manja’ ini, piknik ke Jakarta lebih penting dari menyelesaikan bangunan yang terbengkalai.

Cerpen kelima: Cengcelengan (celengan). Dalam cerpen ini penulis lebih jauh menjangkau ke masa kanak-kanak dan dunianya.

Si ’aku - kecil ditinggal pergi kakak dan iparnya ke kampung menengok anaknya yang sakit. Ia sendirian di rumah, padahal tak punya uang.

Uang peninggalan yang sedianya untuk persediaan membeli lauk-pauk waktu makan, habis tak bersisa dipakai membayar uang sekolah (Rupanya kakaknya lupa untuk meninggali uang untuk bayaran).

Teringat ia akan celengan kakaknya, dengan pikiran tiap hari akan dapat mencungkil dari lubang celengan dengan pisau kecil [ 15 ]sedikitnya seringgit cukup untuk memberi lawuh nasi, gado-gado (uleg) untuk paginya dan mi untuk sore harinya, tak usah khawatir akan mati kelaparan.

Ia memasuki kamar, ia menutupkan pintu. Ia tahu di luar tak ada orang, tapi perasaan menyuruhnya supaya ia berhati-hati. Ia pun telah mempersiapkan diri bagaimana prakteknya mengeluarkan uang dari dalam celengan: berbaring telentang di tempat tidur, lutut ditekuk, celengan diangkat ke atas, lubang dikirek dengan pisau kecil - dan uang logam akan berjatuhan ke dada atau pangkuan .....

Ia menghampiri tempat celengan itu, ia ambil dengan perlahan supaya tak berbunyi - tapi kok ringan sekali? - Ah pengharapan dan rancangan yang memenuhi dada dan kepala sejak pagi, kini buyar tak ada yang tinggal. Ia kecurian. Isi celengan telah diambil lebih dahulu oleh kakaknya untuk bekal pulang.

Cerpen keenam: Wartawan

Ada seorang Wartawan merangkap guru atau Guru merangkap Wartawan, terserah sebutan mana yang akan kita pakai. Namanya Iman, usianya masih muda.

Untuk di kota kecil yang hanya mempunyai dua buah bioskop seperti yang dikatakan penutur - Iman merasa jadi orang penting dan patut dihormat bahkan ditakuti.

Kalau menonton bioskop atau naik bis ia merasa tak perlu beli karcis. Kalau ditanya oleh penjaga bioskop atau kondektur bis: mana karcis? Ia menjawab: Saya Wartawan, dan bila si penjaga dan kondektur masih terbengong-bengong segera ia memperlihatkan kartu wartawannya. Orang tak merasa perlu untuk meneliti benar atau palsu orang merasa aman bila pembicaraan tak diteruskan. Akhirnya dibiarkan saja bila wartawan Iman keluar masuk bioskop atau naik turun bis tanpa membawa bukti karcis. Nama Iman makin tersohor (termashur) terutama di kalangan pemuda. Tapi juga sering jadi cemoohan dan tertawaan para pemuda yang pernah tinggal di kota-kota besar dan banyak mengetahui apa sebenarnya tugas wartawan.

Suatu hari Wartawan Iman (yang kata si 'aku' - makin harum namanya itu) bertengkar dengan agen surat kabar bernama Un. [ 16 ]Orang tak kan mengira Wartawan yang selalu gagah, berpakaian necis dengan topinya yang khas, seperti braso dipakai oleh detektif Amerika, bisa k.o oleh Mang Un - orang yang sudah berumur lanjut dan kerempeng. Cerita tentang k.o-nya Wartawan Iman jadi big news di kalangan pemuda sekeliling kota Kecil itu, tapi anehnya tak ada beritanya di surat kabar. Dan meledak lagi ejekan di kalangan pemuda: Wartawan Iman memang pandai mencari dan memilih berita......


Jakarta, 14 Pebruari 1983

[ 17 ]Kaca:Hujan Munggaran - Genep Carita Pondok 1957.pdf/19 [ 19 ]

GOROMBOLAN


BARANG

KURING dibejaan ku mang Kentang yen manehna tas nangkep gorombolan teh, hate kacida pisan ngarasa gumbirana. Tapi lian ti eta kagumbiraan kuring teu weleh ngarasa hariwang. Demi pangna ngarasa gumbira mah atuh da ieu teh mangrupa hiji kanyataan yen lembur teh teu gampang diasupan ku nu ti tukang, bubuhan para-pamudana saruhud digawe. Ari hariwangna, inggis ku bisi rempan ku sugan, sabab bisi kanca-kanca gorombolan anu katangkep teh niat males pulih ¹) tuluy nyerang ka jero lembur.

Lamun seug enya kajadian teh, lembur diserang ku gorombolan, tada teuing bae ngerakeunana. Tada teuing gorengna keur lembur kuring mah. Demi sababna, lantaran ari lembur-lembur sejen mah geus sawatara taun meunangna gangguan ti pihak gorombolan nu beuki lila beuki meuweuh bae teh, sedeng lembur kuring mah berekah, sakali oge can ngalaman kaanjangan. Ari ngan ukur anu ngaliwat bae mah eta oge meureun geus remen kajadian. Ngan nu can kungsi kaalaman teh eta, maen rebab jeung huru

1) males-pulih: mulangkeun kanyenyerian, males (Jatiwangi) [ 20 ]kawas di lembur-lembur sejen. Tah, nya eta pisan nu ngalantarankeun aeb ka lembur teh, lamun seug enya kajadian kanca gorombolan anu ayeuna keur ngaringkuk di kantor BODM teh boga niat males, ngabongohan ti tukang. Lembur anu geus sawatara taun mulus banglus taya kuciwana, nya peuting ieu pisan bakal beak riwayatna, disambung ku riwayat nu rocet ku ruhak jeung getih.

Jeung lain ngan ukur dibejaan bae deuih kuring teh, tapi jeung nenjo buktina ongkoh. Nenjo bungkeuleukanana eta gorombolan, anu pajar beunang nangkep mang Kentang ti kebon-tiwu tea.

Harita teh peuting, bulan puasa. Sarta kawas sasari, ari peuting teh kuring sok tara aya di imah. Tapi ngan kukulayaban bae pulang-anting ka hilir ka girang ngadedel lemah nu ngampar di lembur. Harita oge taya bedana jeung kitu, keur kukulayaban arek liar.

Ari anu dijugjug harita teh kantor BODM, pedah di dinya sasarina sok rea batur keur garapleh ¹). Tapi batur anu biasana sarolot ²) pisan nyanghareupan kartu teh, harita mah bet suwung, teu kapanggih saurang-urang acan. Ulah bon warugana, dalah ambekanana oge teu kadenge, ceuk babasan tea mah. Ari ku kitu tea mah atuh da sahenteuna, geus tarunduheun meureun, da harita teh geus aya kana jam duana. Sedeng batur mah kapan isukna teh perlu hudang rebun-rebun, sangkan bisa nyiar kipayah jang maraban anak bojo. Lian ti eta, aya deui sababna nu sejen, nyaeta lantaran harita teh keur SOB, teu meunang aya nu ngulampreng ti jam sapuluh peuting tepi ka jam satengah lima isuk.

MALAH sakali mangsa mah tepi ka teu ngarasa dosa ieuh ngaheureuyan batur anu baralik ngukurung 3) teh. Maranehna baralik ngukurung ti jauhna, ari balik ngaliwat ka lembur, ba-

1) garapleh: ga pleh, ngaran kaulinan kawas domino ngan baladan
2) sarolot: solot, getol (Jatiwangi)
3) ngukurung: ngadon dibuat di jauhna, tepi ka kudu mondok-moek di tempat dibuatna tea. Baralik ka lemburna mun buataneun geus rengse (Jatiwangi).

[ 21 ]reng jeung pada baturna, mo kurang ti sapuluhan.

Nya kitu tea bae, harita ge kuring keur ulin, tiluan jeung batur saenggon, teu sakumaha jauhna ti kantor BODM. Barang keur jongjon-jongjon ngobrol, bari dariuk na jalan kareta-api, lar aya jalma sabubuhan ngaliwat teu jauh ti hareupeun. Horeng eta teh nu tas ngalukurung tea.

Batur anu pangbangorna nanya ka salah saurang:

― Marulih ti mana, mang?

Anu tas ngukurung tea, da puguh geus kitu sipatna, someah hade ka semah kapan ceuk batur oge urang Sunda mah, ngawalon:

― Wangsul ngukurung, jang.

― Nyarandak serat-katerangan henteu? kuring neruskeun nanya itung-itung nganggeuskeun omongan nu tadi, tapina jeung silih-badug.

― Nya eta, aya nu ngabantun, aya nu henteu. Na ku naon kitu jang, kedah ngabantun katerangan sagala rupi?

― Har, ari Emang. Kapan ayeuna teh jaman werit, jaman SOB. Tentara teh apan jadi garalak ayeuna mah mang.

― Kumaha atuh nya, ari kieu?

― Kumaha nya, kuring malikan omonganana, siga anu mang sedihkeun. Kapan Emang teh dihenteu-henteu oge ngalangkung teh pasti ka payuneun kantor BODM, mangkaning di dinya teh para-pamuda jaga samakta pakarangna.

Nu baralik ngukurung semu anu sarusaheun pisan barang dibejaan ieu kitu-kitu teh. Ari kuring, angger bae silih-badug jeung pada batur, ngarasa senang sabab rasa manggih jalma anu babari diheureuykeun.

― Kumaha upami ngarereb bae di dieu, Mang? Diteraskeun oge bilih kuma-onam di jalan, batur nu saurang deui nyarita, jiga pisan anu enya mere bongbolonganana teh.

― Lah, nya eta, masih tebih keneh ieu teh. Ari mondok heula mah, atuh tambah leuir bae engke dongkap ka lembur, sedeng ieu oge tos lami teuing di jalan. Ari kedahna mah kamari pasosonten dongkap ka lembur teh, da kitu pasini memeh mios oge. [ 22 ]—Bade kumaha atuh? Da upami diteraskeun oge bilih kumaonam, mangka tos jam-malem ayeuna teh.

Anu baralik ngukurung pating-harewos jeung pada baturna, badami neangan jalan nu rikip, sangkan teu manggih halangan-harungan di jalan. Atuh ku pating-harewosna oge kapiceun tah sawatara menit bae mah.

Tungtungna ngarasa karunya oge saeutik hate teh, nenjo batur sakitu baringungeunana. Tuluy kuring nyarita:

Mang, satungtung masih aya di lembur ieu mah teu kedah sesah-sesah teuing mikiran, kuring oge sareng rerencangan masih tiasa keneh manawi nyuhunkeun widi kanggo mamang sadaya ka bapa mayor. Mung, sakaluarna ti dieu, teu mananggel deui upami di jalan aya nanaon.

Disanggupan kitu ku kuring teh kacida pisan barungaheunana. Nganuhunkeunana oge henteu cukup ku sakali, malah tepi ka hese ngitungna, tina ku remen teuing. Ari ku kituna tea mah da atuh saenyana najan aya SOB oge sarua bae jeung henteu di lembur kuring mah. Pikeun kuring tiluan bae tapi, pedah wanoh ka bapa mayor. Ari keur anu lian mah eta oge tetep bae kudu tumut, ari geus neng jam sapuluh kadenge disada di kantor kacamatan anu tuluy ditema ti kawadanan jeung kantor pulisi teh, teu meunang aya nu ngulayab ¹) deui. Carem bae jalma salembur teh, iwal ti kuring tiluan, para-pamuda anu keur ngajaga katengtreman lembur jeung anu daragang di jero pasar. Tapi nu daragang mah teu meunang kaluar ti pager-pasar, ngan bebas dina kurungna bae. Jalma teh najan can tarunduheun oge hih teu meunang henteu, kudu ngaringkeb maneh di imah, maksa-maksakeun maneh neangan impian. Ku kituna, atuh babari pisan kuring mangmentakeun idin ti bapa mayor teh, kalawan teu ditanya heula aya kaperluan naon.

Sawatara poe ti sanggeus eta kajadian, kuring tiluan tuluy ulin ka lembur maranehna nu dibobodo tea, lantaran geus diomat-omatan pisan tadina. Nitah ulinna oge sirikna teu jeung jangji mangmeuncitkeun hayam. Atuh dina jolna datang teh teu wudu

1) ngulayab: ngulampreng [ 23 ]oge, kaasup kana sisindiran balakatiktrik balakacombrang. Leumpang oge mun teu era mah meureun rarangsodan bari ngepor, seubeuh teuing.

TAPI ari harita mah nu dipiinget teh lain hayang ngaheureuyan nu baralik ngukurung atawa nu poekeun di jalan. Sabab geus euweuh nu ngulampreng deui, peuting teuing. Niat harita mah rek gapleh di kantor BODM, itung-itung nutugkeun taraweh najan enya tara oge.

Mang Kentang kasampak keur ngabedega bae di jalan kareta api, kawas nu enya keur jaga. Malah basa kuring tiluan ka darinya oge, sirikna teu bari nyentak bae nanyana. Eta meureun, pedah kuring marake sarung nu matak ditanya oge, da ari sasarina mah, geus tara tatanya deui, sabab geus wawuh tea. Jeungna deui meureun harita mah manehna masih keneh kapangaruhan ku kaambek ka gorombolan anu katewak. Atawa boa pedah hatena ngarasa rentag lamun seug dirurug ku batur-batur gorombolan tea.

Ari geus puguh nyahoeun yen anu disentak kuring tiluan mah, kalah ka malik nanya manehna teh, henteu sesentak deui. Nanyana oge tangtu bae kalawan reueus pisan, da manehna anu newak gorombolan teh:

— Heh, maraneh harayang nyaho gorombolan ta henteu?

— Hah, gorombolan? ceuk kuring tiluan mani rampak. Sungut mani calangap bae sanggeus ngomong teh, lamun aya laleur sabubuhan mah kawasna tanwande asup bae kabeh kateleg. Eta da ku teu ngarti pisan, bet make aya gorombolan bisa mubus ka jero lembur sagala. Ieu teh kajadian anu munggaran, di lembur kuring mah. Tangtu mangrupa kajadian anu munggaran deuih lamun seug kanca-kanca gorombolan anu katangkep ngayakeun serangan pamales mah. Mangrupa hal anu munggaran lembur dirurug ku nu ti tukang, sarta mangrupa kajadian anu munggaran deuih sajarah lembur kuring bakal kacoretan ku getih jeung ruhak.

— Heeh, gorombolan. Aing nu newakna oge, di kebontiwu, [ 24 ]ceuk mang Kentang bari nepak dada, Agul meureun di dituna mah.

— Kumaha tah dedeg-pangadegna? kuring nanya deui, lantaran masih ngarasa cangcaya hate teh dihenteu-henteu oge.

— Deuleu bae nam di kantor, keur hees.

Eta jalma anu magar gorombolan tea, ngan make kaos kutang bae. Calanana sepan biru geus saroek di sawatara tempat, pinuh ku jarumat. Demi buukna teuing ku riwog, kacida pisan euncepna lamun enya manehna kapalana pisan oge. Dedeganana jangkung, ari kulitna semu-semu koneng, kawas Jepang nu tinggaleun.

Cenah mah manehna teh di gebengan kaler, wewengkon Jatitujuh. Ari datangna ka lembur, ku taksiran mah rek meuntas ngidul, bubuhan di kaler ngarasa teu tiis dingin paripurna pedah dibeberik bae tentara.

Manehna keur sare dina ubin, ngagoledag¹). Sarungna nguntel²) kana sirah atuh ragana ngaliglag, henteu katutupan sakumaha mistina. Ah, upama enya eta jalma teh gorombolan, kuring banget nya tumarima ka para-pamuda anu geus sakitu tohpati jiwa ragana, enggoning ngajaring urang lembur tina kahariwang kahoncewang. Enya satria desa henteu honcewang sumoreangna teh, ari geus nenjo buktina mah.

— Ongkoh da enya lembur aing mah hamo bisa diancikan ku gorombolan, ceuk pikir. Lembur aing mah kudu mulus banglus, ulah karocetan sajarahna ku mangsi nu mangrupa adonan cimata, getih jeung lebu sesa nu ngaduruk. Pamuda lembur aing memang saruhud digawe, teu lebar unggal bulan nyumbang lima perak teh, ceuk hate.

Teu sakumaha lilana, eta jalma teh hudang. Sanggeus rada lila pada ngantep, tuluy ku mang Kentang ditanya:

— Heh, jawab sing bener pananya aing nyah, ari teu hayang dipangpengkeun deui kawas tadi mah sia teh, omongna bari meureup. Awas mun mungpang!

1) ngagoledag: ngagoler

2) nguntel: mulen ngagulung [ 25 ]Si gorombolan ngajawab bari ngadegdeg, sieun enya dipang- pengkeun, mangkaning dedegan mang Kentang teh dekung, eukeur gede teh jeung jangkung deuih:

— Heug.

— Jeung saha maneh di kebon-tiwu teh?

— Sorangan

— Bohong sia. Batur-batur maneh ayeuna di marana, hah?

— Batur nu mana? Si Salu?

— Batut maneh, anu tadi bareng di jalan.

— Di leuweung, leuweung Sumber.

— Ati kitu mah enya maneh teh gorombolan, nya? Awas mun mungkir!

— Enya sugan.

— Sugan?

— Nya sugan bae, da teu nyaho, Jongan !? kuring mah tadina oge rek gagade, ari ieu be kalah ka ditangkep.

— Gagade naon? Gagade barang-barang anu dina gembolan? Barang-barang nang ngarampog?

— Enya.

— Sabaraha urang kabehna batur maneh teh?

— Aya meureun dalapanbelas mah. Ari ayeuna geus tangtu keur harees di leuweung Sumber.

— Sing bener sia ngomong teh, ari teu hayang dibedil mah.

— Jedod bae rek dibedil mah, sugan di dinya tega.

— Make teu tega ku naon, pilakadar maehan gorombolan.

— Bener lah, mending dibedil, hayang ngalaman paeh.

— Kawas nu gelo sia. Urang mana sia hah?

— Urang Beusi.

— Pangna jadi gorombolan?

— Hayang maehan jelema, hayang nguyup getihna, bongan boga rubiah minggat.

— Pantes bae minggat ge, da sia ngablun 2?) teu puguh.

1) jongan: lebah dieu hartina da. Jongan teh meh saharti jeung wong dina basa Jawa

(Jatiwangi) 2) ngablun: ngablaun, tara nurut parentah lian titeu boga cabak teh [ 26 ]— Aya kitu nu ngablun puguh?

— Ngece ¹) sia, jawab mang Kentang bari nyabok. Si gorombolan teh pak-aduh, tapi teu dipalire.

Jempe sajongjongan. Tapi teu sakumaha lilana mang Kentang geus nanya deui:

— Geus maehan sabaraha kali sia, hah?

— Wah, atuh geus lain itung-itungeun deui, kulan, sakeyengna bae. Komo eta tah, ari geus maehan tumbila, keletas-keletas bae, tuluy diambeuan.

— Si, heureuy sia lain usumna ieuh! Dibabet ke geura!

— Ceuk kuring oge ari tega mah heug bae. Barina oge da kuring hayang ngasaan sakali-kalieun mah dibabet ku pamuda Ciborelang.

— Ngalawan sia? Ditojos deui ku belati sia, kawas tadi bapa mayor. Sieun henteu, kunyuk?

— Atuh puguh bae sieun mah, da mani nojo kana jajantung pisan belatina. Saha nu teu rek ngadegdeg geura, rek ditubles belati. Mun di dinya ge moal teu kitu lah, mun seug pareng katewak ku gorombolan.

— Si, ngahina sia. Aing mah teu sieun sarebuk samerang bulu deuleu ku gorombolan teh. Percumah bapa aing mere ngaran Kentang, ari sieun ku jalma sasar-sasar bae mah. Sieun nya sia ditubles?

— Sieun.

— Heueuh, sasar sih sia mah, teu kawas aing, babakti keur lemahcai. Nu matak ulah heureuy sia ngajawab, kudu bener. Komo engke mah lamun dipariksa ku pa mayor, sing bentes nyarita sia. Urang Batak mah garalak, nyaho sia?

Si gorombolan teh unggut-unggutan, siga nu enya-enya ngarti.

Ari kituna tea mah bener, da satungtung sual-jawab si gorombolan teh gawena ngan sura-seuri bae. Rek disebut ngalawan nya pantes, dan kitu petana. Eta ku taya pisan semu nu sieun kana paeh teh, teu riuk-riuk acan diancam kitu diancam kieu oge.

¹) ngece: ngaheureuykeun bari ngahina (Jatiwangi). [ 27 ]Sedeng mang Kentang mah dina ngancamna teh geus sakatimuna bae: bedil, babet, kaprot, pangpeng, ¹) tojos. Ari nu diancamna hih, kalah ka sura-seuri, mapanas mang Kentang nu ambekna sakulit bawang. sakecap kadua gobang.

— Hayang kiih lah.

— Beser sia, kiih malulu.

Si gorombolan ngojengkang ka luar.

— Pulung, panganteurkeun, ceuk mang Kentang ka baturna anu ngaran Pulung.

— Tong dianteur deui sih, da geus gede, geus bisa muka calana sorangan, ceuk si gorombolan.

— Ambeh babari lumpat?

— Nya heueuh, tembalan bari nyerengeh.

Mang Kentang nyayangkeun ramona nu opatlas ruas kana pipi si gorombolan, minangka upahna meureun. Atuh si gorombolan teh pak-duh, nyereun, tapi kalah ka dibongan-sia-bongan- sia. Tuluy dianteur kiih.

— Lah, asa kieu singhoreng ari jadi gegeden. Kiih-kiih bae mani kudu dianteur, da bisi kana calana, bisi aya nu ngarogahala di jalan, omong si gorombolan.

Ngan dikaprot deui bae minangka upahna teh.

Balik kiih si gorombolan teh sare deui. Tadi oge meureun pangna hudang teh pedah hayang kiih, lain hayang dikaprot, lain menta cap tapak jalak dina pipi.

Kuring oge tuluy bae balik, da tunduh geus teu kaampeuh. Hate henteu weleh seber, bisi enya kanca si gorombolan nyerang lembur nu kawentar ayem-tengtrem, anu geus tangtu bakal mangrupa kajadian anu munggaran eta teh. Tapi jeroning kitu teh bari teu weleh muji kana kasuhudan para-pamuda anu geus sanggup nyerek gorombolan, anu meureun ari niatna mah hayang nalungtik kakuatan pertahanan lembur kuring. Tapi hanjakal, nu nungtik teh kurang telik, buktina katungtik manten, malah tepi ka kudu narima ramo nyayang dina pipi sagala.

Hate teu weleh hariwang, bisi enya kajadian sakumaha anu

¹) pangpeng: banting [ 28 ]dipikarisi. Sare henteu bisa tibra, hayang gancang manggih beurang, sangkan gorombolan mo wanieun nyerang. Pikiran ngaguligah, balas inget kana serangan nu bakal kaalaman. Dunya ngadak-ngadak karasa aplen ¹) pisan lumakuna, anu sasarina kacida gancangna ngadudud lir sputnik teh. Duh, lamun seug enya kajadian, sajarah lembur kuring anu tepi ka menit samemeh aya gorombolan kacerek, ngeplak bodas teh geus tangtu bakal aya kacakclakanana ku mangsi nu mangrupa adonan getih, cimata jeung lebu tea. Turta ieu mangsi nu mimitina ngan satetes teh geus hamo salah, tanwande bakal ngagedean, tepi ka meureun engkena mah nu aya teh ngan getih baur jeung cimata katut lebu bae nu aya, totomblogan sakuliahna.

Isukna, kuring merlukeun hudang isuk-isuk, sabab hayang nyaho nasib gorombolan nu peuting tea. Kalawan teu merlukeun heula mandi, sanggeus sibeungeut leos kuring indit gasik leumpang gancang, ngadigdig muru kantor BODM hareupeun pasar. Sadatang-datang kuring hariweusweus tatanya ka mang Kentang nu keur nundutan, masih keneh tugur:

— Gorombolan teh dikamanakeun ayeuna, Mang? Hayang tetela heula yeuh, da bongan peuting mah mata teh geus balap bae jeung belek ²)

Mang Kentang anu keur peutingna kacida reueusna teh, harita mah teu sakumaha beragna. Eukeur mah eukeur, tunduh geus beuki nyelek kana mata, heuay geus teu bisa ditahan urut tugur sapeupeuting, ari harita asa hade gawe teu kapake. Ngajawabna oge semu anu teu barade bari heuay ngahadang kareta-api ka Cirebon ngaliwat:

— Dipulangkeun ka jamanna ³)

— Naha? Naha teu dibikeun ka pulisi bae Mang? Naha kalah ka dipulangkeun? Kumaha mun seug peuting daratang deui, jeung batur-baturna?

Kuring weleh teu ngarti, naon pangna nu matak gorombolan beunang hese-beleke nangkep tadi peuting, isuk-isuk keneh pisan

1) aplen: kendor pisan

2) belek: cileuh

3) jalan : lembur-asal, lemah-cai (Jatiwangi) [ 29 ]geus dipulangkeun deui ka jamanna. Weleh teu ngarti mikiran wawanen para-pamuda lembur sorangan, tepi ka wani kikituanan. Hayang adu-lawung jeung gorombolan teh gembleng meureun, teu disebakeun hiji-hiji kawas harita.

Mang Kentang ngawalon, beuki teu berag bae:

-Lain gorombolan, tapi . . . . .

Can ge anggeus manehna nyarita, kuring geus megat manten, awahing ku hayang buru-buru nyaho kumaha jucungna carita:

-Lain gorombolan? Saha atuh? Kapan gorombolan ceuk Mang Kentang tadi peuting. . . . .

-Nu gelo, si Asim urang Beusi. . . . .

1957
 
[ 30 ]
BULAN
 

AHIR-MINGGU kahiji ngempur di langit nu kabeneran lenglang. Bentang baranang di nu jauh di nu deukeut, ngajaga sang bulan, lir para pangawal raja kabaheulanakeun.

Walungan nu butek hareupeun bioskop Menteng ayem malidkeun sagala nu dikandungna ka hilir. Geus teu katenjo warna koneng atawa beureum, nu aya ngan ukur hideung, lantaran kabeh geus galey 1 jeung leutak. Tapi najan kitu, masih aya sipatna nu asli, seungitna nu ngadalingding mabek kana irung kaangin-angin.

Kuring harita keur ngadago mang Ondo nu ditalatahan mikeun surat ka hiji jalma di wewengkon eta. Eusi surat kuring teu nyaho, da puguh teu dibejaan jeungna deui cenah kuring teu kudu nyaho. Sabot ngadago pikiran kuring kumalayang ka mangsa-mangsa kuring aya di lembur, riung-mungpulung jeung saparakanca ti leuleutik.

Para pamuda ngaliwat jeung pasanganana ka hareupeun, tinggereyem nyarita lalaunan bari pakaleng leungeun. Nenjo batur bisa senang-senang leumpang paduduaan kitu, kuring jadi inget

1) galey:pabaur [ 31 ]ka nasib sorangan, nu can ngarasa tepi ka tahapan dinya. Kuring ngan bati beuki ngahuleng, inget ka jaman di lembur.

Keur jongjon-jongjon ngahuleng, lar aya mojang ngaliwat ka hareupeun. Lebah kuring pisan manehna eureun bari semu kaget, terus neuteup ka kuring. Kuring cengkat, malik neuteup ka manehna.

— Na saha kitu ieu mojang teh, bet neuteup kitu? ceuk kuring dina ati lantaran panon ngarasa peurih sanggeus rada lila neuteup bae cai nu ayem¹) palid.

Manehna terus beuki ngadeukeutan ka kuring, bari pok ngomong semu anu asa-asa:

— Ayat ieu teh?

Bari nanya kitu manehna imut, imut nu kacida endahna da luyu jeung bulan nu imut di langit.

— Ti mana manehna nyaho ngaran aing, sedeng karek ayeuna aing lunta ka dieu teh, kitu oge bane²) bae aya nu ngajak, ceuk kuring dina hate.

Jeroning mikir kitu teh kuring ngarenjag, lantaran teu nyangka tea. Tapi barang ku kuring diinget-inget bari diluyukeun jeung sora nu bareto kungsi sering kadenge, lian ti eta oge mata kuring geus bisa awas ka manehna, kuring ngomong, bari rada kaget:

— Isoh ieu teh?

— Sumuhun, walonna.

— Naha aya di dieu? kuring nanya deui lantaran kuring nyaho yen manehna teh sakola, tur harita lain usumna pere.

— Piknik sareng rerencangan.

— Tangtos sareng Elin, sareng Nani sagala nya? kuring nanya deui beuki wani bae.

— Sumuhun.

— Di marana ayeuna? kuring nanya terus hayang nyaho. Geus kacida pisan sonona ka parakanca, ka nu lenjang ka nu gandang. Geus beuki kacipta bae dina sawangan, Elin nu gendut

1) ayem = leuleuy, laun

2) bane = pedah (Jatiwangi) [ 32 ]jeung Nani nu rangkoas keur sawala sual elmu ukur.

— Ah, naha bet teu ngabarejaan heula piknik teh? Upama ka dayeuh sejen mah kuma dinya teuing, tapi ieu mah ka dayeuh tempat aing sakola, abong mani teu ngabarejaan heula. Geus mariceun meureun ayeuna mah ka aing teh, ceuk pikir.

— Aya di pamondokan, walonna kana pananya kuring.

— Naha atuh Isoh aya di dieu?

— Nyeta duka atuh. Abdi teh padahal mah nembe ayeuna bae lunta ka Jakarta teh. Teu terang-terang acan Menteng ayana palebah mana.

— Dongkapna ka dieu?

— Tadi teh ti pamondokan ngawartosan bade ka jalan sakedap, bade meser dahareun. Na da teu karaos deui suku teh nyusul ka dieu. Eta rupina mah pedah aya Ayat.

— Ah, da Ayat oge nembe ayeuna pisan ka dieu wengi-wengi teh. Sasarina mah wayah kieu teh tos disimbut buni pisan, aya di alam pangimpian.

— Nyeta ari nasib kedah patepang mah nya tepang bae, cenah.

— Rupina, tembal kuring.

Bulan nu ngempur di langit ngetrek bae ngulon, tayohna mah tiriseun meureun, rek neangan tempat geusan nyiruruk sangkan henteu kabulusan teuing. Wawangen ti walungan nu butek¹) tea, masih tetap ngadalingding nebak irung, pon kitu bentang-bentang nu baranang masih keneh noyek, malah siga-siga nambahan. Para pamuda nu ngaliwat ka hareupeun ka gigireun, masih tetep kawas tadi, pakaleng leungeun bari ting gereyem lalaunan, lir nu sungkan pisan kadenge ku anu lian.

— Yat, masih emut kana lalakon kapungkur? manehna nanya.

Kuring asa digebah. Da puguh tadi oge keur jongjon bae ngahuleng inget ka mangsa keur aya di lembur, ari seug ayeuna bet ditanya kitu pisan. Tapi bari api-api teu inget, kuring malik nanya:

— Lalakon nu mana tea?

1) butek: kiruh [ 33 ]— Ah, upama sadaya lalakon mah tangtos moal emut sadaya. Anu pentingna bae, cenah.

Nu disebut penting ku manehna tangtu lalakon mangsa kuring sok reureujeungan keneh jeung manehna. Ari inget ka alam harita, naha ieu hate mani asa disasaak! Naha bet ngadak-ngadak ngambang deui sagala katugenah ka batur kuring, nu unggul enggoning marebutkeun manehna, mojang nu ayeuna aya hareupeun?

KURING sanggeus sawatara lilana wawuh ka manehna, bet ngarasa yen kuring teh saenyana mah micinta manehna. Tapi kuring teu nyaho, yen batur kuring oge — sobat nu pangdalitna — micinta manehna. Kuring sabisa-bisa nyumputkeun rasa ati kuring ka manehna, sangkan batur teu nyarahoeun. Malah batur kuring nu pangdalitna tea oge teu nyahoeun, yen kuring micinta eta mojang teh. Sigana mah manehna oge kitu, sabisa-bisa nyumputkeun katineungna ka manehna. Kuring oge teu nyaho, yen ki silah teh mikahayang. Jadi ngan ku sabab pada-pada teu nyaho, kalawan rerencepan kuring jeung manehna masing-masing mikahayang eta mojang. Tepi ka peuting eta, basa Darsim — ngaran sobat kuring tea — ka kuring mihape surat, sarua jeung jalma nu mihape surat ka mang Ondo peuting ieu, keur manehna.

— Aduh, naha si Darsim teu nyahoeun kitu, yen aing micinta Isoh, tepi ka wani-wani mihape surat ka aing? ceuk pikir.

Demi pangna kuring nyaho yen Darsim mikahayang, lantaran eusi surat nu kudu dibikeun ku kudu dibikeun ku kuring dibaca heula samemehna, da tadina kuring mugen bae mun teu nyaho heula eusina mah.

Tangtu bae kuring heneg ka Darsim lantaran ieu teh, malah boa mah ngewa ka manehna, lantaran geus kumawani nyuratan jalma nu dipicinta. Tapi naha ieu teh ngan wungkul kasalahan Darsim bae kitu? Naha kuring teu milu salah dina hal ieu teh? Lantaran teu bebeja leuwih tiheula, yen kuring micinta Isoh? Padahal kuring teh sagulung-sagalang jeung Darsim, unggal poe babarengan. Tapi dina hirup-kumbuh sapopoena, boh kuring pon kitu Darsim, asana teh can kungsi aya nu kedal ucap nyebutkeun [ 34 ]yen micinta Isoh. Najan sual-sual sejen mah beunang disebutkeun kuring jeung Darsim teh sarasiah. Ngan ieu hal bae nu teu kanyahoan ku salah saurang teh. Nepi ka peuting eta, basa Darsim mihape surat ka kuring — musuhna dina hal ieu mah — sangkan dibikeun ka Isoh.

Tapi kuring masih keneh boga pangharepan najan kitu ge. Muga-muga bae Isoh teu narima katineung Darsim. Muga-muga manehna leuwih katarik ku kuring manan ku sobat kuring. Ngan eta-etana pangharepan, nu masih keneh ngageleng remeng-remeng dina hate. Muga-muga bae enya kitu!

Kacida gumbirana Darsim barang maca surat balesan, yen maksudna geus kaharti. Sedeng cenah manehna keur mikir-mikir keneh kana sual eta mah, pikeun teu ngajaheutan hate Darsim ari rek disebutkeun can mikir-mikir acan mah meureun. Darsim bungah kacida, sagigireun kuring nu beuki sedih bae lantaran nenjo musuh tereh meunang kaunggulan. Naha Isoh pangna nyebutkeun rek mikir-mikir heula teh rek nimbang-nimbang heula antara kuring jeung Darsim kitu? Ah, mun seug Isoh narima Darsim, tada teuing ngarasa ancurna ieu hate kuring.

Kasalempang-kahariwang kuring ngabukti. Isoh leuwih beurat ka Darsim manan ka kuring, lantaran meureun manehna oge sarua bae teu nyaho yen kuring mikahayang teh. Da pangrasa teh mun nyahoeun mah, kuring bakal leuwih rea pangharepan. Tapi, salah saha ieu teh? Naha atuh kuring make teu ngedalkeun katineung kuring leuwih tiheula manan Darsim? Da mun seug leuwih tiheula mah, rarasaan teh kuring nu bakal unggul.

TAPI eta hal teh geus Iila kajadianana. Kuring ngejat ka Jakarta, lian ti rek neruskeun sakola teh, oge rek nyingkahan sangkan hate teu tambah raheut. Dina mangsa-mangsa eta raheut rek pulih deui sabihari, naha manehna bet ngadak-ngadak nangtung hareupeun? Sorangan bae? Ah, naha kuring kudu make inget kana lalakon nu geus kasorang, nu puguh ngan matak nyeri hate bae? Atawa, naha manehna make kudu nanyakeun lalakon kuring? [ 35 ]— Lain ngan rek nganyenyeri mah kitu? ceuk hate.

Kuring ngan ukur imut, pon kitu deui manehna. Imut teh hiji-hijina jalan nu panghadena pikeun ngajawab sual kitu mah. Da puguh kuring jeung manehna geus pada-pada maphum, naon nu ku manehna dimaksud ku 'lalakon ka pungkur'.

— Darsim di mana ayeuna? kuring dadakan bae nyalegorkeun paguneman, da dituluykeun oge ngan matak nambahan raheut bae.

Manehna ngarenjag. Sawatara jongjonan mah ngabetem bae, teu daek nyarita barang sakemek. Tuluy ngeluk, lir nu keur mikir jero pisan.

— Ah,.....

— Ku naon? Di mana Darsim, mana tara aya serat-seratna acan? Berebey manehna bijil cipanon. Kacirina lantaran teu sakumaha lila antarana manehna nyusut panon ku saputangan.

— Nyeta atuh, .....

Kuring teu sabar:

— Ku naon?

— Darsim parantos nikah kamari ieu ka Emah,.........Manehna ceurik, nyeri hate mani asa digerihan meureun. Kasuat-suat ku beubeureuh nu ninggalkeun lunta balayar ka nusa-kabagjan. Leungeunna muntang kana punduk.

Kuring ngan olohok bae meunang sawatara jongjongan mah, nenjo petana kitu teh.

— Naha? Naha atuh teu beja-beja? Naha taya uleman-ulemanana acan? Sareng, naha atuh mana neungteuinganan teuing kitu? omong kuring.

Na aya ambek ka Darsim. Bareto ngarebut ti leungeun kuring, ari ayeuna sanggeus kuring miceun maneh sangkan hate teu nyeri teuing, Darsim nyieun peta kitu. Naha atuh bareto wani rerebut, ari ayeuna rek nyieun talajak kitu mah? Upama harita Darsim aya, geus bae geus, kuring teu bisa ngagambarkeun naon nu bakal kajadian.

— Sumuhun, tembalna, Jadi ayeuna tepang sareng Ayat teh bungah kacida.

— Bade naon kitu? kuring nanya. [ 36 ]Manehna balem deui, neuteup ka kuring, lir nu menta dipi-

kawelas bari neangari puntanganeun.

Rada hamham manehna carita:

— Ayat masih kersa nampi Isoh, nu kungsi nganyenyeri?

Kumaha bungahna hate ngadenge kekecapanana kitu geus lain gambarkeuneun. Ngan hate masih cangcaya, terus jeung atina atawa ngan ukur na biwir eta teh?

— Naha? Leres?

— Tada teuing isinna upama Isoh bohong, tur ka jalma nu kungsi dinyenyeri pisan.

— Ah, nya ieu meureun nu disebut asa hirup nimu deui dina paribasa teh, ceuk kuring dina hate.

Kuring teu kaduga ngawalon. Tapi teuteupan kuring geus cukup geusan ngajawab kana pananya pande kitu.

Barang kuring rek nyarita deui, bet kawas aya nu ngageroan:

— Ayat, Ayat.

Kuring ngarenjag. Ngalieuk ka lebah datangna eta sora, sarta saheulaanan mah poho ka mojang nu rambisak hareupeun.

— Hayu balik ah, cenah.

Barang kuring ngalieuk deui ka lebah mojang nu cikeneh pisan nangtung hareupeun, geus teu aya. Ka mana inditna? Kuring ngalieukan ka tukang ka gigir, tapi weleh teu kapanggih. Malah teu kalangkang-kalangkangna acan.

— Neangan naon? Hayu balik.

Astagah! Jadi kuring sakitu lilana teh tadi ngan ukur ngala- mun! Ngan ukur pikiran bae kumalayang kumacacang ka lem- bur, pedah di lembur aya mojang ngaran Isoh jeung sobat kuring nu ngaran Darsim, nu pada-pada mikahayang eta mojang? Na ngalamun teh bet nenemenan pisan!

Demi nu nyalukan tea mang Ondo anu tas nganteurkeun surat, nu eusina kuring henteu nyaho da puguh teu dibejaan jeungna deui cenah kuring mah teu kudu nyaho.

Bulan beuki ngagidig bae ka kulonkeun, rek neangan tempat geusan nyiruruk lantaran kabulusan diiring bentang-bentang nu nampeu hareupeun masih keneh kaambeu ngadalingding seungit [ 37 ]barang-barang nu geus baur jeung leutak tepi ka teu katenjo deui warnana nu asli, kaangin-angin mabek kana irung, terus nyelendep kana jantung.




Jakarta, 3 Oktober 1957.

[ 38 ]keur ratnawulan

HUJAN MUNGGARAN

AYAT!

KADENGE aya nu ngageroan kuring. Harita teh hujan keur sedeng ngagebret, hujan nu mimiti pisan turun sanggeus manglawas-lawas katiga ngabebetrak. Basa tadi kuring balik ti tukang cukur, karek batuk bae, tacan tepi ka ceurik kawas ayeuna. Tadi mah karek gelap bae pating beledag, ditema ku burinyayna kilat sesela teduh nu mindingan tawang. Tapi barang kuring keur leumpang gancang ngagidig satengah-lumpat, na ari bereyeg teh hujan, estuning teu disangka bakal sakitu rongkahna. Atuh kuring lumpat ayeuna mah, geus henteu ngan ukur satengah-lumpat bae. Teu merlukeun sumpang-simpang heula, da angkeuhan teh geus deukeut ka imah. Baseuh saeutik mah nya jamak bae, bonganna teu boga jas, ceuk pikir. Tapi nya harita pisan ku kuring kadenge aya nu nyalukan. Atuh reg bae kuring eureun heula, najan hujan ngagebret oge.

Sora nu kadenge teh tetela sora awewe, tur jigana mah geus kenal ka manehna atawa manehna geus kenal ka kuring, mana nyalukan oge. Barang dilieuk teh enya bae, sihoreng wawuh kuring ka manehna teh. Manehna katenjo keur ngalong tina jandela, nu katenjo ngan ukur semet dadana bae ka luhur. Manehna ngulang-ngulangkeun leungeunna sangkan kuring nyampeurkeun. [ 39 ]tuluy kuring ngadeukeutan, pakean mah rancucut teu puguh patut.

— Aeh Sri. Iraha ti Bandung? kuring nanya sanggeus pajonghok. Manehna imut, tuluy nyarita:

— Ka lebet heula atuh, hujan.

— Ah teu sawios, baraseuh, walon kuring rada ngadegdeg kabulusan lantaran karek harita huhujanan deui.

Bareto mah basa kuring leutik, meh unggal bereyeg¹) hujan turun bae huhujanan teh, tepi ka aneh lamun pareng sakali mangsa turun hujan kuring teu huhujanan. Najan kolot ngawawadian oge, bisi gering tea bisi titeuleum tea — ari huhujanan bari ngebak di edam — hih, da resep atuh. Tapi geus sakitu taun anu kaliwat eta teh. Ayeuna mah, dina poean pisan anu munggaran kuring hujanneun, awak teh mani ngadegdeg kawas dalung katebak angin bae. Tiris pisan, beda pisan jeung bareto. Padahal mah kapan bareto cihujan, ayeuna cihujan keneh nu ninggang ka awak teh.

— Ku margi hujan diajak ka lebet oge. Da upami teu hujan mah Sri oge manawi nuju jalan-jalan di luar.

— Iraha ti Bandung? kuring nanya deui. Ari pangna kuring nanya kitu, lantaran manehna teh ayeuna mah geus jadi urang Bandung. Bareto mah — kurang-leuwih sataun nu geus kasorang — manehna teh masih keneh tunggal urang Jakarta, sakola bareng sakelas. Tapi tacan ge lila barengna sakola, manehna kaluar, pindah ka Bandung.

— Kamari ieu, dinten Ahad, walonna bari imut.

— Atuh paingan teu tepang, da Ayat harita teh ka Karawang, ka mang Acid. Emut keneh ka mang Acid, nu janggotan tea? kuring nanya ka manehna, sugan masih keneh ingeteun ka sobat nu ngaran Acid, anu tas dianjangan ka imahna, di Karawang.

— Tangtos bae emut mah. Tos kelas sabaraha ayeuna?

— Kelas dua, tembal kuring. Sri di mana sakola ayeuna? kuring nuluykeun ngomong, da asa kapalang nyarita ngan sapotong teh.

— Tetep keneh sakola mah, mung ngalih tempat bae. Ari kapungkur di Jakarta, ayeuna matuh di Bandung. Antos sakedap nya, omongna bari tuluy manehna asup ka jero. Kuring teu kaburu

1) bereyeg: breg. [ 40 ]ngahulag — kuring geus nyaho tangtu manehna rek nyokot cai, da kitu kaumumanana di urang mah — sabab manehna kaburu asup manten. Atuh antukna mah itung-itung nungguan manehna kaluar deui, kuring ulak-ilik ka sakuliah eta rohangan, nenjoan papaes anu. pating talabing l) dina bilik — aeh dina tembok ketang.

Eta teh rohangan-tamu. Korsi nu aya di dinya mebel, tang bae lengkep jeung mejana. Di pojok beulah wetan sisi jandela deukeut manehna tadi nyalukan, aya pot kembang. Barang kuring arek gek diuk, mani asa haroream pisan. Inggis bisi dipaj keun ku batur ngompol, da rancucut tea. Kuring luak-lieuk ka di ka dieu, sugan aya korsi biasa keur pangdiukan, tapi weleh | manggih. Lian ti eta, ku manehna kuring dipaksa kudu diuk di korsi anu sakitu endahna pikeun kuring mah, da di imah sorang mah teu manggih anu kaya kitu teh. Atuh gek bae kuring mani diati-ati pisan, da bisi baseuh saluarna.

Teu sawatara lilana manehna kaluar deui, mawa cai jeung lala- wuhna. Sok ditunda dina meja, bari henteu weleh imut.

— Tiris manawi nya Yat, omongna.

— Kantenan, da nembe ayeuna huhujanan deui teh.

— Na kapungkur sok huhujanan kitu?

— Kapungkur, keur budak. Na panginten mah Sri oge sami bae omong kuring bari neuteup. Lah, eta panon. Lah eta beungeut, eta buuk, eta sagalana! Bareto kuring kungsi katarik ku manehna. Malah ari katarik mah tepi ka ayeuna oge masih keneh, da puguh tara lesot deui rasa nu kararitu teh ti kuring mah. Komo deui ayeuna, dina mangsa tepung deui sanggeus paturay sataun-taun parat 1). Kuring hayang boga pamajikan kawas manehna teh Hayang unggal poe sare bareng jeung manehna, hayang dahar unggal poe bareng jeung manehna. Tapi ari saenyana mah lam kuring mikahayang manehna teh taya bedana jeung anu ngaga musuh ngondang lawan. Sabab dihenteu-henteu oge geus tangtu manehna teh loba anu mikahayang. Lain ngan kuring jeung Acid bae, tapi rea deui anu lianna, geus lain wilang-wilangeun. Rea anu mikahayang manehna lantaran kageulisanana, rea anu micinta


1) talabing: nalabing, ngadingding, ngelir (Ji atiwangi). 2) Sataun-taun parat: sataun jeput; saparat jalan; sapanjang jalan (Jatiwangi). [ 41 ]sabab keureutan-beungeutna, aya oge anu cinta lantaran nenjo bitisna anu saimbang jeung warugana anu lenggik narik ati. Kuring katarikna ku manehna teh lain ukur ku panonna, ku irungna, tapina ku sakabehna. Lain ngan ku buuk atawa sukuna bae, tapi ku kapinteranana, kageulisanana, keureutan-beungeutna, jeung lian-lianna. Kuring micinta manehna, lantaran manehna dipicinta ku kuring. Najan rea halangan oge, rea lawan jenuk satru, rarasaan kuring hamo eleh atah-atah ari enggoning marebutkeun manehna mah. Demi hasil atawa gagalna mah kuma engke, lain bagian kuring anu nangtukeun. Tapi memeh kuring jeung nu lian bisa ngalaksanakeun ieu kahayang, manehna kaburu ngejat ka Bandung. Taya bedana jeung Neng Eha dina ’Lain Eta’ lebah ngejatna mah, Neng Eha anu ngejat minggat ka Cianjur tea. Bedana teh ari Neng Eha mah ngejat ku sabab katohyan ngalampahkeun serong, ari Sri mah lantaran kolotna pindah ka Bandung.

Ari anu pangtetelana pisan mah sababna Sri ngejat pindah ka Bandung teh lantaran manehna kacida pisan ijideunana ka Sidik. Ari ku kituna tea mah pantes oge, da puguh Sidik teh ceuk barudak oge budak cunihin jeung teu uyahan anu pangpangna di kelas. Najan kuring oge sakapeung mah da teu panuju nenjo lampah Sidik teh. Eta da, sok sakama-kama pisan noelan raga barudak awewe teh. Ari noelan budak sejen mah kuma dinya teuing, kuring ge meureun mo sakumaha malirena. Tapi mungguhing noelan Sri mah, jalma anu ku kuring dipicinta, atuh ke heula. Malah kuring mah ku sabab micinta tea, nebuk pakeanana oge can ngalaman.

Meureun batur bakal nyebutkeun yen kuring teh leutik-burih, borangan. Aya roy hayang tapi bet eraan kitu. Keun bae, ku kuring diaku, da memang geus kitu sipat kuring mah, ari micinta jalma teh sok tara wani tual-toel kawas Sidik. Ulah bon noel, nyarita oge tara. Ari kabeneran boga pangabutuh, upamana bae rek nginjeum pamupus atawa patlot — saumur sakola di dinya kuring can ngalaman boga patlot atawa pamupus atawa garisan — tara ieuh togmol ka manehna. Eta da rarasaan teh letah bareurat pisan, mani kawas anu dibangbaluhan beusi bobot sarewu kati. Padahal kuring nyaho, yen nu boga eta barang teh manehna. Ari [ 42 ]carana kuring nginjeum ka batur sabangkuna. Sarta ku sabab tetela manehna mah teu bogaeun, atawa meureun keur diinjeum ku batur, nya nu diinjeuman teh mangnginjeumkeun ka Sri.

Atuh ayeuna kuring bisa adu-hareupan jeung manehna teh ngarasa bungah pisan, asa kaurugan menyan-putih mun ceuk paribasa tea mah. Basa tadi di jalan kareta-api kuring nyaho yen anu nyalukan teh manehna, hate geus pinuh ku mangrupa-rupa kahayang, ku mangrupa-rupa kagumbiraan lantaran tangtu pibisaeun ngungkab eta kabeh. Tapi lian ti eta kagumbiraan jeung kanugrahan teh, kuring ngarasa teu senang saeutik lantaran bisi batur anu nangenan. Kumaha lamun seug batur anu bareto pada pada mikahayang, ayeuna nangenan kuring nepungan Sri? Kumaha mun seug hatena ngadak-ngadak muntab-muntab jeung napsupna ngagugudag kawas seuneu di Angke kamari ieu, lantaran nenjo jalma anu dipicinta disampeurkeun batur? Najan ari saenyana mah kuring boga alesan, yen datangna ka dinya teh lain kahayang niat sorangan, tapina dicalukan. Kapan geuning ceuk si lengser tea mah basana oge: 'Cunduk laku dipiutus, datang ngemban piwarangan, lain bet niat sorangan'. Barina oge kuring teu nyaho-nyaho acan manehna aya di Jakarta, da bareto geus pindah ka Bandung sarta lila teu tepung-tepung. Tapi ari teu tengtrem mah tetep bae, bisi kumaonam.

Na da ari geus adu-hareupan mah sagala kahayang jeung kagumbiraan anu tadi geus arajol-ajolan teh bet ngadak-ngadak laleungitan deui, teuing ka marana losna. Ngan kagumbiraan bae anu teu musna kabawa palid ku cihujan anu ngucur na awak teh, kagumbiraan lantaran tepung deui jeung jalma nu dipicinta sanggeus paturay sataun parat. Geus diniatan tadi mah rek nanyakeun sagalana, tapi sanggeus gek diuk dina korsi anu ngenyod empuk bet ngalelep deui. Di hayoh-hayoh sina mumbul deui ge kalah ka bosen dagdigdugna bae, hasil mah henteu. Bating, téu nongtot buntut-buntutna acan, mun enya tea mah kahayang teh aya buntutan. Atuh antukna mah biasa bae, ngawangkong anu teu puguh.

Hujan beuki lila beuki gede, dibarung ku pating-beledagna gelap heuay tina sesela teduh. Poe geus beuki reupreupan — kuring dicukur teh pasosore —, najan saenyana mah ti tadi oge barang bere-

42 [ 43 ]yeg hujan turun geus hese ngabedakeun antara poek jeung caang. Ngan karasa yen dunya geus nyerelek maju ka peuting, itung-itung mirig hujan anu maju ngagedean. Cihujan pating paralak kana kenteng, mabukan jandela anu geus ditutup-tutupkeun. Atuh awak anu ti tadi geus ngadegdeg kabulusan teh beuki angot bae, huntu munggah norontok, demi tuur nyorodcod bleg bae anu hujaneun di towangan¹) nu lieuk leuweung lieuk lamping, jauh kaditu ka dieu. Sangkilang harita kuring ngeunah-ngeunah diuk dina korsi empuk geus kaya kitu, atuh komo lamun harita aya di to-wangan, atawa aya di leuweung, atawa dina rakit kawas si Dirun dina 'Carita si Dirun' yasana bapa Samsudi mah.

Najan sakitu lilana kuring ngobrol, tetep bae maksud anu tadi rek dikedalkeun mah teu embol-embol acan. Cai mah geus saba-baraha gelas anu pupuntenan kana tikoro, jeung kuehna deuih, tapi didago-dago teh bet ambleng bae, taya nu pupuntenan kaluar. Kabeh ge ngan asup bae hayangna teh, abongkena hujan, taririseun meureun, euweuh anu pangangguran kaluar mah. Cai jeung kuweh arasup ting-bulubus ngaliwatan tikoro, tiisna hawa-nyecep neumbag sungsuam, jeung rea-rea deui. Tapi ari nu kaluar bet taya hiji-hiji acan, padahal anu dipikabutuh teh ngan hiji-hijina, omongan anu nyebutkeun yen kuring micinta manehna. Tapi bating, teu buntut-buntutna acan!

Sakali-kalieun manehna nanyakeun babaturan anu geus ditinggalkeun bada manehna pindah ka Bandung. Nya kitu deui, kuring oge sakali-kalieun nanyakeun, saha batur-batur na ayeuna di Bandung. Jeroning nanya kitu teh hate mah geus kebek ku timburu, da bisi — malah geus pasti — aya sobat-sobatna di Bandung anu mikahayang manehna, kawas bareto kuring jeung sawatara batur nu lian mikahayang manehna basa manehna masih keneh di Jakarta. Geus pasti manehna loba anu micinta, sahenteuna saruareana jeung anu micinta basa di Jakarta, lamun teu arek ngareaan oge. Ari kana ngurangan mah pimanaeun, da sejen karasana kana hate oge.

Ku kuring dicaritakeun naon-naon anu geus kajadian di Jakarta

1) towangan: jalan antara dua tempat nu ngabulungbung, kenca-katuhueunana taya imah atawa wawangunan sejen, ngan tatangkalan katut pasawahan bae (Jatiwangi).

43 [ 44 ]sanggeus manehna pindah ka Bandung. Manehna nyaritakeun naon-naon anu kapanggih jeung kaalaman sanggeus manehna jadi urang Bandung — atawa leuwih hade urang sebut bae jadi urang Bandung deui, da manehna teh puguh terah ti wewengkon Bandung — kalawan gumbira pisan, da karek panggih deui, Kolotna mah ti tadi oge teu pipilueun narepungan, da ngarasa lain bageanana meuren. Ngan tadi bae basa kuring mimiti asup, nepangkeun. Ari geus kitu mah ka jarero deui bae, da cenah: 'Nu anom mah sareng nu anom deui bae, emang aya padamelan saeutik'. Tuluy asup ka jero, sanggeus kuring unggeuk tanda satuju. Unggeuk teh tadina mah ambeh gampang nyarita ngedalkeun kagandrung ati, tapi nya eta ceuk kuring oge, bet teu ku hanteu, barang geus adu-hareupan mah ngadak-ngadak laleungitan deui teu pupuguh, kawas anu boga aji halimunan bae. Lamun ceuk kai dalang mah meureun 'leungit tanpa lebih ilang tanpa karana' pibasaeunana teh. Nya atuh antukna mah biasa bae nyarita teh, da kuring tetep teu bisa milih wancina anu mustari pikeun ngedalkeun kagandrung. Letah dibabandulan ku beusi bobot sarewu kati rarasaan teh, mun kuring geus boga niat nyaritakeun sual eta. Da buktina ari nyarita sual anu sejen mah asa babari pisan, jilinit,¹) jilinit bae cenah mun dibasakeun kana mobil anu laju nyemprung mapay jalan leucir Jakarta ka Puncak mah.

Tepi ka peuting hujan can raat keneh bae. Atuh tungtungna mah kuring maksakeun maneh balik ka imah, da teu jauh ti dinya, tangtu bae babaseuhan. Najan manehna ngahulag oge, nyaram ulah waka balik, malah tepi ka nitah meuting sagala di dinya, tapi hate henteu mikeun. Kuring maksakeun balik, bari teu narima rek dibere nginjeum jashujan oge.

Barang rek jung pisan balik, manehna mikeun amplop ka kuring. Ku kuring eta amplop teh tuluy diendongan¹), da ari rek dibaca di — dinya mah bisi diserangkeun ku kolotna ti jero. Jeungna deui, bisi ungelna surat nu dina amplop teh ..... manehna micinta kuring.

Kuring lumpat gagancangan, hayang buru-buru tepi ka imah.

1) jilinit: julunut, geleyer, semprung (Jatiwangi). 2) diendongan: disakuan, dikantongan (Jatiwangi).

44 [ 45 ]Hayang buru-buru maca suratna.

Sadatang-datang teu sabar deui kuring muka eta amplop anu singhoreng henteu dirapet. Pangira tangtu lantaran ieu nang nyieun tadi, geus taya waktu geusan ngarapet heula: barang kuring maca eusina, bet ngarasa lucu pacampur jeung ambek. Lucuna teh lantaran kuring boga angkeuhan anu nemen teuing padahal eta teh nyalahan, ari ambekna da ku henteu nyana. Dina eta surat teh — anu teu lian ti surat-uleman — disebutkeun yen kulawargana ngaharepkeun pisan kuring jeung anu lianna anu meunang uleman ti manehna datang dina waktu diresmikeunana papacanganana ka Sidik. Eta anu teu nyana teh, anu ngalantarankeun kuring ngarasa lucu jeung ambek, manehna bet tungtungna papacangan jeung Sidik, anu sataun nu geus kaliwat kacida pisan dipikaijidna. Tetela Sidikna teh Sidik cunihin tea, da di dinya disebutkeun lemburna jeung ngaran kulawargana deuih.

— Paingan tadi barang aing nyebutkeun yen si Sidik kaluar ti sakola manehna ngan ukur imut, singhoreng anuna, ceuk kuring na hate.

Eta amplop teu terus dibaca, lung bae dialungkeun ka juru, sina pabaur jeung runtah, bongan da mapanas wungkul.

Hujan terus ngagebret teu daek raat tepi ka isukna deui. Hujan anu munggaran turun di panyabaan mawa kajadian anyar kana kahirupan kuring sabagi jalma anu teu weleh micinta manehna, anu sawatara mangsa deui nu bakal kasorang tangtu geus jadi juragan-istri Sidik, jalma anu tadina kacida pisan dipikaijidna ku manehna.

Hujan munggaran teu daek raat, sarua jeung teu daek raatna kaheran jeung kakeuheul kuring ka Sidik lantaran eta kajadian — kajadian waktu hujan anu munggaran.



Jakarta, 15 Oktober 1957.

[ 46 ]

NU LEUWIH PENTING


BAPA

MANI geus kawas hayam keur endogan bae, estuning henteu pisan ngeunah cicing. Meusmeus jig ka ditu, jig deui ka dieu, cilingcingcat teu puguh polah, semu anu bingung pisan.

— Tangtu aya deui pamenta indung-tere anu anyar, ceuk dina pikir.

Biasana oge ngan ari aya pamenta ti indung-tere bae bapa boga peta kitu teh. Huleng-jentul kawas bakatul teu beunang ditanya-tanya acan. Bapa teu bisa ngalawan pamajikanana. Sagala pamenta nu holna ti pamajikan, geus samar hamo tinekananana. Kudu bae gancang ditedunan, sangkan nu jadi pamajikan ngarasa sugema. Meureun pedah bapa inget kana paribasa yen sagala kabagjan teh jolna ti pamajikan, mana kitu oge. Najan batur mah nganggap yen gudang-kabagjan teh nu jadi anak, tapi bapa boga pamanggih sorangan dina hal ieu mah. Sabab, ti mana holna anak, ti mana jolna kabagjan, lamun lain ti pamajikan. Kapan sanggeus boga pamajikan sarerea oge bogana anak teh, jaba mun anak di luar tikah mah.

Ongkoh sabab can tangtu anak jadi gudang kabagjan teh. Mun seug enya mah kabagjan teh holna ti anak, meureun bapa ngarasa sugema boga anak kuring teh. Sedeng buktina mah henteu. Malah bet semu nu susah kacida bapa boga anak kuring. Pedah eta meureun, kuring tara nurut kana sagala parentahna, sedeng kapan mah mikahayang sangkan kuring nurut. Tapi mun ku urang dijujut [ 47 ]deui mah lain eta sababna. Mun seug bareto bapa teu pepegatan jeung indung kuring, bapa meureun moal ngarasa susah boga anak kuring teh. Sabab masih katalian ku pamajikanana, indung kuring. Tapi nya ku sabab ieu pisan, sabab maranehna parepegatan, akibatna karasa ku kuring, anakna.

Maranehna parepegatan, tuluy karawin deui. Bapa kuring nya kawin deui ka wanita nu jadi indung-tere kuring, ari indung kuring kawin ka jalma anu ayeuna jadi bapa-tere kuring. Sarta ku sabab bapa kawin deui ka nu lian, atuh sumber kabagjaanna oge milu pakoasi. Ari bareto mah indung kuring, nepi ka kuring milu kaceretan, ari ayeuna nya indung tere kuring buktina. Jeungna deui, upama enya mah anak nu jadi sumber kabagjan teh, meureun bapa moal pusing-pusing teuing kawas ayeuna. Da buktina bapa-tere kuring ngarasa bagja kacida kawin ka indung kuring teh. Sabab indung kuring boga anak, nya kuring jeung lanceuk kuring buktina, sedeng manehna can boga, da puguh bujangan keneh basa ngarangkep ka indung kuring teh.

Bapa-tere kuring kacida pisan nyaaheunana ka kuring jeung ka lanceuk teh, lantaran kuring anak indung kuring nu ayeuna jadi pamajikanana. Sarta sabab pamajikan teh sumber kabagjan, atuh kuring oge kaceretan ku kaasih bapa-tere. Mun seug indung-kuring teu boga anak mah, kuring teh moal ngarasa nyaahna nu jadi bapa-tere. Nya kitu deui bapa kuring. Lantaran indung-tere kuring nu ayeuna teh boga anak, atuh anakna ge kaceretan kanyaah bapa. Mun kongang mah da sakalian ku kuring disebutkeun bae, yen kanyaah bapa nu bareto tamplok ka kuring jeung lanceuk teh, ayeuna mah bahena ka anak-tere bapa jeung anak-anakna ti pamajikan nu ayeuna, nya indung-tere kuring tea buktina.

Tah, ku sabab bapa boga anggapan yen sagala kabagjan teh ti pamajikan pisan holna, atuh bapa oge satekah-polah ihtiar sangkan nu jadi pamajikan senang ngahenang-ngahening salawasna. Ari jalanna sangkan eta maksud kahontal, taya lian iwal ti kudu nedunan sagala pamenta nu jadi pamajikan. Ulah bon anu kadada-kaduga, dalah anu menta pangorbanan leuwih ti kitu oge kudu ditedunan. Kumaha bae ari carana mah, nu penting mah lebah nyumponanana. [ 48 ]Nya ku sabab ieu pisan deuih, bapa kacida pisan soson-sosonna — digawe teh. Lantaran nu jadi salaki teh kudu nyumponan pamenta pamajikan, jadi kudu enya-enya digawe. Patokan sepi ing pamrih rame ing gawe teh dijalankeun enya-enya ku bapa mah. Demi pamajikan nu kudu ngarasa senang salawasna, bapa suka-lilah pisan toh pati jiwa raga teh. Najan naon bae oge anu bakal kasorang, teu piduli¹). Pokona, anu pangpentingna, pamajikan kudu senang sarta rumah-tangga teu tiiseun.

Tepi ka antukna mah bapa teh geringan. Sababaraha kali utahna oge. Atuh ari utah sautah-utahna mah ku kuring oge moal rek dicatur di dieu. Tapi sabab utahna teh lain utah samanea matak ku kuring dicaritakeun oge. Utah! Sakali borolo teh geus kudu bae aya nu beureum-beureum milu kaluar. Bapa teh utah-getih, sabab sepi ing pamrih rame ing gawe tea. Tapi, demi pamajikan anu kudu ngarasa senang salalawasna, teu piduli. Komo mun ngingetkeun mah, yen pikeun ngahontal hiji pamaksudan teh perlu pangorbanan. Tah, batuk nu dibauran ku utah-getih tea oge nya mangrupa pangorbanan. Pangorbanan nu suci, „demi” cinta pamajikan nu teu beunang laas pedah aya pamenta anu teu kacumponan. Kumaha bae akalna mah, sangkan eta katedunan. Sarta nurutkeun buktina mah, batuk jeung utah-getih ge mangrupa pangorbanan tea kapan.

Nya kitu deui harita. Bapa geus teu ngeunah cicing, dumeh aya pamenta pamajikanana anu kudu buru-buru ditedunan. Najan kuring can nyaho oge naon eta pamenta teh, kuring geus bisa mastikeun. Malah teu ukur kitu bae, da saenyana mah kuring teh can nyaho-nyaho acan naon nu jadi sabab pang bapa nepi ka bingung kitu. Ngan nurutkeun pangalaman nu enggeus-enggeus, tina lacak nu geus kasorang, asana hamo mengpar-mengpar teuing lamun kuring boga sangkaan kitu oge.

Barang kuring asup ka jero, kasampak bapa keur ngahuleng bae dina korsi di pangkeng. Katenjona semu anu bingung naker. Geus sababaraha poe bapa jig ka ditu los ka dieu, neangan jalma anu bakal bisa dipentaan tulung, enggoning nyanghareupan pamenta pamajikan. Teu kalis ku sepi ing pamrih rame ing gawe pamenta teh masih ngaburudul keneh bae unggal bulan. Malah ari diitung-

1) piduli: paduli (Jatiwangi). [ 49 ]itung mah, pamenta nu unggal bulan tea mah geus mangrupa acara maneuh. Eta mah geus aya dina rarancang sepi ing pamrihna, dina ugeran balanja. Ari nu matak bingung mah lain eta, lain. Kuring bisa nangtukeun yen lain acara-maneuh nu ayeuna disanghareupan teh. Tapi meureun nu disebut selinganana tea. Da kapan ari jang acara-maneuh mah geus aya cadangan ladang sepi ing pamrih tea. Jadi najan can nyaho oge naon-naonna, moal salah-salah teuing mun kuring wani nyebutkeun yen ayeuna nu dipikabingung teh acara-bebas.

Sabab kuring geus rada lumayan oge wanoh kana sipat nu jadi bapa, kuring teu nanyakeun nanaon. Kacida pisan pibahyaeunana, mun kumawani tatanya teh. Malah ari keur kitu teh bapa mah satekah-polah ihtiar sangkan batur teu pipilueun. Ngahuleng bae di kamarna tempat digawe, tepi ka deng magrib mun dimimitian ti asar, atawa tepi ka deng isa mun ngamimitianana ti magrib. Upama geus disada bedug teh, eureun heula, salat. Meureun itung-itung istirahatna mun lalajo bioskop tea mah. Ari geus rengse salat mah, hih teu beunang dipuntangan, ngahuleng deui bae nuluykeun hanca. Ari geus manggih jalan karek lugay mun dibasakeun ka nu tatapa tea mah. Berag deui sabiasa, teu pisan aya tapak-tapakna urut mikiran kasusah teh. Tuluy heureuy deui jeung adi-adi kuring ti indung-tere nu ayeuna, ngadongeng deui.

Sabab kuring harita nenjo yen bapa keur huleng-jentul bae, kuring teu nanya nanaon. Diantep bae, da taya gunana nanya oge. Paling untung meunang mata buburileukan pikagigiseun.

Bapa ngan ukur ngareret ka kuring nu tuluy diuk dina korsi hareupeunana. Teu nanya sakecap-kecap acan, tas ngareret teh leng deui bae mikir. Ngareret mah itung-itung pilem pegat bae, ari geus nyambung deui mah maen deui bae sabiasa, ngahuleng. Kuring oge teu obah-obah, cicing bae ngadagoan ditanya. Nya tungtungna mah bapa teh nanya:

— Iraha datang?

— Tadi, walon kuring kalawan gumbira pisan. Ari pangna gumbira mah da atuh puguh ieu teh mangrupa hiji jalan.

Upama bapa geus daek nanya mah taya hesena mun kuring nuluykeun nyarita oge. Geus euweuh pikarisieun, henteu kawas [ 50 ]tadi basa bapa ngahuleng keneh. Ayeuna mah rek nanya naon bae oge teu hese, da jalan geus ngabulungbung, nang¹) maprasan²) bapa sorangan. Bapa nu muter pilem-ekstrana, kuring nu ngalalakonkeunana.

— Pa, kuring nuluykeun nyarita da salawasna oge asa kapalang mun nyarita sapotong-sapotong teh.

Bapa ngalieuk, tuluy neuteup rada lila. Kuring jadi asa-asa neruskeun omongan teh. Da bongan kalah ka diteuteup kitu. Tapi sanggeus ngawani-wanikeun maneh mah nya kaluar omongan teh:

— Adegan nu di pungkur teh kanggo naon pa?

— Keur dapur, tembal bapa. Aya naon kitu? Maenya¹) maneh can nyaho mah.

— Ari terangna, terang ti saha? kuring nanya deui, malikkeun pananya bapa. Sareng deui, maenya dapur mani ageung pisan kitu mah.

— Lain ngan dapur bae, tapi jang tempat aki ongkoh.

— Na bakal kersaeun kitu? Moal-moal acan kersaeun aki di dinya teh. Upami ngalereskeun nu aki bae mah kapan henteu miceunan ongkos pa.

— Bapa oge hayang menerkeun mah. Ngan ari modalna euweuh rek kumaha geura.

— Kanggo ngalereskeun teu aya, ari ngadamel nu anyar aya. Ti mana?

— Puguh kahayang ema eta teh, Pay. Lain kahayang bapa sorangan, da bapa mah geus ngarasa cukup ku dapur nu ayeuna oge. Tapi eta teh kahayang ema.

— Ema deuih nu mikahoyong aki di dinya teh? kuring nanya.

— Enya, walon bapa.

Barang ngadenge walon bapa kitu teh saenyana mah geus kaampeuh ku hayang seuri. Da karek harita kuring ngadenge yen indung-tere kuring boga niat ngamumule mitoha teh. Asa gugur teu angin dunya teh ganti sipat, nyarungsuman. Naha geus


1) nang: pondokna tina beunang. (Jatiwangi).

2) maprasan: mapasan (Jatiwangi).

3) maenya: pondokna tina moal enya (Jatiwangi). [ 51 ]tereh kiamat kitu? Ceuk hate. Upama teu hareupeun bapa mah meureun geus ngabarakatak, bakat ku kagugu ngadenge eta omongan. Ngan untungna weh kuring masih bisa nahan piseurieun anu geus nyelek kana sungut, tepi ka henteu budal kaluar kawas nu baralik lalajo pilem India, pagelek-gelek.

— Moal kersaeun pa, omong kuring.

— Enya ari kana moal kersaeunana mah Tapi eta teh pamenta ema, lain niat bapa sorangan.

Tembong deui bae kalemahan bapa teh: teu bisa mungpang kana parentah pamajikan. Meureun mun si Lengser tea mah basana ge: 'Pun, pangulu tandang! Sumuhun darma panyaur tarima ti pangandika; tuang kuring teu lamba nya ngadeuheusan, rek amit mundur'. Tuluy soson-soson ngalampahkeun parentah tea, 'Cunduk dipiutus, datang dipiwarang, ngemban pangandika ti nagara'. Sanggeus digawe, lain ngalungsar ngeureunan palay kawas si Lengser, tapi nyaluuh jeung utah-getih.

— Henteu direngsekeun, pa? Teu ningal-ningal nu didamel tos lima dinten teh.

Bapa ngarahuh. Semu bareurat pisan rek nyarita teh, kuring teu malikan deui omongan, da cukup ku sakali oge. Jeungna deui, bisi disebut teu adab henteu nyaho tatakrama, nanya kolot disaruakeun jeung ka sakitan. Ongkoh da angkeuhin teh bapa tangtu ngajawab.

Sarta enya bae sapanyangka henteu nyalahan, kawas pisan kuring teh anu weruh sadurung winarah, boga aji panarawangan kawas Gatotkaca bae. Bapa ngajawab, najan semu nu sungkan oge:

— Kakurangan modal.

— Tos genep sasih eta teh, mun teu lepat mah, ti barang ngadamel lelemahna.

— Enya, tapi modalna beakeun. Nu matak dientet-entet teh sabab modalna lantis manten, kudu nungguan heula gajihan. Geus dikira-kira bulan kamari teh modalna bakal cukup. Tapi nya eta, ku aya-aya bae.

— Aya naon pa? kuring nanya bari semu heran pedah modal oge kawasna mah milu satia-kawan jeung cai di Jakarta,

1) nguntap: ngunghak (Jatiwangi). [ 52 ]. Kuring can nyaho naon sababna, naon nu ku bapa disebut aya-aya bae teh, da kuring mah ayana di lembur teh ari kabeneran keur pere bae, kitu oge arang-langka cicing di imah sorangan.

— Ema aya pamenta, mangka keur kakandungan pisan. Mun teu keur kakandungan mah moal waka ditedunan ku bapa teh. Tapi lantaran kakandungan, nya kapaksa bapa teh kokotetengan ka ditu ka dieu, menta tulung.

— Naon kitu pamundut ema teh?

Sabot nanya kitu teh pikir mah mani geus asa jadi awewe bae. Hayang ngalaman jadi awewe, sangkan ngalaman reuneuh, sarta ari geus reuneuh gampang ditedunana mun aya pamenta teh. Da kapan cenah pamenta nu reuneuh mah teu beunang dipungpang, bisi ngelay orokna. Tapi hayangna jadi awewe teh kuring mah ngan ari inget kana keur kakandungan bae, inget yen sagala kahayang mustahil kana henteu tinekanan. Ari geus inget kana ngalahirkeun atawa kudu nyanghareupan bae hawu unggal poe mah, bararaid teh teuing.

Bapa siga nu asa-asa deui bae rek nyarita teh. Semu nu cangcaya, kuring hamo percaya. Bareurat pisan ngengabna biwir teh. Kuring ngan ngadago bae, teu malikan deui nanya da bisi disebut nguntap¹) ku jelema. Ongkoh da kuring geus wanoh kana sipat nu jadi bapa, yen bapa teh tangtu bakal ngajawab pananya kuring.

Semu nu sarungkan jeung teu percaya dibarung ku asa-asa bapa ngajawab eta pananya, mani meh henteu kadenge:

— Piknik ka Jakarta, ...................

Jakarta, 12 Desember 1957.
 




1) ngunghak (Jatiwangi) [ 53 ]

CENGCELENGAN


KALAWAN ATI-ATI pisan kuring asup ka kamar lanceuk. Luhureun kastok di panto aya cengcelengan, nu rada meueusan gedena. Leungeun katuhu nyekel peso, ari nu kenca lalaunan mukakeun panto. Kuring rek nyokelan receh tina eta cengcelengan, jang meuli lalawuh sangu.

Lanceuk jeung pamajikanana arindit ka lembur. Di lembur, alo kuring (jadi anak lanceuk — gering payah. Karek kamari telegramna katarima. Sarta kumaha susahna nu jadi kolot lamun ngadenge yen anakna meunang tunggara, gering jeung sajabana, kawasna unggal jalma nu geus ngalaman jadi kolot mah teu bireuk deui. Nya kitu deui lanceuk kuring. Leos ka ditu, leos deui ka dieu, manggihan babaturan nu sakira bakal bisa dipuntangan jang ongkos.

Tadina mah lanceuk rek ka lemburna teh isukan. Geus asak dibadamikeun ieu teh, malah sakalian geus badami yen hadena mah pamajikan lanceuk teh pikeun sawatara waktu mah matuh di lembur. Sarta ieu teh geus disatujuan ku sarerea. Ngan ku lantaran pisan aya telegram, jadi sakabeh rancangan teh kaweur. Tadi isuk, kana kareta anu pangisukna, maranehna arindit. Ngarah rada isuk keneh geus tepi ka lembur.

Lanceuk ninggalan duit keur kuring, cukup ari keur meuli [ 54 ]deungeun sangu tepi ka lanceuk datang deui mah. Tapi ku sabab kuring can bayaran sakola, tadi isuk keneh oge eta duit teh geus dipake nombokan bayaran. Saenyana mah kuring geus boga cadangan keur mayar sakola teh. Tapi eta duit teh kapake jajan. Jadi duit nu ti lanceuk jang bekel sabot ditinggalkeun teh ku kuring dipake bayaran. Malah eta oge masih aya keneh kakuranganana.

Sarta ayeuna, balik ti sakola, beuteung geus karasa kukurubukan menta eusi. Sasarina mah jam sakieu teh kuring geus kari am bae dahar. Keur aya keneh lanceuk mah. Tapi ayeuna mah geus beda deui kaayaanana. Lanceuk tadi isuk indit ka lembur, sarta duit nu disesakeun jang bekel geus kapake. Sedeng beuteung embungeun kosong, dan kuring masih hayang keneh panjang umur. Ulah bon ayeuna lain wayahna, najan dina mangsana puasa oge arang langka kuring ngalakukeun.

Jadi kuring maksakeun maneh rek nyokelan duit tina cengcelengan tea, jang ngaganjel-ganjel beuteung lamun hasil nya usaha. Kuring ngalampahkeun kieu teh lain ngan karek ayeuna bae, tapi geus sering. Jadi kuring teh bisa oge disebutkeun yen dina ieu lapangan mah geus boga pangalaman. Nya kitu tea bae, ari kuring kabeneran keur teu boga duit sok nyokelan cengcelengan teh. Sasarina sok meunang aya kana saringgitna.

Biasana kuring maling tina cengcelengan teh ari kabeneran batur keur suwung. Aya ceuceu keur indit ka dulurna, aya keur lanceuk indit-inditan. Tapi tara ari keur aya jalma mah, bisi kaperegok.

Mimitina nyokelan teh lamun kabeneran aya kareta-api ngaliwat. Ku sabab kareta teh ngaliwat ka gigireun imah pisan, atuh parayakna¹) receh dina cengcelengan teh moal kadenge ku sasaha, da kasilep ku gurudugna sora kareta. Sedeng lamun keur taya kareta ngaliwat mah tangtu aya batur nu ngadengeeun kudu ditonggeretkeun heula, nu copongna sina clok ti handap. Di mana geus jungkir, kakarek praktek, bari nangkarak dina kasur. Rada hese oge nyokelanana teh, bubuhan liangna teu pati gede, ngan sed


¹) parayak: sora barang-barang laleutik ninggang nu ipis-ipis, upamana karikil ninggang kenteng. [ 55 ]saeutik tina talen. Lian ti eta oge, lantaran teu ngarasa lugina, bisi kaburu lanceuk atawa ceuceu datang, ari ngadenge anu pakeretek teh mani sirikna teu tibuburanjat bae. Tuluy bae eta cengcelengan teh buru-buru dibalikkeun deui. Parayak, sorana. Tuluy kuring kaluar, bari mengkek ambekan. Dada dagdigdug, teu beda ti kendang gede pakauman bae meureun. Luak-lieuk ka tukang ka gigir, melong ka lebah panto-luar bisi enya aya jalma. Ari geus sidik taya sasaha, kakara balik deui, nuluykeun hanca. Ngadenge deui nu pakeretek, parayak deui duit dina cengcelengan teh lalumpatan sabab dibalikkeun. Tuluy kaluar deui, culang-cileung deui. Lamun geus karasa aman, karek asup deui. Kitu jeung kitu bae polah teh, satungtung eukeur praktek mah.

Bener teu lugina hate teh ari keur nyieun dosa mah. Eta da mani dagdigdug kitu, bisi kanyahoan manten.

Ayeuna oge najan kuring geus yakin pisan yen puguh taya sasaha di imah teh iwal kuring pribadi, hate tetep bae teu ngarasa tengtrem. Asa aya bae anu ngukuntit, nganaha-naha. Ari senang tea mah puguh, da boga angkeuhan bisa lalu asa praktek teh ayeuna mah. Henteu kawas sasari, meusmeus lieuk-meusmeus lieuk, da bisi aya anu nangenan.

Kalawan ati-ati pisan kuring asup ka jero. Tadi isuk eta cengcelengan masih aya keneh na tempatna. Tur ti isuk keneh oge kuring geus boga rarancang rek nyokelan eta cengcelengan, da puguh teu boga duit jang meuli lalawuh sangu. Kuring geus ngawangwang, yen najan duit pamere lanceuk geus beak dipake nombokan bayaran sakola oge, hamo paeh langlayeu seun, sabab geus aya erongan. Engke mah murak cengcelengan, ceuk kuring dina hate, itung-itung ngabangbrangkeun pikir dumeh ngarasa sangsara pisan hirup teu boga duit barang saduit.

- Padu sapoe saringgit bae ge sedeng, ceuk kuring na hate. Lanceuk kuring mulangna ka lembur paling lila satengah bulan. Jadi meureun jero sakitu poe teh kuring bakal ngorowotan eta cengcelengan lim alas ringgit.

- Lumayan, ceuk hate. Ah, dosa mah kuma engke, nu penting jang ayeuna mah kudu boga duit jang meuli deungeun sangu, ambeh henteu paeh langlayeuseun. [ 56 ]Bari ngucap bismilah kuring mukakeun panto.

Barang kuring geus aya di kamar, kuring malik ka lebah eta cengcelengan. Bisi dibawa ka lembur ingetan teh. Kacida atohna barang kuring nenjo yen eta cengcelengan pamuntangan umur kuring ayeuna masih-keneh angger naglang ¹) dina tempatna. Masih aya luhureun kastok dina balik panto tea.

Mani hayang igel-igelan harita kuring, bakat ku atoh. Ngan sanggeus dipikir-pikir teh nanaonan kudu make igel-igelan kedik ²), geus gede. Lain teu hayang bisa ngigel, tapi karasa taya gunana. Ari kana bisa ngarengkenek ibing ponggawa mah kacida pisan nyongsrongna hate teh. Komo ari geus inget ka manehna mah. Manehna bisaeun ngibing. Kuring kacida katajina ari manehna geus ngibing Leyepan teh. Tapi ku sabab igel-igelan lantaran eta cengcelengan masih aya keneh mah teu karasa aya gunana, atuh kuring teu ngalampahkeun.

Bari ngalieuk heula ka lebah panto, bisi aya jalma asup, kuring ngojengkang ka lebah eta cengcelengan. Cengcelengan nu geus dierong ti anggalna keneh, lantaran nya di dinya umur kuring gumantung pikeun sapoe ieu, jeung poe-poe nu bakal kasorang, sabot lanceuk marulang ka lembur. Hate geus pinuh ku mangrupa-rupa rancangan. .

— Ngarah irit ayeuna mah aing rek meuli uleg bae ti ma Jangkung, na pikir. Engke sore, mun hayang rada royal, meuli emi ti abang Jawa nu sok ngaliwat unggal sore.

Kitu ajaman teh. Sarta kacida pisan bungahna ati, reh kabeneran taya jalma saurang-urang acan di imah teh, iwal ti kuring.

— Laluasa yeuh, kuring ngomong sorangan.

Panto ditutupkeun heula memeh ngarawel eta cengcelengan teh. Ngarah leuwih rineh, da meureun batur bakal nyangka yen kuring can balik sakola.

Kuring tetembangan, lalaunan bae tapi, da ari tarik-tarik teuing mah bisi kadengeeun ku batur. Heug engke aya batur asup, manggihan kuring keur nyekelan cengcelengan, tada teuing erana.

Ah, hamo paeh langlayeuseun yeuh, na hate teh.

¹) nanglang: ngagoler/merenah di hiji tempat nu sakira bakal babari katenjo. ²) kedik (atawa kedine): sagala (Jatiwangi). [ 57 ]Hate dagdigdug, rumasa yen saenyana mah ieu teh dosa. Najan kuring ngarasa sungkan kacida migawe hiji dosa, tapi ari kaayaan maksa mah sok milampah. Dina ati kuring geus sababaraha kali jangji, yen hamo wani-wani deui nyokot duit batur. Najan eta teh duit bapa, duit lanceuk atawa duit dulur-dulur lianna, kuring hamo wani. Da ari lain kuring sorangan mah hartina. batur. Kuring sungkan, lantaran bareto geus kungsi dicarekan beak-beresih ku bapa pedah kuring nyokot duit tina lomari. Tapi demi beuteung kosong anu teu weleh kukurubukan, kuring masih hayang keneh hirup leuwih lila. Tur hiji-hijina jalan anu nyanding ayeuna ngan nyokel cengcelengan tea bae.

Tapi kuring tacan top keneh bae nyokot eta cengcelengan. Kuring ngadedengekeun heula, bisi aya keretek sora, engke kuring tibu buranjat deui kawas bareto. Panto tetela nutup, da karek ditutupkeun pisan. Ari jandela masih nutup, da puguh ti isuk can aya anu mukakeun. Sakuriling bungking taya nanaon nu matak salempang. Lugina pisan harita teh.

Kuring tanggah, melong, ka lebah eta cengcelengan. Eta cengcelengan teh masih aya keneh dina tempatna, taya obahna saeutik-eutik acan.

Ah, nyatu jeung uleg ma Jangkung yeuh, ceuk kuring na hate. Bari ngomong kitu teh ceg leungeun kuring anu katuhu nyekel eta cengcelengan. Ari leungeun anu kenca ngeukeuweuk peso, dipindahkeun ti nu katuhu. Leungeun anu katuhu masih keneh napel kana eta cengcelengan, tacan dijungjungkeun. Kuring ngadedengekeun deui, bisi aya pikaselempangeun. Tapi da puguh taya nanaon ti tadi oge, tetep be jempe.

Bari ngucap deui bismilah kuring ngangkat eta cengcelengan.Hate kebek ku mangrupa-rupa rancangan. Ku ajaman yen kuring hamo paeh langlayeuseun, ku erongan yen bakal senang unggal poe ngorobetan eta cengcelengan tanpa aya nu nangenan. Kacida pisan bungahna, mo beda jeung kabungah maranehna nu meunang hadiah lantaran meneran neguh totalisator maenbal antara Persija jeung Waker kamari ieu. Ngan bedana teh ari maranehná mah kudu ngaluarkeun duit lima perak jang meuli kartu totalisatorna, ari kuring mah henteu ngamodal barang sapeser. Minangka modalna [ 58 ]teh eta bae beuteung lapar, peso, pangalaman katut pangharepan yen kuring hamo paeh langlayeuseun.

Kalawan bungah pisan kuring ngangkat eta cengcelengan. Hate pinuh ku mangrupa-rupa rancangan.

Tapi kacida pisan kuring ngarasa handeueulna, waktu eta cengcelengan geus kajungjungkeun, rek dibawa kana kasur. Cengcelengan anu dina angkeuhan bakal beurat ku sabab rea eusina, na barang dijungjungkeun kalawan ati anu kacida pisan gum birana teh, tetela ngoleang. Hampang pisan. Nya kitu deui parayakna receh nu biasa- na kadenge unggal ngangkat eta cengcelengan, harita mah teu hawar-hawar acan.

Pangharepan jeung sagala erongan nu cikeneh ngagunduk na dada katut hate, saharita keneh balubar katawuran, lalumpatan bari teu weleh nyeungseurikeun. Kabeh lalumpatan nyeungseurikeun kuring, nu ngan bati handeueul bae nyekel eta cengcelengan.

Kuring kapodosan. Eta cengcelengan geus dipurak manten ku lanceuk kuring, jang nambahan bekel ka lembur.

Itung-itung nyacapkeun kaheneg ati, kuring nenjoan eta cengcelengan dibulak-balik. Dina hulu eta cengcelengan aya plester ngajepat, tur barang eta plester ku kuring dibuka, aya sesem|plakanana anu kabawa.

Jero eta cengcelengan kuring ngan manggihan bubuk taneuh nu muruluk basa eta cengcelengan dipurak bae.

Jakarta, 19 Desember 1957
 
[ 59 ]
DI LINGKUNGAN
 

BARUDAK ngora di lembur kuring, jalma nu pangkasohorna ahir-ahir ieu teh ngaranna Iman. Manehna ngabogaan pagawean rangkep. Lian ti pagaweanana nu baku sabagi guru, manehna teh wartawan. Ari perkara pagaweanana sabagi guru mah geus taya nu mikaaneh deui, da guru teh kacida reana di daerah kuring mah nepi ka urang lembur-lembur anu salingkur oge nyarahoeun. Tapi ari wartawan mah masih keneh mangrupa barang anyar, tur karek manehna saurang bae deuih nu jadi wartawan teh. Ku kituna, atuh munasabah pisan lamun manehna ngarasa kacida agulna ku kawartawanana teh. Kumaha henteu rek agul geura, kapan nya manehnana pisan jalma nu munggaran ngawanohkeun naon-naon ti lembur kuring ka jalma ti tempat sejen teh. Eukeur mah eukeur, nga saurang-urangna atuh teu meunang tanding.

Saenyana mah lian ti manehna aya deui saurang nu jadi wartawan di lembur kuring teh. Tapi ieu jalma teu aktip dina lapangan kawartawanan, lantaran ripuheun teuing ku pagaweanana nu baku sabagi baru, ngurus rumah-tangga jeung parteyna. Warta-warta nu dikirimkeunana oge ngan nu sakira aya patula-patalina jeung parteyna bae, nya kitu deui surat-kabar nu dikirimanana warta ngan surat-kabar nu mangwartakeun sora parteyna. Jadi, manehna tangtu bae moal sabaraha kasohorna.

Beda kaayaanana jeung wartawan Iman mah. Manehna mah pisan ripuhna ku pagaweanana sabagi wartawan teh, nepi [ 60 ]ka sering mangkring ¹) ti sakola, ninggalkeun pagaweanana. Eta ku seukeut pisan ceulina teh, bet ku nyahoeun pisan kana kajadian-kajadian nu sakira bisa narik hate. Unggal kajadian nu gelarna ti lembur kuring mah, nu kira-kirana bakal bisa narik hate, tangtu ku manehna dikirimkeun ka kantor-warta jeung surat-kabar nu mere kartu wartawanan ka manehna.

Tapi saenyana mah perkara kawartawananana oge mo pati é narik hate, mun manehna teu nyieun talajak nu beda ti batur, lamun manehna tumindak ngan sabagi wartawan, henteu leuwih ti dinya. Tah, nya ku sabab sawatara hal nu rada mengpar tina gurat nu sasari tea pisan deuil nu ngalantarankeun manehna kasohor oge. Lamun manehna ngadenge, yen ngaranna geus kacida pisan kasohorna, irungna moai teu rebeh, mo beda ti ban sepeda nu rea teuing anginan.

Sakali mangsa manehna kungsi ngadadarkeun lara-sukana sabagi wartawan. Ieu hal teh karek didadarkeun ku manehna, sanggeus aya jalma lian milu keurseus-wartawan. Meureun pedah kalungguhanana mimiti karasa teu panceg deui, da aya nu rek nandingan. Harita teh peuting, aya meureun jam sawelas mah. Kawas sasari, wanci kitu teh manehna karek balik lalajo gambar hidup.

— Memang enya, ari keur milu keurseusna mah babari, omongna. Nu hese teh lebah ngalaksanakeunana, di mana urang bakal manggihan sawatara kasulitan. Rea hal-hal nu ngaganggu saenyana mah, mun urang jadi wartawan teh. Komo deui urang dieumah, da karereanana can barisa ngajenan ka wartawan teh. Ku kituna mah pantes, da ulah bon ngajenan, teu nyaraho-nyahoeun acan naon ari wartawan teh.

Tah kitu di antarana biantara wartawan Iman peuting eta, nu masih keneh nyantel dina ingetan mah. Lian ti eta ku manehna teh didadarkeun oge sagala hal nu kasanghareupan, enggoning ngajalankeun kawajibanana. Rea pisan nu dicaritakeunana teh, sakabeh hal nu sakira bakal bisa narik hate nu ngadarengekeun. Kuring saenyana mah teu ngarasa katarik ku hal-hal nu dicaritaekeunana teh, ngan pikeun ngajaga sangkan manehna teu ngarasa

¹) mangkring: mangkir, bolos (Jatiwangi). [ 61 ]dianggap angin, kuring milu ngadengekeun. Ngan dina hate kuring seuri, lantaran keur kuring mah eta hal teh geus teu aneh deui. Sanajan kuring lain wartawan oge, tapi saeutik-eutikeun mah nyaho kana cabak wartawan teh. Atuh ku ngadengena deui hal-hal nu geus bari teh, tangtu bae kuring kagugu, tuluy seuri, tapi dina hate bae.

Sasarina mah lamun kuring sabatur-batur keur dariuk di jalan kareta-api ngadago dulag — tangtu bae itu teh ari bulan puasa —, manehna ngaliwat ka hareupeun. Hiji peuting kira-kira jam sewelas tas bubar bioskop. Ti kajauhan keneh geus katara da aya sawatara tanda nu ngan dipibanda ku manehna bae. Lamun indit-inditan peuting teh manehna mah tara tinggal ti topi-laken, kawas pulisi-rasiah Amerika bae. Manehna tumpak sepeda, sarta ku lantaran Iman teh warugana jangkung, atuh kapaksa sadel sepedana teh diconghatkeun ka luhur, nurutan para krosboy. Tapi sanajan enya nu ku manehna ditumpakan teh sepeda krosboy tangtu manehna bakal ambek lamun urang pangangguran nyebutkeun manehna krosboy teh.

Dewek mah wartawan deuleu, omongna.

Ngadenge pamungkirna teh, kuring sarerea ngan ukur bisa seuri. Manehna oge tuluy bae neruskeun deui lalampahanana, balik ka imahna wetaneun Cikeruh.

Mimitina mah sugan teh enya manehna neangan warta anu penting kapanggih ngetankeun teh. Tapi tungtungna mah katungtik yen pagaweanana teh lain neangan warta nu lulugu mah. Manehna teh balik lalajo bioskop nu ngan aya dua-duana di lembur kuring. Tah, nya ti bioskop ieu pisan deuih ngaranna mimiti kasohor teh, kasohor di lingkungan barudak ngora, lantaran manehna mangrupa hiji jalma nu istimewa sapanjang sajarah eta bioskop mah.

Ari kaistimewaanana nya eta manehna tara daek meuli karcis mun hayang lalajo teh. Nya ieu hal pisan nu ngalantarankeun ngaranna jadi kasohor teh. Lamun seug nu ngajaga teh nanya ka manehna:

― Mana karcis pa?

Kalawan gampang pisan manehna bakal ngajawab: [ 62 ]— Kuring moal meser karcis.

Tangtu bae nu jaga teh bakal ngarasa heran ngadenge jawaban kitu mah. Boa-boa mah Iman teh ku manehna dianggap jalma satengah buah leunca, sakitu gagahna, make jas, tapina sangeuk meuli karcis. Padahal harga karcis di dinya teh ngan sarupia. Ngan ku duit sarupia, urang bakal bisa asup, tur urang bisa lalajo sakeyengna bae. Lamun cenah urang can ngarasa seubeuh ku pintonan anu kahiji, urang bisa neruskeun tepi ka pintonan anu kadua lekasan, kalawan henteu kudu meuli deui karcis.

Tapi nya hal ieu pisan nu mangrupa kaistimewaan Iman ti wartawan-wartawan nu sejen, nu geus kungsi papanggih jeung kuring. Lantaran karek manehna bae saurang wartawan teh di lembur kuring mah, manehna ngarasa yen kacida pisan mulyana kalungguhan wartawan teh. Tepi ka lalajo ge embung mayar, hayang barang ciatah.

Lamun nu jaga nuluykeun deui nanya:

— Naon margina?

— Kuring wartawan, jawabna pondok pisan bari maksa asup kajero.

Atuh tangtu bae tukang jaga nu teu nyahoeun saha ari wartawan teh, ngan ukur molohok nenjo Iman asup. Manehna ngan bakal gogodeg bae, bari ngagerendeng:

— Untung ngan saurang nu kitu teh. Lamun seug kabeh nu lalajo wartawan mah, weueu, tangtu kukulun ¹) ieu bioskop teh!

Ku lantaran unggal nu jaga nanya kitu jeung kitu bae jawabna, atuh tungtuna mah manehna teh ngarasa boseneun. Antukna mah Iman teh tara ditanya-tanya acan, disakarepkeun bae, da ditanya oge puguh taya gunana. Jadi Iman teh ayeuna mah bisa laluasa pisan larsup ka eta bioskop duanana oge.

Nya ti kajadian-kajadian nu ngaruntuy eta pisan ngaran Iman mimiti kasohor teh, kasohor di lingkungan barudak ngora di lembur kuring. Tapi nu lianna mah taya nu nuturkeun Iman jadi wartawan, lantaran rasa ajen-diri maranehna henteu ngidinan amun kudu nepi ka ngalampahkeun hal-hal kawas nu dilampahkeun ku Iman teh. Komo, da karereanana mah maranehna teh guru,

¹) kukulun: gugulung (Jatiwangi). [ 63 ]sarua bae jeung Iman. Tah, nya ieu bedana antara guru-biasa jeung Iman, si guru-wartawan teh.

Tuluy ngaranna beuki lila beuki nyambuang bae, seungit leleb ngadalingding, kasohor jadi sabiwir-hiji. Lamun kabeneran kuring sabatur-batur nenjo Iman ngaliwat tumpak sepeda, mata teh pating pureleng bae, nuturkeun. Sanggeus padeukeut, tuluy sarerea ngucap:

— Wengi, ......

— Wengi, walonna bari ngaboseh. Ulah bon eureun teu ngalieuk-lieuk acan manehna nyebut ’’wengi’’ teh, da rasa kawartawananana gede kacida. Pangrasana mah wartawan teh raja bae meureun, hiji jalma nu nyaho kana sagala hal nu matak poekeun keur jalma biasa mah.

Sanggeus manehna rada anggang, tuluy sarerea sareuri babarakatakan.

Eta kaistimewaan Iman anu kahiji, embung bayar mun lalajo bioskop. Teuing neangan naon di bioskop mah, kuring teu pati sidik. Ngan nu pasti mah tangtu lain neangan warta, da bioskop mah lain sumber-warta. Bioskop teh kapan tempat-hiburan, atuh etu bae nu kajadian di bioskop mah ngan sabudeur pilem katut sugang-segingna bae.

Tapi sigana mah panyakit embung bayarna teh geus lengket,sasat geus jadi kulit jadi daging. Nepikeun ka tumpak beus oge manehna embung mayar. Dina beus oge sarua bae-talajakna teh, lamun kondektur nanyakeun karcis ka manehna:

— Karcis ....

Jawabna oge tangtu sarua kawas ari ngajawab ka nu jaga lawang bioskop:

— Kuring moal meser karcis, cenah.

Atuh kabeh mata nu tumpak teh melong ka manehna ka hiji i ao noman nu dijas tur make topi laken kawas detektip Amerika, gagah kacida, tapi bet sangeuk mayar. Na hate maranehna tangtu timbul patarosan:

— Gelo kitu?

Memeh maranehna bisa ngajawab katerangan geus buru datang manten, da kondektur teh tuluy nanya deui. [ 64 ]— Naon margina?

— Kuring wartawan, jawabna sakeyengna jeung sangeunahna bae.

Manehna ngajawab kitu teh bari nepak dada, tuluy nyokot kartu-wartawanna, ditembongkeun. Kalawan paroman haseum, kondektur teh unggut-unggutan, sedeng nu tarumpak ngan ukur arimut bae ngadenge katerangan kitu teh.

Tapi dina beus jeung tutumpakan nu lianna mah Iman sering ditanya kituna teh, lantaran puguh beus mah henteu ngan dua kawas bioskop. Eukeur mah Iman arang langka meunangkeun deui beus nu tadi ditumpakan. Atuh tangtu bae beuki rea jalma nu ngarasa heran nenjo lampah Iman kitu teh, Imannamah guru wartawan nu istimewa tea, teu malire. Nu tetela mah manehna teh kacida pisan agulna, lantaran jadi puseur-implengan jalma-jalma sabeus. Irungna rebeh deui, melendung lir ban rea teuing anginan. Ngaranna beuki nyambuang, beuki kasohor di lingkungan barudak ngora, jadi bahan gogonjakan.

Tapi teu burung aya jalma nu wani ngalawan ka manehna. Atuh ngaranna beuki nyambuang bae, jadi bahan piseurieun Jalma nu ngalawanna teh agen surat kabar nu sok dikiriman warta ku manehna. Lamun dibandingkeun jeung Iman mah, waruga si agen teh jauh pisan bedana. Warugana nya leutik nya kuru, kawas cacing langlayeuseun sedeng Iman mah sabalikna pisan, dedeg. Tapi bet na dampal leungeun si agen nu begang wartawan Iman teu bisa walakaya, serah bongkokan ditampiling mani ngaguling Ulah bon ngalawan, geus meh teu bisa hudang-hudang acan dikitukeun ku si begang teh.

Harita teh si begang keur aya di kantorna, nya eta kantor inspeksi sakola rayat, da manehna teh pagawe eta kantor. Keur manehna jongjon-jongjon nyanghareupan kawajibanana, na ari torojol teh Iman datang torojogan pisan. Beungeutna beureum, geuneuk, panonna nu puguh geus nonjol ka luar teh beuki nonjol bae. Kaciri pisan keur ambekna teh, nepikeun ka panonna mani kawas rek mecleng bae, mo sabaraha bedana jeung bal nu ditapuk ¹) ku Witarsa. Ambek pisan pedah ngarasa diulinkeun ku

¹) ditapuk: disepak (Jatiwangi) [ 65 ]si leutik begang agen surat kabar tea. Atuh sadatang-datang teh ngan haok bae manehna ngagorowok:

— Kumaha benerna mamang digawe teh, omongna bari nulak cangkeng, nurutan legeg bentang pilem nu tadi peuting tas dilalajoan.

Uu, nya eta ngaran si agen tea, ngan olohok bae nu aya nenjo lalagaman Iman kitu teh. Manehna oge ambek, da asa diciduhan beungeut, tapi ku lantaran can tetela naon perkarana, manehna can aya niat ngalawan. Omongna:

— Aya naon, Man?

— Naonna nu aya naon. Ceuk kuring oge, mamang teu beres digawe teh! manehna nyentak, demi legegna masih angger keneh kawas tadi, nurutan bentang pilem.

— Naonana nu henteu beres? Perkara naon nu teu beres? Jawab Uu.

— Perkara surat kabar. Kapan kuring teh langganan, tapi naha geus lila pisan can ngalaman narima surat kabar? Tah, tetela lain mamang digawe teu beres?

— Ka saha ilaing ngalangganan?

— Togmol ka puseur. Kamari teh datang surat ti ditu, nanyakeun ka pawakil cenah. Jadi meureun ka mamang ari kitu mah.

— Euh, perkara eta? Atuh kabeneran ari kitu mah, mamang oge kamari teh narima surat deuih. Eusina nanyakeun, naha enya silaing langgan ka cabang. Sabab cenah — ceuk puseur — aya surat ti silaing, ngaku langganan di cabang. Tapi iraha silang ngadaptarkeun jadi langganan? Tanggal sabaraha, jeung ka saha deuih?

Si regeng teh geus kacida pisan ambekna ayeuna mah, lantaran sarasa diunghak teu pupuguh. Peureupna mani geus buleud-buleud bae, nahan amarah.

— Kuring ngalanggan ka puseur, walon Iman teu eleh sumanget. Duitna ku kuring dikirimkeun ka ditu, tapi surat-kabarna cenah kudu di cabang.

— Enya sugan, tapi mamang can kungsi meunang surat parentah ti puseur. Jeungna oge, ti iraha silaing rido ngaluarkeun duit jang ngalangganan surat kabar? Ulah bon ngalangganan surat kabar u meakkeun salawe perak satengah, ka bioskop nu ngan saperak